Saya percaya tidak. Kita masih bisa menghidupkan kembali semangat berkomunitas di ruang digital ini. Tapi memang, perlu kesadaran kolektif. Perlu tujuan yang jelas. Dan yang paling penting: perlu rasa.
Pertama, mari ingat kembali: untuk apa grup itu dibuat? Kalau hanya untuk pengumuman satu arah, mungkin lebih baik pakai kanal lain. Tapi kalau grup dibuat untuk komunikasi dua arah, semua anggota harus merasa punya ruang untuk bersuara.
Kedua, mari jujur bahwa tidak semua harus formal. Dalam konteks dosen dan mahasiswa, interaksi tidak harus kaku. Kita bisa mulai dengan membangun suasana yang nyaman. Kadang, cukup sapa ringan, atau humor kecil yang relevan dengan konteks perkuliahan. Ketika dosennya tidak selalu terdengar seperti "mesin tugas", mahasiswa pun bisa merasa lebih dekat.
Ketiga, mari beranikan diri menjadi penggerak. Jangan hanya menunggu suasana hangat tercipta. Kadang, cukup satu orang yang rajin menyapa dan memancing diskusi, bisa menjadi pelita yang menyalakan suasana.
Dan terakhir, mari kita sadari bahwa tidak apa-apa untuk mundur dari grup yang tak lagi sesuai. Keluar bukan berarti putus silaturahmi. Justru dengan keluar, kita memberi ruang untuk fokus pada grup yang lebih bernyawa. Grup yang memang masih ingin hidup dan berkembang.
WhatsApp grup memang tak sempurna. Tapi dengan cara pandang yang sehat dan niat yang tulus, ia tetap bisa menjadi alat komunikasi yang bermakna. Kuncinya bukan pada aplikasinya, tapi pada manusia di balik layar.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti menjaga image, dan mulai kembali menjaga rasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI