Mohon tunggu...
arin chamidah
arin chamidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya ialah seorang mahasiswa S1 PGPAUD UNESA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Opini Mengenai Kasus Permasalahan Anak di Sulut Menjadi Korban Bully, Korban 3 Pekan Tak Mau Sekolah

22 Mei 2024   09:55 Diperbarui: 22 Mei 2024   10:11 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Viral Anak TK di Sulut Jadi Korban Bully, Korban 3 Pekan Tak Mau ke Sekolah
Trisno Mais - detikSulsel
Senin, 05 Des 2022 15:42 WIB
Minahasa - Viral di media sosial seorang anak perempuan inisial DT (5) di Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut) sudah 3 pekan menolak sekolah karena menjadi korban bully. Ironisnya, korban diduga di-bully oleh orang dewasa.
Dalam unggahan viral, bocah malang tersebut diketahui sebagai warga Desa Koya, Kecamatan Tondano Selatan. Ibu korban, PW mengatakan DT enggan masuk sekolah lantaran merasa takut di-bully oleh murid TK yang juga berstatus anak guru, hingga sejumlah orang tua siswa.
"Kasus perundungan kembali terjadi, DT 5 tahun berdomisili di Koya, Tondano Selatan, di- bully habis-habisan oleh oknum orang tua di sekolah tempat di mana dia menimba ilmu," demikian keterangan unggahan viral tersebut saat dilihat detikcom hari ini.
Ibu korban, PW menjelaskan bahwa salah satu pelaku merupakan anak salah seorang oknum guru di sekolah tersebut.
"Mirisnya oknum yang turut mem-bully adalah anak dari guru DT berinisial PEM panggilan sehari-hari menggunakan inisial C," tambah akun tersebut.
Saat dihubungi terpisah, PW mengatakan bahwa putrinya DT di-bully saat berada di sekolah, pada Jumat (19/11) lalu.
"Di-bully habis-habisan oleh oknum orang tua di sekolah tempat di mana dia menimba ilmu, mirisnya oknum yang turut mem-bully-nya adalah anak dari gurunya berinisial PM," kata PW kepada detikcom, Senin (5/12/2022).
Menurut PW, kasus bullying terhadap putrinya itu berawal saat dirinya meminjam uang kepada wanita inisial MP. Namun karena pada 16 November lalu pinjaman tersebut belum dikembalikan sehingga MP membuat unggahan di media sosial.
Meski begitu kata dia, persoalan utang piutang sudah diselesaikan. Hanya saja dia kecewa karena persoalan tersebut masih terus berlanjut hingga berdampak terhadap anaknya.
Kemudian pada 19 November lalu, anaknya pergi ke sekolah dan tanpa sengaja korban mendengar percakapan beberapa oknum orang tua siswa. Mereka menuturkan bahwa ibu korban adalah penipu.
"Anak saya sedang berjalan pulang dari sekolah menuju rumah, di dalam sekolah dia mendengar pembicaraan oknum orang tua murid. Mereka mengeluarkan perkataan ibu dari anak itu menipu (pinjam uang tidak kembalikan) dan lari ke Bolaang Mongondow. Anak tukang tipu sekolah di sini," ujarnya.
PW mengatakan setibanya di rumah, anaknya langsung menceritakan semua kejadian yang menimpanya.
"Setibanya di rumah anak saya langsung menceritakan kejadian yang dialaminya," kata dia.
Akibat dari peristiwa tersebut, anaknya sudah tidak mau pergi ke TK Imanuel Koya, Minahasa, karena trauma dan takut di-bully.
"Sampai saat ini anak saya sudah tidak masuk sekolah selama 3 minggu," katanya.
Dia berharap masalah tersebut perlu disikapi secara serius oleh pihak sekolah. Dia menginginkan persoalan tidak berlanjut ke ranah hukum.
Tak hanya itu, supaya anaknya bisa kembali bersekolah dengan perasaan aman, bukan karena takut di-bully.
PW melanjutkan, hal itu sangat berdampak dan mempengaruhi kejiwaan motorik dan mental anaknya sebagai korban bully.
"Akibat dari kejadian tersebut, hingga saat ini anak saya sudah tidak mau sekolah lagi, dan hingga saat ini pihak sekolah tidak melakukan kunjungan konseling terhadap korban," jelas dia.
PW menegaskan bahwa pihaknya masih memberikan waktu selama 3x24 jam untuk meminta maaf secara terbuka. Namun apabila dalam waktu yang sudah ditentukan tidak ada itikad baik, maka pihaknya akan membawa kasus ini ke ranah hukum.
"Kami ingin meminta keadilan dan ingin meminta bantuan konsul dan juga pendampingan pakar hukum yang lebih memahami bentuk pelecehan dan perundungan secara verbal kepada anak di bawah umur," pungkasnya.


Opini tentang kasus tersebut :
Menurut saya, Kasus perundungan (bullying) yang dialami DT, seorang anak berusia lima tahun di Minahasa, Sulawesi Utara, merupakan contoh serius dari dampak negatif bullying terhadap anak-anak, terutama ketika pelaku perundungan adalah orang dewasa dan anak dari guru. Situasi ini tidak hanya mempengaruhi keinginan anak untuk bersekolah tetapi juga merusak kesejahteraan emosional dan psikologisnya.
Analisis Permasalahan:
1. Keterlibatan Orang Dewasa: Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari kasus ini adalah keterlibatan orang tua murid dan anak dari guru sebagai pelaku perundungan. Orang dewasa seharusnya menjadi teladan bagi anak-anak, bukan justru menjadi pelaku yang memberikan contoh buruk.
2. Dampak Psikologis: Anak yang mengalami perundungan dapat mengalami trauma, penurunan rasa percaya diri, dan ketakutan yang berkelanjutan. Dalam kasus DT, ketidakmauannya untuk kembali ke sekolah selama tiga minggu menunjukkan betapa parah dampak psikologis yang dirasakannya.
3. Respons Sekolah: Hingga saat ini, tidak ada upaya dari pihak sekolah untuk memberikan dukungan konseling atau intervensi yang dapat membantu DT mengatasi trauma yang dialaminya. Ketidakaktifan sekolah dalam menangani kasus ini menambah masalah, karena sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi semua siswa.
Solusi dan Strategi:
1. Intervensi Sekolah: Sekolah harus segera mengambil langkah untuk memberikan dukungan psikologis kepada DT. Ini bisa dilakukan dengan mengundang konselor anak untuk membantu DT mengatasi trauma yang dialaminya. Sekolah juga harus memastikan lingkungan yang aman dan bebas dari perundungan bagi semua murid.
2. Pendekatan Hukum: Jika dalam 3x24 jam tidak ada permintaan maaf dari pihak pelaku, seperti yang diinginkan oleh ibu DT, kasus ini sebaiknya dilanjutkan ke ranah hukum. Tindakan hukum tidak hanya memberikan keadilan bagi korban tetapi juga memberi efek jera kepada pelaku dan memperingatkan orang lain agar tidak melakukan hal serupa.
3. Program Anti-Bullying: Sekolah harus mengimplementasikan program anti-bullying yang efektif. Program ini bisa mencakup pelatihan bagi guru dan orang tua mengenai dampak perundungan, cara mengidentifikasi tanda-tanda bullying, serta cara menangani kasus bullying. Anak-anak juga harus diajari tentang pentingnya menghormati sesama dan cara melaporkan kejadian bullying.
4. Mediasi dan Edukasi Orang Tua: Dalam jangka panjang, perlu dilakukan mediasi antara orang tua DT dengan orang tua murid lainnya yang terlibat dalam perundungan untuk menyelesaikan konflik yang ada. Selain itu, sekolah dan pihak terkait harus mengedukasi orang tua murid tentang dampak buruk dari menyebarkan isu dan perundungan terhadap anak-anak.
5. Dukungan Komunitas: Masyarakat sekitar dan lembaga terkait seperti pemerintah daerah dan LSM perlu berperan aktif dalam menangani kasus perundungan ini. Dukungan dari berbagai pihak akan mempercepat proses pemulihan korban dan memastikan kasus serupa tidak terulang.


Analisis Masalah Berdasarkan Teori Para Tokoh Pendidikan:

1. Teori Bullying dari Dr. Dan Olweus:
Dr. Olweus, yang dikenal sebagai pelopor dalam penelitian bullying, mendefinisikan perundungan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan berulang kali dengan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Dalam kasus DT, keterlibatan orang dewasa dan anak dari guru sebagai pelaku menunjukkan ketidakseimbangan kekuatan yang jelas, di mana DT menjadi korban yang rentan. Olweus menekankan pentingnya intervensi segera dan komprehensif dari pihak sekolah untuk menghentikan perilaku bullying ini.
2. Pandangan Paulo Freire tentang Pendidikan:
Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan yang terkenal dengan teorinya tentang pendidikan sebagai alat pembebasan, percaya bahwa pendidikan harus membebaskan dan memperkuat individu, bukan menindas mereka. Kasus DT menunjukkan bagaimana lingkungan pendidikan bisa menjadi tempat penindasan ketika tidak ada mekanisme yang efektif untuk menangani perilaku bullying. Freire akan mendesak sekolah untuk mengambil peran aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan memberdayakan semua siswa.
3. Teori Kesejahteraan Anak dari Urie Bronfenbrenner:
Urie Bronfenbrenner, dengan teorinya tentang ekologi perkembangan anak, menekankan pentingnya interaksi antara berbagai lingkungan dalam kehidupan anak, seperti keluarga, sekolah, dan komunitas. Dalam kasus DT, konflik yang terjadi di luar sekolah (persoalan utang- piutang antara orang tua) telah masuk ke dalam lingkungan sekolah dan mempengaruhi kesejahteraan anak. Bronfenbrenner akan menekankan perlunya kerjasama antara sekolah dan keluarga untuk melindungi dan mendukung perkembangan anak secara holistik.
4. Teori Emosi dan Pendidikan dari Dr. John Gottman:
Dr. John Gottman, yang dikenal dengan penelitiannya tentang hubungan emosional dan anak- anak, menekankan bahwa orang tua harus menjadi model perilaku yang baik dalam menghadapi masalah. Konflik utang-piutang yang merembet ke dalam kehidupan anak menunjukkan bahwa orang tua perlu menyelesaikan masalah mereka tanpa melibatkan anak dan tanpa menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan ketidakamanan.
Solusi Berdasarkan Pendapat Para Ahli:
1. Intervensi Sekolah dan Dukungan Psikologis:
Sekolah harus segera menyediakan dukungan psikologis bagi DT melalui konseling individual. Mengikuti rekomendasi Dr. Olweus, intervensi segera diperlukan untuk menghentikan perilaku bullying dan mencegah dampak jangka panjang pada kesehatan mental DT.
2. Implementasi Program Anti-Bullying:
Mengacu pada pandangan Paulo Freire, sekolah harus mengimplementasikan program anti- bullying yang komprehensif. Program ini harus mencakup pelatihan bagi guru dan staf tentang bagaimana mengenali dan menangani kasus bullying, serta pendidikan bagi siswa tentang pentingnya menghormati satu sama lain.
3. Kolaborasi Antara Sekolah dan Keluarga:
Berdasarkan teori Bronfenbrenner, perlu ada kerjasama yang erat antara sekolah dan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak. Sekolah harus berperan aktif dalam mediasi konflik yang mungkin mempengaruhi siswa dan memastikan bahwa masalah di luar sekolah tidak merembet ke lingkungan pendidikan.
4. Penyelesaian Konflik dengan Cara Sehat:
Mengikuti saran Dr. Gottman, orang tua harus menyelesaikan konflik dengan cara yang tidak mempengaruhi anak. Mereka perlu menjadi teladan bagi anak-anak mereka dalam menyelesaikan masalah dengan cara yang sehat dan konstruktif.

Kesimpulan:
Kasus bullying yang dialami DT adalah permasalahan serius yang membutuhkan tindakan segera dan komprehensif. Dengan kerjasama antara sekolah, orang tua, pihak hukum, dan komunitas, diharapkan DT dapat pulih dari trauma yang dialaminya dan kembali ke sekolah dengan perasaan aman. Selain itu, langkah-langkah preventif dan edukatif harus diambil untuk mencegah terjadinya perundungan di masa depan. Kasus perundungan terhadap DT menyoroti perlunya pendekatan yang holistik dan kolaboratif dalam menangani bullying. Dengan mengikuti panduan dari para ahli pendidikan, sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua anak.

ARIN DWIYANTI CHAMIDAH (23010684164)


S1 PGPAUD UNESA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun