Mohon tunggu...
Sopyan Arina
Sopyan Arina Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswi

Mahasiswi PPG Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perundungan Tak Kasat Mata di Sekolah

20 Januari 2024   14:24 Diperbarui: 20 Januari 2024   14:27 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Invisible School Violence.


Selama ini dunia terus menyoroti kasus perundungan atau bullying di mana murid banyak menjadi korban. Terbukti dengan banyaknya berita tentang kasus perundungan yang diunggah di berbagai media. Bukti lainnya adalah dengan banyaknya stiker, pamflet, hiasan kelas bertema stop bullying, sosialisasi anti-bullying, gerakan sekolah ramah anak, dan sejenisnya. Ini merupakan bukti bahwa sekolah kita selama ini tidak aman untuk anggota sekolah itu sendiri. Tentunya hal ini kontradiktif dengan paradigma sekolah yang merupakan tempat pendidikan, tempat di mana orng tua rela menitipkan anak mereka, tempat yang aman artinya.

Beruntungnya murid sekarang adalah mereka hidup di tengah-tengah masyarakat yang sudah sangat melek kesadaran tentang bahaya bullying ini. Jika ada kasus perundungan siswa, semua pihak baik itu guru, orang tua, penegak hukum, media, LSM, dan netizen akan berada di garda terdepan dalam membela demi keamanan fisik dan psikis anak. Ibaratnya siswa sekarang tak kekurangan 'gizi' rasa aman sedikitpun, mereka ditimang dalam selendang hukum.

Bicara tentang dunia pendidikan, subjek kita tentunya tak hanya murid. Guru, yang selama ini menjadi tameng pertama murid, juga tak dapat menangkis anak panah dari busur kekerasan di dunia pendidikan ini. Mulai dari kasus guru ditendang, dipukul, diketapel orang tua, ditikam, dan banyak kasus serupa lainnya yang beritanya sering menhiasi beranda media sosial kita. Baik murid dan guru sebenarnya mereka punya potensi untuk melakukan perundungan dan menjadi korban peundungan. Jika murid sudah sangat dimanjakan dunia karena dianggap  masih anak di bawah umur, bibit unggul generasi, maka guru sebagai manusia dewasa, sudah tak memiliki privilege tersebut. Meski pada akhirnya guru dapat berteduh di bawah payung hukum, namun malangnya, nasib guru tak 'seaman' murid.

Nasib tak aman ini bukan karena perundungan fisik maupun verbal oleh murid atau wali murid. Di balik sosok yang kelihatan digdaya di depan murid, ternyata ada ancaman invisible violence yang jauh lebih besar yang setiap hari menghantui guru. Jika perundungan fisik dan verbal di sekolah bisa dicegah, lalu bagaimana jika perundungan ini bersifat tak kasat mata?

Pengertian perundungan menurut KBBI adalah mengganggu, mengusik terus-menerus, atau menyusahkan. Menurut Kemenkes, perundungan membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan atau kelompok dan biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki posisi kekuasaan yang lebih tinggi. Lalu apa maksud dari perundungan tak kasat mata yang dialami guru ini? Apa ancaman yang lebih besar yang dimaksud?

Ya, guru dirundung oleh kebijakan pemerintah dengan kegiatan di luar jam mengajar yaitu kesibukan pemenuhan tuntutan administrasi yang wajib dilakukan untuk 'mempertahankan kepegawaiannya'. Memang proyek-proyek yang diselenggarakan pemerintah dalam bidang pendidikan ini merupakan wujud peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu kewajiban guru. Pemerintah mungkin terlalu berhasrat mendirikan platform ini itu, menuntut guru wajib ini itu, demi mewujudkan tujuan baik dan kemajuannya agar tak ketinggalan dari negara lain. Namun, jika hal tersebut dilakukan hingga guru sampai-sampai meninggalkan ruang kelas, meninggalkan murid, sebagai kewajiban utama guru itu sendiri, menurut saya itu sangat disayangkan.

Bagaimana melaksanakan Kurikulum Merdeka dengan baik jika pelakunya belum merdeka? Murid memang minta dimerdekakan seperti tak ada UN, tak ada tinggal kelas, tanpa peringkat, tanpa PR, harus dihormati haknya dalam belajar, dan itu sah-sah saja. Tapi semua ketanpaan itu ternyata tak benar-benar hilang namun berpindah ke pundak guru. Tugas guru  dari menghadapi murid saja sudah cukup banyak. Belum lagi tugas tambahan dalam menghadapi selera pengawas dan pemerintah. Tugas-tugas itu akan berkamuflase menjadi PR yang dikerjakan di sela-sela menyusui anak dan mencuci popok orang tua di rumah. Sepertinya guru adalah pekerjaan yang jam kerjanya 24 jam sehari.

Apa itu merdeka mengajar? Apakah artinya menjadi merdeka dari mengajar dan fokus ke urusan administrasi saja? Jika dikaitkan dengan pertanyaan pada Topik 1 materi Filososfi Pendidikan Indonesia, "Apa praktik pendidikan saat ini yang membelenggu kemerdekaan peserta didik dalam belajar dengan melihat Perjalanan Pendidikan Nasional sesudah kemerdekaan?" Yang paling membelenggu praktik pendidikan saat ini adalah ada pada gurunya sendiri yang masih 'terbelenggu' pula oleh kesibukan dalam memenuhi kebutuhan kurikulum yang sangat komplek di lapangan.

Sebagai seorang guru yang belum lama mengajar, yang mencintai pekerjaan ini meski kesejahteraannya sulit digapai, yang hanya menemukan kebahagiaanya hanya pada wajah anak-anak didik di kelas, jika boleh meminta, bolehkah mengembalikan guru pada fitrahnya mengajar dan mendidik saja? Bolehkan sedikit diberi keleluasaan untuk benar-benar memperhatikan murid sesuai slogan merdeka belajar yang pemerintah canangkan dan merupakan hak murid? Bolehkah benar-benar melakukan merdeka mengajar sesuai yang guru pahami sebelumnya?

Jika aturan keguruan dan pendidikan ternyata menekan, mengganggu, mengusik terus-menerus, atau menyusahkan, memberat-rugikan guru, kita sebagai guru harus melapor ke mana? Sepertinya selama ini guru hanya sebagai penjalan tugas kurikulum. Pemerintah sibuk menciptaan platform-platform dan aplikasi-aplikasi untuk menuju digitalisasi namun lupa tak memerhatikan hal abstraknya. Tak usahlah dulu jauh bicara kesejahteraan, guru tak pernah ditanya apakah guru bahagia?


Merdeka Mengajar?

Lalu, siapa bilang perundungan di dunia pendidikan hanya dialami oleh murid?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun