Mohon tunggu...
Arina alvasinta
Arina alvasinta Mohon Tunggu... Lainnya - Pemula

Belajar dulu baru kamu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis di Makassar

12 Desember 2021   13:15 Diperbarui: 12 Desember 2021   18:36 2175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang masyarakatnya multikultural. Multi budaya, agama, etnis,  golongan, dan ras.  Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia itu dalam naungan multi budaya. 

Negara Indonesia mempunyai Wilayah  yang sangat luas, terbentang dari Sabang hingga Merauke, selain itu Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya  alam atau natural resources yang melimpah ruah, contohnya yaitu seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang bentuknya beraneka ragam.

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Indonesia yang sudah dikenal sejak dahulu.  Memiliki makna, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ragam budaya yang ada di Indonesia merupakan  kekayaan unik. 

Yang dimana keunikan ini  tidak dimiliki oleh setiap  bangsa di dunia.  Namun, keberagaman yang ada di Indonesia ini  juga memiliki resiko. 

Multi budaya juga memiliki potensi untuk menimbulkan konflik perselisihan yang dapat mengancam kesatuan bangsa. Ini dikarenakan konflik antar budaya dapat  menimbulkan pertikaian antar etnis, antar ras, penganut agama, maupun antar  golongan yang akan menyebabkan disintegrasi bangsa.


Kondisi ini dapat terjadi, jika konflik  tersebut tidak dapat diatasi dan diselesaikan secara bijaksana dan arif oleh  pemerintah bersama seluruh masyarakat. 

Kondisi alami kemajemukan melahirkan corak dan pengaruh yang berbedabeda. Kemajemukan etnis pun dapat menimbulkan pengelompokan-pengelompokan intraetnik karena setiap etnik memiliki perasaan.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Teori konflik dalam Sosiologi ?

2. Bagaimana konflik antar etnis Tionghoa dan Bugis dapat terjadi?

3. Bagaimana cara mengatasi konflik etnis tersebut?

Tujuan Penelitian

1. Dapat mengetahui apa yang dimaksud Teori Konflik dalam Sosiologi

2. Dapat mengetahui konflik yang dapat terjadi di masyarakat multikultural

3. Dapat Mengetahui kasus konflik dan menganalisis konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa dan Bugis

4. Dapat menganalisis solusi apa yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik etnis tersebut

Teori Konflik Dalam Sosilogi

Yang dimaksud Teori Konflik dalam sosiologi adalah teori yang melihat bahwa perubahan sosial itu tidak terjadi  melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi perubahan sosial dapat terjadi karena akibat dari  timbulnya konflik yang akhirnya menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi  sebelumnya. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur  pokok pemisahan kelas di dalam masyarakat.  

Teori konflik ada karna reaksi dari timbulnya teori struktural fungsional yang menjadi dasar dari teori konflik. Pemikiran ini berasal dari Kalr Marx Pada tahun 1950-an sampai 1960-an, pada tahun tersebut teori konflik mulai menyebar.

Teori konflik ini memiliki  beberapa asumsi dasar. Teori konflik memandang pertikaian dan  konflik dalam sistem sosial. Teori konflik juga dapat berpendapat bahwa di masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. 

Pada kenyataannya dapat kita lihat di masyarakat manapun pasti pernah  terjadi konflik-konflik maupun perselisihan-perselisihan. Kemudian teori konflik juga  melihat adanya koersi, dominasi, dan kekuasaan di dalam masyarakat. 

Selain itu Teori konflik juga  membahas tentang otoritas yang berbeda-beda. Pada akhirnya otoritas yang berbeda-beda ini  menghasilkan subordinasi dan superordinasi. Perbedaan yang ada di antara subordinasi dan superordinasi dapat memunculkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga menilai bahwa konflik itu diperlukan untuk menciptakan  perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial   dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial dapat disebabkan karena munculnya konflik-konflik kepentingan. 

Namun pada suatu situasi tertentu, masyarakat dapat menghasilkan sebuah kesepakatan bersama. 

Di dalam konflik,  selalu ada negosiasi yang dilakukan yang tujuannya untuk tercipta suatu konsensus.  Menurut teori konflik, masyarakat dapat disatukan dengan "paksaan". Maksudnya,  keteraturan yang ada di masyarakat sebenarnya ada karena paksaan atau koersi. Oleh  karena itu, teori konflik erat hubungannya dengan koersi, dominasi, dan power.

Konflik Yang Terjadi Antara Etnis Tionghoa Dan Bugis     

Hubungan antara warga etnis Tionghoa yang berada di daerah Makassar dan Bugis Makassar sebenarnya harmonis. Tetapi apabila terjadi suatu masalah, baik itu bersumber dari etnis Tionghoa atau tidak, yang menjadi sasaran selalu warga etnis Tionghoa. Kecemburuan sosial yang terjadi merupakan salah satu masalah antara kedua etnis tersebut. Stereotip dan juga prasangka yang berkembang pada etnis Tionghoa dan Bugis Makassar lebih ke arah yang negatif. 

Etnis Bugis Makassar beranggapan bahwa etnis Tionghoa dalam berbisnis sering melakukan kecurangan dan juga menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan kemudahan dalam bidang ekonomi sehingga membuat mereka cepat sukses. 

Lalu apabila ada etnis Tionghoa datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka mereka juga segera membawa rekan-rekannya sesama etnis Tionghoa untuk berbisnis di daerah itu dan mematikan bisnis warga pribumi. Akibat dari tindakan tersebut, etnis Tionghoa dilarang melakukan perdagangan di banyak tempat. 

Sebaliknya etnis Tionghoa menganggap mereka lebih tinggi dibanding komunitas pribumi dan mereka menganggap bahwa etnis pribumi bodoh, pemalas, dan tidak dapat menggunakan kesempatan dengan baik.

Selama ini, konflik etnik Tionghoa dan Bugis Makassar sering muncul juga dikarenakan adanya anggapan bahwa warga keturunan Tionghoa kebal hukum, terutama pada kalangan yang mapan. 

Orang Tionghoa kebanyakan menyelesaikan persoalan hukum dengan membayar para aparat penegak hukum karena kaya dan memiliki banyak uang. Interaksi warga keturunan Tionghoa dengan etnik Bugis Makassar selama ini kurang intens, terutama di area tempat tinggal, karena masing-masing hidup secara berkelompok. 

Warga keturunan Tionghoa menutup diri dengan rumah tertutup serta menjunjung dan memelihara budaya nenek moyang. Sebaliknya etnik Bugis Makassar memiliki stigma dan juga prasangka bahwa keturunan Tionghoa egois dan hanya memikirkan untung rugi jika berhubungan dengan orang lain. (Old Nabble, 2010).

Warga keturunan Tionghoa dianggap menang dalam bidang perdagangan karena etnis Bugis Makassar tidak dapat menyaingi. Sementara itu, etnis Bugis Makassar mendominasi bidang politik yang strategis bagi kebijakan dalam bidang sosial. Ketiadaan satu media yang mempertemukan etnis Tionghoa dan etnis Bugis Makassar adalah realitas yang melahirkan persepsi dan prasangka. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ternyata justru memperkuat simbol-simbol identitas primordial etnis Tionghoa dan etnis Bugis Makassar, sehingga potensi kekerasan menjadi bersifat laten. 

Hal inilah yang disebut Samovar dan Porter (1985, h. 78) sebagai suatu sikap kaku terhadap sekelompok orang berdasarkan keyakinan yang salah, pemikiran sederhana yang dilebih-lebihkan, dan secara emosional kaku dan sulit untuk diubah.

 Hal ini memicu penghindaran diri dari setiap kesempatan untuk bertemu dan berkomunikasi dengan orang yang tidak disukainya. Di samping itu, kondisi tersebut juga membuat perbedaan (diskriminasi) melalui tindakan tindakan aktif serta permusuhan sebagai bentuk manifestasi prasangka.

Stereotip dan prasangka ini juga yang mempengaruhi komunikasi antar budaya Tionghoa dan Bugis Makassar. Etnis Tionghoa cenderung melakukan usaha penghindaran untuk berkomunikasi dengan orang yang tidak diinginkan. Salah satu bentuk penghindaran tersebut adalah pembangunan rumah tempat tinggal yang sangat tertutup dan seolah-olah tidak ingin bersentuhan langsung dengan dunia luar. 

Kebanyakan dari mereka juga menghindari urusan dengan pribumi, seperti saat pengurusan surat-surat, mereka lebih memilih menggunakan calo. 

Bahkan anak-anak etnis Tionghoa disekolahkan di sekolah-sekolah swasta yang khusus untuk etnis tersebut. Sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada anak-anak etnis Tionghoa yang bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang banyak mendidik anak-anak pribumi. 

Perbedaan-perbedaan semacam itu menimbulkan pemikiran bahwa adakah keuntungan yang bisa mereka peroleh jika saling berhubungan dan berkomunikasi dari kedua etnis tersebut

Dilihat dari kenyataan di atas menunjukkan bahwa, dalam berkomunikasi, setiap anggota etnis akan berpedoman pada kaidah-kaidah, norma-norma, dan budaya etnisnya. 

Di dalam masyarakat Tionghoa maupun Bugis Makassar terlihat jelas terdapat berbagai norma, nilai, tradisi, kaidah, serta budaya bawaan yang dijadikan pedoman untuk berkomunikasi oleh masing-masing etnis. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat memicu terjadinya gesekan-gesekan dan benturan-benturan dalam komunikasi antar budaya yang pada ujung menimbulkan konflik.

Solusi Untuk Mengatasi Konflik Etnis Bugis Dan Etnis Tionghoa

Membangun komunikasi yang positif adalah salah satu solusi untuk mengatasi konflik ini. Stereotip dan prasangka dapat diminimalisir jika setiap etnis dapat melakukan komunikasi secara terbuka melalui kontak antar persona maupun antar kelompok dengan etnis yang berbeda. 

Sikap terbuka yang dibangun melalui kontak antar persona harus diimbangi dengan timbal balik yang positif dan juga kerjasama yang baik untuk mengurangi terbentuknya prasangka buruk. 

Sebuah interaksi yang sebelumnya sudah didasari atas kepercayaan, apabila dilakukan secara terus-menerus akan menimbulkan saling pengertian di antara kedua belah pihak, sehingga tindakan diskriminasi dapat diminimalkan.

Pemerintah kota Makassar telah mengambil tindakan untuk mengatasi konflik ini dengan cara bekerja sama dengan paguyuban-paguyuban etnis Tionghoa dan Bugis Makassar, sering mengadakan berbagai forum diskusi pluralisme tentang pembauran Etnis Tionghoa di Makassar. 

Tujuannya yaitu untuk membuka komunikasi dan mengadakan interaksi antara kedua etnis tersebut. Selain itu juga untuk membangun kembali kepercayaan dengan sesama warga lainnya, tokoh-tokoh warga Tionghoa di Makassar selalu berusaha bekerja sama dengan pemerintah dan tokoh lintas etnis lainnya, contohnya dengan membuat kegiatan-kegiatan yang dapat dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat, seperti perayaan Imlek dan Cap Go Meh yang digelar setiap tahun. 

Di sisi lain, Forum Pembauran Kebangsaan Sulawesi Selatan juga selalu menggelar kegiatan-kegiatan yang menyatukan kedua etnis tersebut, misalnya dengan menghadirkan Grup Sendratasik yang menyanyikan lagu-lagu Bugis Makassar, tetapi menggunakan aliran musik Tionghoa (Tionghoa Indonesia, 2010, h. 9). 

Seiring jalannya waktu, kehidupan multikultural di Makassar, khususnya Bugis etnis Makassar dan Tionghoa, semakin membaik, terlebih lagi setelah pemerintah membuat beberapa peraturan yang menganulir peraturan lama sehingga membuat etnis Tionghoa tidak lagi hidup dalam lingkup yang terbatas. 

Peraturan baru tersebut, misalnya, pengakuan Konghucu sederajat dengan agama Islam,Kristen, Hindu, dan Budha, undang-undang kewarganegaraan, kebebasan berekspresi, dan mengembangkan kebudayaan dan juga menjadikan Imlek sebagai hari besar keagamaan.

Indonesia sebagai negara multikultur juga telah berupaya untuk menangani berbagai konflik sosial dan etnis, contohnya dengan membuat dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2013 yang berisi tentang penanganan konflik. Melalui undang - undang tersebut, diharapkan konflik dapat diatasi dengan baik. 

Penanganan konflik adalah kegiatan sistematis yang dilakukan secara berencana, baik sebelum konflik, saat berlangsungnya konflik, maupun sesudah konflik terjadi yang mencakup pencegahan, penghentian, dan pemulihan setelah konflik. 

Penyelesaian konflik antara etnis Tionghoa dan Makassar contohnya melalui proses mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah Makassar.

Di Dalam mediasi tersebut, selain melakukan kompromi-kompromi untuk mencapai kesepakatan bersama dan mencegah agar konflik tidak terjadi lagi, pemerintah kota Makassar juga menggunakan win-win solution dimana kedua belah pihak yang berselisih sama-sama mendapatkan kedamaian dan juga keuntungan.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan  bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural. Ada berbagai macam suku, budaya, etnis, agama. Seharusnya itu menjadi suatu keunikan yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi pada kenyataannya keragaman ini menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik.

 Salah satu contohnya yaitu konflik yang terjadi di Makassar yang melibatkan etnis Bugis dan etnis keturunan Tionghoa. 

Konflik ini terjadi karna adanya stereotip dan juga prasangka yang  ada pada etnis Tionghoa dan Bugis  Makassar lebih mengarah ke penilaian yang  negatif. Salah satu solusinya yaitu perlunya pemahaman  masyarakat tentang kesadaran multikulturalis yang menjadi tanggung  jawab bersama. 

Pemahaman ini  dapat timbul jika ditunjang dengan  sosialisasi secara bertahap dan terus-menerus kepada  masyarakat, baik itu beretnis Bugis Makassar, beretnis Tionghoa,  maupun etnis lain yang  hidup saling berdampingan. Pengembangan  demokrasi di Indonesia juga penting untuk membangun  kesadaran multikultural, yaitu kesediaan  untuk menghargai dan menerima dan perbedaan. 

Tanpa adanya kesadaran seperti itu, bangsa Indonesia sulit untuk membangun kemajuan di tengah masyarakat  yang majemuk dalam hal etnis, agama, dan  budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Juditha, C. (2015). Stereotip dan Prasangka dalam Konfl ik Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar.

Tualeka, M. W. N. (2017). Teori konflik sosiologi klasik dan modern. Al-Hikmah, 3(1), 32-48.

Najwan, J. (2009). Konflik Antar Budaya dan Antar Etnis di Indonesia Serta Alternatif Penyelesaiannya. Jurnal hukum ius quia iustum, 16.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun