Wakandaku indah, katanya.
Kota jasa, pusat peradaban dari empat Kabupaten. Jalan-jalan aspalnya semenanjung mata memandang memang halus, asalkan tidak hujan deras.
jikalau hujan, saran saya jangan lupa bawa pelampung, siapa tahu lubang jalan berubah jadi kolam darurat.
Wakandaku damai, katanya.
Asal jangan tanya soal preman, sengketa pasar, atau perkelahian anak muda yang disiarkan langsung di medsos dengan caption, "Wakandaku panas, bro!" Seragam dengan ciri khas IDENTIK sebagai pelindung, sibuk katanya. Mungkin sibuk cari konten juga.
Wakandaku religius, katanya.
Masjid megah, gereja bersinar, rumah ibadah dibangun---sementara panti sosial, sekolah rusak, dan fasilitas publik? Nanti dulu.
Mungkin masih dalam rapat, atau terselip di tumpukan proposal yang tak pernah sampai di meja pengambilan keputusan.
Wakandaku bersih, katanya.
Kalau pagi, petugas kebersihan kerja keras. Tapi siangnya, masyarakat buang sampah sembarangan---karena "nanti juga ada yang bersihkan."
Sungai? Sudah seperti etalase sampah plastik. Daur ulang? Mungkin masih dianggap mitos.
Wakandaku maju, katanya.
Gedung-gedung dibangun, jalan dilebarkan, investor diundang. Tapi anak-anak muda tetap hijrah ke luar kota---karena di Wakanda, ijazah tak menjamin kerja, kecuali kau kenal siapa yang duduk di kursi empuk itu.
Wakadaku demokratis, katanya.
Tiap musim pemilu, baliho penuh janji surga dunia. Setelah duduk, suara rakyat mendadak tidak terdengar, tenggelam di antara bunyi amplop, proyek, dan urusan dinasti.
Wakandaku, ah Wakandaku.
Meski penuh tanda tanya dan ironi, kami tetap cinta. Bukan karena sempurna, tapi karena harapan masih tumbuh, meski perlahan.