Empat sahabat---Ecing, Ari, Indra, dan Ancul---berangkat mendaki Gunung Ambang, sebuah gunung yang belum setenar Semeru atau Rinjani, tapi menyimpan keindahan yang seolah dijaga oleh awan dan sunyi.
Letaknya di Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, tersembunyi di antara hutan hujan tropis dan jalur pendakian yang belum banyak dijamah.
Malam Pertama: Jejak di Tanah Basah
Mereka memulai pendakian dari desa Modoinding, melewati kebun warga, jalur licin penuh akar, dan kabut yang menggantung rendah seperti tirai misteri.
Suasana hutan begitu lebat, bau tanah basah bercampur dedaunan mengiringi setiap langkah mereka.
"Ini baru gunung," kata Ecing, sambil mengangkat ranselnya. "Bukan cuma rame ba selfie, mar ini butul-butul liar."
Sesekali mereka berhenti, mengatur napas di tempat-tempat pemberhentian kecil. Di gerbang pertama, mereka menemukan shelter sederhana yang di bangun dengan megah---tapi yang membuat mereka terdiam bukanlah tempat itu, melainkan corak-corak yang merusaknya: coretan nama-nama dengan spidol, goresan pisau di kayu, dan bahkan tulisan spray dengan cat semprot murahan.
"Weh, kypa tampa sebagus ini kong dorang mo kase rusak dang?" kata Ancul dengan kesal, Sembari melihat-lihat dinding yang penuh coretan.
Indra menggeleng, "Ini bukang Cuma sekadar vandalisme, ini ego. Suka mo diakui mar dengan cara yang salah."
Mereka membersihkan sisa-sisa plastik dan puntung rokok di sekitar pos. Meski kecil, mereka ingin meninggalkan tempat itu lebih baik dari sebelumnya.