Mohon tunggu...
Ari Junaedi
Ari Junaedi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar, Konsultan, Kolomnis, Penulis Buku, Traveller

Suka membaca, menikmati perjalanan, membagi inspirasi, bersilaturahmi

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mendekap Malam di Kajoetangan, Malang

16 Mei 2023   16:55 Diperbarui: 16 Mei 2023   17:00 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kajoetangan begitu banyak menyimpan memori lawas (foto : Ari Junaedi) 

Menikmati kuliner sembari nostalgia di Kajoetangan (foto : Ari Junaedi)
Menikmati kuliner sembari nostalgia di Kajoetangan (foto : Ari Junaedi)

Di jelang Lebaran, biasanya bapak ibu mengajak saya dan kakak-kakak untuk beli baju baru di toko-toko yang ada di sepanjang Jalan Kajoetangan. Tentu saja membeli baju adalah ukuran "kemewahan" di tahun 1970-an dan saya pun alhasil hanya bisa bangga dengan baju baru yang dibelinya setahun sekali.

Mendiang ayah saya yang menjadi anggota TNI-AD berpangkat bintara, paham betul dengan kesukaan saya menonton film perang. Film-film yang saya gemari adalah kisah Perang Dunia ke-II. The Dirty Dozen, A Bridge Too Far, dan Tora-Tora  adalah film-film perang yang pernah saya tonton di Gedung Bioskop Merdeka. Bahkan dalam semalam, saya berdua dengan ayah sempat menonton dua film perang secara berurutan di dua bioskop yang berbeda, yakni di Gedung Bioskop Ria dan Surya. Jika Merdeka Theater di Jalan Kajoetangan maka Ria dan Surya berada di dekat Alun-Alun, yang tidak jauh dengan Kajoetangan.

Bagi saya Kajoetangan bukan sekedar nama sepenggal jalan protokol di pusat Kota Malang. Kajoetangan yang telah bersalin nama menjadi Jalan Basuki Rahmat begitu menyimpan banyak memori.

Toko Mainan Lido di perempatan jalan Kajoetangan dengan Bromo adalah "surga" bagi saya dan anak-anak ketika itu. Jika anak-anak dari keluarga berada berwajah gembira usai menggamit mainan baru, saya cukup "memvisualkan" mainan yang saya sukai. Kakek akan berusaha mencarikan di pasar rombeng atau barang bekas di perkampungan di belakang Kajoetangan. Jika beruntung, kakek saya bisa menemukan mainan "mobil-mobilan" yang saya impikan.

Kajoetangan menjadi ikon kota Malang, Jawa Timur (foto : Ari Junaedi)
Kajoetangan menjadi ikon kota Malang, Jawa Timur (foto : Ari Junaedi)

Dereten toko-toko disepanjang Jalan Kajoetangan begitu lekat di benak saya hingga sekarang. Ada toko yang khusus menjual tembakau dan cerutu. Ada toko yang khusus menjual mesin jahit bermerek "Singer", ada kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) tempat warga bisa membaca koran "Bhirawa" atau "Merdeka"  dengan gratis karena terpampang di papan berkaca.

Metamofosa Kajoetangan

Melihat perkembangan Kajoetangan, Malang saat ini saya menjadi teringat dengan Ernest W Burges. Dalam bukunya yang berjudul "Introduction to the Science of Sociology (1921)",  disebutkan kalau manusia punya kecenderungan alamiah untuk berada sedekat mungkin dengan pusat kota.

Kajoetangan sesuai perkembangan zaman, kini telah terimbas dengan kemajuan zaman dan perubahan wujud kota. Ciri-ciri pertokoan modern yang membutuhkan ruang parkir yang memadai  tidak lagi bisa diakomodasi Kajoetangan. Perubahan pola  bisnis baru juga meniadakan keberadaan toko-toko lama. Kini Kajoetangan bersolek rupa menjadi kawasan kuliner dengan memanfaatkan keberadaan bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh dan terawat.

Kajoetangan menjadi kawasan
Kajoetangan menjadi kawasan "heritage" penanda perjalanan sejarah Kota Malang (foto : Ari Junaedi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun