Sekarang matahari, semakin tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan? (Rendra, Sajak Pertemuan Mahasiswa)
Pekerjaan rumah atau PR yang sering kali kita dengar dalam lingkup pendidikan khas di Indonesia sebenarnya adalah tugas yang berhubungan dengan pelajaran tertentu yang diberikan oleh guru dan akan dikumpulkan dalam pertemuan berikutnya oleh guru.
PR digunakan oleh guru agar seluruh proses pembelajaran yang ditargetkan bisa selesai tepat waktu.
Waktu pembelajaran terbatas sementara materi bertumpuk-tumpuk, menjadi alasan untuk menjadikan PR sebagai satu-satunya cara jitu guru menyelesaikan kurikulum. PR menjadi satu-satu cara untuk menyelesaikan seluruh tagihan seperti yang diharapkan pemerintah.Â
Bisa dibayangkan jika sebuah kelas ada 10 bidang studi. Jika semua guru  memberikan PR, maka ada sekian ratus tugas yang harus diselesaikan oleh seorang murid agar ia tidak malu di depan kelas.
Tidak jarang jika PR tadinya dianggap sebagai salah satu cara menumbuhkan minat belajar siswa, membantu siswa untuk mampu mengerjakan ulangan-ulangan yang diberikan guru, pada akhirnya menjadi beban.
Apalagi rasa tidak mau tahu guru hadir dalam proses pembelajaran. Guru ini memberikan PR dan besok harus selesai. Guru itu memberikan PR dan lusa harus dikumpulkan.
Guru lain memberikan PR dan dikumpulkan secara online. Jika kondisi ini masih terjadi, rasanya memang PR bukan menjadi alat pengembangan karakter melainkan sebuah bentuk hukuman dari guru, bahkan sekolah. Siswa terus merasa sebagai pesakitan.Â
Bertumpuk-tumpuk Tugas Menunggu
Guru dan PR sepertinya dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Bahkan, Â tidak ada guru tidak ada PR Â rasa-rasanya hanya cerita semu. Tidak jarang bahkan mungkin sering terjadi, suatu hari tidak ada guru di kelas tapi tugas kelas dan PR sudah menunggu seperti selalu merindu kepada para siswa. Tidak salah, PR seolah menjadi masalah seperti halnya pengantin baru yang dimadu.
Ketika terdengar berita nun jauh di sana, bahwa siswa akan terbebas dari PR. Lalu, sesungguhnya apakah ada yang salah dengan PR. Benarkah PR dianggap semacam monster yang menakutkan, menindas siswa, menumpulkan prestasi siswa, menghukum karakter siswa, bahkan membuat kegembiraan anak-anak terenggut, sehingga PR harus dikurung dalam lubang yang paling dalam sekalipun. Apakah benar PR menindas siswa hingga tertekan dan tak merasakan kegembiraan di masa anak-anak?
Sepertinya jebakan-jebakan kecil ini membutuhkan kebijaksanaan, bukan hanya orang tua, tetapi juga guru, sekolah dan pemangku kepentingan yang memang peduli dengan pendidikan di negeri ini.
Jangan sampai, tujuan mulia guru yang dianggap tahu kebutuhan siswa kemudian terenggut oleh keputusan sesaat yang menjadikan PR kambing hitam permasalahan negeri ini.
Sebuah kesadaran begitu penting ketika proses pembelajaran harus terus-menerus melakukan pengulangan dan pengelolaan sarana belajar, pun dengan PR. Organisasi kelas harus dibuat sedemikian rapi agar siswa benar-benar mempunyai kompetensi seperti yang diharapkan oleh setiap organisasai pendidikan. Bukankah dalam setiap proses pendidikan tidak hanya menghasilkan sebuah kompetensi otak melulu.
Siswa perlu belajar bagaimana pantang menyerah berlaku untuk seluruh dinamika kehidupannya, bagaimana kerjasama terjadi dalam setiap jengkal harapan, bagaimana kepedulian ditanam dalam sanubari yang paling dalam, bagaimana menjadikan kejujuran sebagai roh setiap perbuatan, bahkan sampai dimana memaknai kebersamaan dalam masyarakat yang serba beragam. Jangan-jangan sekian bentuk karakter siswa dapat terlihat dalam setiap proses pendidikan di kelas, di rumah dan di masyarakat.
Termasuk bagaimana seharus  PR bisa dijadikan sarana membekali karakter yang diagung-agungkan dalam dunia pendidikan kita. Bukan malah menganggapnya  sebagai monster yang menakutkan. Jangan-jangan yang menjadi masalah sebenarnya bukan pada PR itu sendiri, tetapi ketidakpercayaan terhadap guru yang tidak sanggup mengelola PR untuk siswa-siswanya.Â
Tugas tidak Membelenggu
Siswa akan dibebaskan dari PR. Siswa akan dibebaskan dari belenggu tugas di rumah. Begitulah kira-kira berita pembebasan anak didik dari belenggu PR. Begitu banyak masyarakat yang mengamini. Setuju, satu kata, dan ya, begitulah menjadikan siswa yang bebas merdeka. Merdeka dari penjajahan  PR.
Alasan sederhanya; membebaskan PR ini akan diterapkan agar beban tugas kepada pelajar SD dan SMP tidak terjadi. Seperti menggali lubang tutup lubang, satu masalah lenyap tumbuh seribu masalah. Â Â
Padahal bisa saja PR dijadikan cara untuk memperkuat kerjasama antarsiswa. Dilakukan bersama-sama, didiskusikan bersama, bisa di rumah dan bisa di sekolah.
Guru bisa mengamati bagaimana siswa terlibat bersama-sama. Bahkan orang tua pun bisa sebagai guru besar di rumah; mengamati bagaimana setiap anak ikut andil dalam mengerjakan PR. Bukan malah orang tua yang mengerjakan atau guru les yang ambil bagian.Â
Rasanya bukan kesalahan jika guru tetap memberikan tantangan untuk siswa, tentunya dengan tatatan tingkat kompetensi mereka. Maka, jika PR itu dianggap membebani, tentunya guru ambil bagian ikut menekan siswa. Tidak salah, jika guru memang harus mengetahui benar kemampuan setiap anak satu per satu, sehingga apa yang diberikan tidak begitu saja ditimpakan kepada siswa secara serampangan.Â
Begitu banyak hal sebenarnya bisa dilakukan siswa dalam menguatkan karakter. Selayaknya guru ambil bagian dari seluruh proses ini. Namun, perlu dipahami juga, bahwa pekerjaan rumah yang harus terselesaikan siswa buka menguji kompetensi kepala, lebih dari itu juga sebagai sarana melatih kepekaan dan kepedulian. Untuk itulah guru perlu tahu seluruh konteks belajar siswa; satu per satu.Â
Menumbuhkan Peduli, Menggali Arti
Memang mengelola PR sebenarnya bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi begitu hanyak guru yang terlibat dalam proses pembelajaran di kelas, dan begitu banyaknya pelajaran yang harus dikuasai. Â Tanpa kepaduan seluruh guru, tidak salah jika orang tua akan terus menganggapnya sebagai benalu atau pengganggu.Â
Upaya memaksimalkan PR bisa saya dilakukan dengan melakukan penataan ulang seluruh tugas-tugas untuk siswa utamanya PR yang harus terjadwal, terorganisasi, dan terencana. Sekolah harus punya andil. Perlunya kerjasama dengan orang tua.
Jika selama ini PR terkadang dikerjakan dengan bantuan guru les dan orang tua sendiri, sudah sepantasnya anak diberikan kesempatan untuk mandiri, menghasilkkan karya sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain.
Kurikulum merdeka sudah mengakomodasi proses ini dengan tidak menentukan sebanyak mungkin materi yang harus diselasaikan seorang siswa. Seharusnya seluruh tugas dan pekerjaan sudah terselesaikan di kelas, kecuali yang memang menghendaki proses lain, seperti latihan kemandirian dan kepedulian di rumah. Lalu, mengapa PR itu masih dianggap benalu, beban bagi siswa?Â
Kegembiraan siswa dalam melaksanakan seluruh proses belajar memang sangat ditentukan bagaimana setiap siswa terlibat dalam proses pembelajaran. Maka, meyakinkan bahwa seluruh proses pendidikan terjadi bukan hanya di kelas tetapi juga di rumah sudah selayaknya menjadi tugas bersama. Jangan sampai lenyapnya PR dari dimensi pendidikan justru menurunkan kualitas belajar siswa. Karena sebenarnya bisa saja siswa  bersembunyi dibalik telpon pintarnya dengan alasan ini-itu. Jika itu terjadi, sebenarnya kita telah ikut andil dalam membuat generasi tanpa arti dan  generasi yang tidak peduli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H