Mohon tunggu...
Nuur Arifah
Nuur Arifah Mohon Tunggu... -

Menulis Bukanlah Bakat, Akan tetapi Menulis berawal dari Latihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Dalam Diam

17 Maret 2015   11:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:32 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali. Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar.”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “

“Aku?”, tanyanya tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!”

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

“Entahlah..”

“Apa maksudmu?”

“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

“Dasar bodoh! bodoh!”, kata mereka,

“Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Sumber:http://www.eramuslim.com/oase-iman/kisah-cinta-ali-bin-abi-thalib-da-fathimah-az-zahra.htm#.VQbvP3ZU3uo

Membaca kisah Ali r.a dan Fatimah Az-Zahra di atas, sontak membuat air mata Fairuz meleleh. Fairuz adalah Mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika semester 2 di salah satu kampus Agama Islam ternama di Yogyakarta. Ia adalah lulusan dari sekolah umum, maka tidak heran jika pengetahuannya tentang Islam tidak begitu bagus. Ketika ia membaca buletin mingguan yang mengulas kisah cinta Ali dan Fathimah tersebut, ia mulai tertarik untuk lebih memahami Agama Islam.

Pelan tapi pasti, Fairuz mulai mengikuti kajian-kajian rutin yang di adakan oleh salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) kampus. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan yang dimiliki, ia mulai berbenah terlebih dalam hal berpakaian. Ia mulai menanggalkan pakaian ketatnya, dan mulai tertarik untuk mengenakan rok dan baju longgar serta kerudung yang awalnya tipis, kini mulai mengenakan kerudung yang berbahan kain yang tidak lagi transparan.

Bumi terus berputar mengelilingi porosnya, hingga telah datang masa revolusi tanda pergantian tahun. Fairuz makin mengagumi akan Islam, ia memanglah gadis yang pandai, ketika mempelajari sesuatu ia selalu totalitas dan tidak setengah-setengah. Maka tak heran jika IP (Index Prestasi) yang ia peroleh selalu chumlaude. Fairuz cerdas tidak hanya dalam ilmu-ilmu umum akan tetapi dalam hal mempelajari Islam yang notabene masih “abangan” namun dengan begitu cepatnya ia bisa menguasai.

Tidak terasa kini Fairuz telah memasuki semester lima. Suatu ketika di salah satu mata kuliahnya, Fairuz di ampu oleh seorang dosen laki-laki yang masih sangat muda, usianya baru menginjak 25 tahun. Di pertemuan yang pertama, dosen itu hanya mengisi dengan perkenalan yang singkat dan berwibawa. Dari perkenalan tersebut Fairuz mengetahui bahwa nama dari dosen muda itu adalah Hafiz Abdurrahman yang tak lain adalah alumni dari kampus itu juga dan pada semester inilah kali pertama Pak Hafiz mengajar.

Pada pertemuan kedua yakni pada hari Rabu selanjutnya, Pak Hafiz mulai mengajarkan kepada kami tentang “Logaritma”. Disela-sela menjelaskan materi, Pak Hafiz selalu menghubungkan dengan materi agama Islam, menghubungkan bilangan-bilangan atau angka-angka mulai dari 1 sampai dengan 9 yang tak akan berarti apa-apa tanpa adanya angka nol. Pak Hafiz bertanya kepada kami “Siapakah tokoh penemu angka nol?” lantas, dengan tenang salah satu dari kami menjawab “Penemu angka nol adalah tokoh Islam yang juga menjadi Bapak Matematika ia biasa dipanggil al-Khawarismi”. Semua mata tertuju pada sumber suara yang menjawab dengan lugas dan anggun pertanyaan dari Pak Hafiz tersebut, wanita berjilbab lebar yang tak kalah cerdasnya denganku, ia biasa d panggil “Mbak Farah”. Pak Hafiz merespons jawaban Mbak Farah dengan antusias “Applause atas jawaban teman kalian yang dengan tepat menjawab pertanyaan dari Bapak”.

Mendengar pujian yang diberikan Pak Hafiz kepada Mbak Farah, entah mengapa ada perasaan kurang enak di hati saya. Nampaknya saya mulai mengagumi dosen yang satu ini, dari caranya mengajar, caranya berbicara dan pengetahuan yang ia miliki baik pengetahuan mathemathic maupun pengetahuan seputar ke-islaman, semua terlihat perfect dimataku. Namun segera kubuang jauh-jauh pikiran yang datang dari syetan tersebut, aku ingin fokus dengan kuliahku dan memperdalam pengetahuan agamaku. Aku ingin menjadi Fathimah era kini, yang setia menanti kedatangan sosok Ali, entah siapakah sosok “Ali” yang aku nantikan itu, apakah ia Pak Hafiz ataukah orang lain?? Entahlah... satu yang pasti, aku yakin jika memang Pak hafiz adalah orang yang disiapkan Allah untukku tentulah ia akan datang padaku pada waktu yang telah di janjikan oleh-Nya.

Aku mulai mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Pak Hafiz, dan ketika Pak Hafiz mempersilahkan kepada kami untuk mengerjakan ke depan, akulah orang pertama yang mengerjakan di papan tulis diikuti oleh mbak Farah yang mengerjakan soal nomor dua. Entah mengapa aku merasa ada yang beda dari cara Pak Hafiz memandang Mbak Farah, “apakah Pak Hafiz menyukai Mbak Farah?” ah entahlah... aku juga tak peduli, yang jelas untuk saat ini aku ingin memendam dan membuang jauh-jauh dulu mengenai apa yang tengah aku rasakan. Teringat jelas dalam benakku akan perkataan Ali bin Abi Thalib tatkala mendengar Fatimah telah dipinang oleh Abu Bakar dan Umar: ”Bukankah cinta tak berarti harus memiliki? Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai, karena cinta tak pernah meminta untuk menanti, ia mengambil kesempatan itulah keberanian atau mempersilahkan orang lain yang ini adalah pengorbanan.”

Aku mulai menatap masa depan dan menjalani hari-hariku dengan penuh optimis, aku juga mulai biasa dengan perkuliahanku bersama Pak Hafiz karena aku sudah bertekad untuk menyimpan rasaku dalam diamku. Jika memang ia adalah orang yang telah disiapkan Allah untukku, pastilah suatu saat nanti kita akan disatukan dalam mahligai kebahagiaan. Di samping kuliah, aku juga aktif di organisasi keagamaan di luar kampus. Aku mulai menata hatiku dengan mengikuti organisasi dakwah khusus akhwat (wanita) dan lambat laun akupun mulai tertarik untuk mengenakan baju terusan (gamis) lengkap dengan jilbab lebar. Aku juga banyak bertanya mengenai berbagai hal kepada sahabat-sahabatku seputar Islam, karena menurutku Islam adalah agama yang sangat luar biasa, dimana semua amalan telah diatur dan dibahas mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, lengkap... semua ada.

Singkat cerita aku telah menjadi tim murabbiyah (tim pengajar pada suatu majelis ta’lim) yang telah mempunyai beberapa mad’u (murid). Tak terasa sekarang aku telah menjadi seorang da’iyah yang disibukkan dengan jadwal dakwah diberbagai tempat. Aku lulus kuliah tepat empat tahun, namun setelah lulus aku diajak Ayah untuk pergi ke Kalimantan dan mengajar disalah satu Sekolah Menengah Atas di desa pinggiran yang jauh dari keramaian. Otomatis aku harus berpisah dengan teman-teman organisasi dan juga murid-murid ngajiku di Yogyakarta. Ah... aku merasa bimbang dengan keputusan yang akan ku ambil, aku merasa berat untuk berpisah dan jauh dengan mereka. Akan tetapi Ayah tetap bersikeras untuk mengajakku pergi meninggalkan pulau Jawa ini. Lantas bagaimana dengan kiprah dakwahku selama ini? Bagaimana pula akan kuhadapi hari-hari tanpa adanya orang-orang terdekatku??

Bersambung...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun