Mohon tunggu...
Nuur Arifah
Nuur Arifah Mohon Tunggu... -

Menulis Bukanlah Bakat, Akan tetapi Menulis berawal dari Latihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Dalam Diam

19 Maret 2015   17:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lanjutan...

Seminggu sebelum keberangkatanku, aku berpamitan dengan ustadzah, teman, dan juga murid-murid ngajiku di Yogya. Air mata ini tak henti-hentinya menitis membasahi pipi ini, pun begitu dengan mereka yang aku pamiti. Aku meminta do’a mereka pada salam perpisahanku ini, dan tangisku pun kembali pecah saat ustadzah berpesan kepadaku“Nak Fairuz... di bumi Allah sebelah manapun kita berada, kita tetaplah seorang hamba yang mengemban tugas untuk menyerukan agama Allah yang haq ini, jadi jangan putus sampai disini... tetaplah berjuang semoga suatu saat nanti, kita kembali dipertemukan dan bisa merajut lagi tali persaudaraan ini dengan penuh kehangatan.” Aku hanya bisa manggut-manggut sambil terisak-isak mendengar pesan mengharukan tersebut.

Seminggu kemudian hari keberangkatan pun tiba, anggota keluarga dan juga kerabat satu per satu mulai memeluk dan menciumiku seolah-olah aku akan pergi dan tak kembali. Diantara yang lain, Ibu adalah orang yang paling terisak saat itu. Aku tak kuasa berpamitan dengan ibu, lantaran begitu berat rasanya jauh darinya. Perlahan... mobil travel yang mengantar kami ke bandara mulai bergerak, pergi meninggalkan kampung halamanku. Kuhapus air mataku dan aku mencoba kembali kuat seperti sedia kala. Jadwal penerbangan kami mengalami delay selama 30 menit sebelum akhirnya kami terbang menerjang awan dengan tangguhnya.

Pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan mulus dan kami langsung bergegas menuju Samarinda, kota dimana tempat nenek saya tinggal. Setelah beristirahat kurang lebih selama empat hari, akhirnya aku diantar oleh tante saya kesebuah sekolah yang lokasinya cukup jauh untuk ditempuh dari tempat kami tinggal. Sesampainya disana, aku disambut dengan begitu baik dan ramah. Aku langsung diterima sebagai guru matematika sekaligus menjadi wali kelas untuk siswa kelas X IPA, maklum karena disana sangatlah kekurangan tenaga pengajar. Sedangkan Ayahku ikut bekerja bersama adik laki-lakinya di sebuah perkebunan kelapa sawit.

Hari-hari kulalui dengan rutinitas yang cukup menarik, perjalanan ke sekolah yang memakan waktu 2 jam dengan mengendarai sepeda motor, pulang sore dan setiap hari rabu malam aku mengisi majelis ta’lim ibu-ibu. Aku merasa senang karena di tempat ini aku bisa mengamalkan ilmu-ilmu yang aku miliki, baik itu ilmu umum maupun ilmu agamaku. Setelah enam bulan berlalu, aku mengusulkan kepada Kepala Sekolah agar diadakan ekstrakurikuler kajian keislaman satu hari setiap minggunya. Dan usulku diterima, aku diperkenankan untuk mengisi kajian di sekolah tersebut setiap hari sabtu selesai jam pelajaran. Betapa senangnya hatiku lantaran kehadiranku bisa berguna bagi orang-orang sekitarku, aku bisa berbagi pengalaman kepada mereka sekaligus berdakwah.

Waktu berjalan begitu cepatnya, tak terasa setahun sudah aku berada di sini. Sudah terlihat banyak perubahan di lingkungan tempat aku tinggal, banyak ibu-ibu yang sudah tergerak hatinya untuk mau mengenakan hijab begitu pula di sekolah tempat aku mengajar, siswa putri sudah banyak yang mulai mengenakan kerudung saat ke sekolah. Kepala Sekolah juga tak merasa keberatan dengan hal itu, “Selama perubahan yang terjadi itu positif, saya akan selalu mendukung nak Fairuz untuk melakukan perubahan-perubahan dan juga pembaharuan di sekolah kami, termasuk tidak melarang jika ada siswa putri yang berkenan untuk mengenakan pakaian tertutup lengkap dengan kerudung di kepalanya.”

Memasuki tahun ketiga aku memutuskan untuk kembali ke kota asalku, karena sejak aku pergi ke Kalimantan belum sekalipun aku pulang, sedangkan Ayahku setiap enam bulan sekali pulang. Aku mulai membicarakan niatku untuk pulang sekaligus pindah mengajar di Jawa, dan Ayahku juga setuju karena Ayah merasa sudah saatnya aku menikah. Setelah menyampaikan keinginanku kepada Kepala Sekolah, akupun diizinkan dan diberikan waktu selama satu minggu untuk mengajar sekaligus perpisahan dengan semua warga sekolah. Teman-temanku di Yogya juga telah aku kabari bahwa sebentar lagi aku akan pulang ke Jawa, mereka menyambut dengan antusias, meskipun jarak kami jauh namun komunikasi kita tetap terjalin dengan baik.

Benar saja, hari perpisahan itu datang juga. Kepergianku dari sekolah itu diiringi dengan isak tangis murid dan teman-temanku, aku berharap setelah kepergianku dakwah akan tetap berjalan dan hal-hal baik yang sudah berjalan akan senantiasa istiqomah. Tanpa sepengetahuanku, mereka menyiapkan kejutan perpisahan untukku, semua warga sekolah memberiku kenang-kenangan termasuk anak-anak didikku. Aku terharu dengan semua yang telah mereka persiapkan untukku, berat rasanya meninggalkan keluarga baruku di sekolah ini, namun aku harus segera pulang lantaran rasa rinduku pada Ibu dan juga teman-teman yang sudah tak terbendung lagi. Aku meninggalkan Kalimantan bersama Ayah, akan tetapi dengan suasana hati yang tak menentu, bahagia lantaran tak lama lagi aku akan bertemu dengan ibu, keluarga, kerabat dan juga sahabat-sahabatku namun disisi lain aku juga sedih lantaran harus kembali dengan nenek, ibu-ibu pengajian disekitar rumah nenekku dan juga keluarga baruku di sekolah tempat aku mengajar.

Sesampainya di rumah ibu dan juga kerabat sudah menunggu kedatangan kami. Ibu terus saja memeluk dan menciumiku, rasanya akupun tak ingin melepaskan pelukan hangat yang sudah lama tak aku rasakan. Setelah istirahat dan juga bercerita panjang lebar, tak terasa sudah dua minggu aku di rumah. Aku mulai merancang jadwal untuk bertemu dengan ustadzah dan juga teman-temanku sebelum aku mengurus surat pindah mengajar di Madrasah Aliyah dekat tempat tinggalku. Kamipun membuat kesepakatan untuk bertemu di kampus kami dahulu. Lama tak jumpa membuat kami tak henti-hentinya bercerita dan berbagi pengalaman. Waktu berlalu dengan begitu cepatnya, hingga tak terasa jarum jam telah menunjukkan pukul 14.00 siang. Aku memutuskan untuk pergi mengunjungi ustadzah dan berpamitan dengan teman-temanku.

Sesampainya di rumah ustadzah aku disambut dengan kata sambutan yang begitu menentramkan hatiku “ahlan wa sahlan ukhty...selamat datang kembali” dengan senyuman manis di wajahnya. Ustadzah menanyaiku mengenai kiprah dakwahku selama di Kalimantan, apakah aku tetap bisa mengaji disana, bagaimana kehidupanku dan yang membuat aku tersentak ustadzah bertanya apakah sudah ada calon pendamping yang hadir di hidupku. Semua aku jawab dengan jujur apa adanya termasuk dalam hal pendamping, aku mengatakan sudah ada niat dan keinginan kuat untuk saat ini namun belum ada yang “klik” dihati ini. Dengan tetap tersenyum dan juga penuh kewibawaan ustadzah memintaku untuk mengisi biodata yang beliau sodorkan dan menemuinya kembali minggu depan di hari dan jam yang sama, tanpa bertanya lebih lanjut akupun mengiyakan permintaan ustadzah.

Hari yang diminta ustadzah pun tiba, aku menemui ustadzah pada hari dan juga jam yang telah disepakati. Setelah berbincang, beberapa saat kemudian aku mulai menyodorkan biodata yang telah aku tulis. Aku semakin terheran-heran lantaran lagi lagi ustadzah kembali memintaku untuk menemui beliau lagi seminggu kemudian, entah mengapa akupun mengiyakan.

Di minggu berikutnya aku menemui ustadzah barulah aku mendapatkan penjelasan bahwa ada seorang ikhwan (laki-laki) yang tengah mencari calon pendamping. Tak lama kemudian ustadzah mulai bergerak meninggalkan tempat duduknya menuju ke sebuah rak untuk mengambil selembar kertas lantas kembali berbalik dan menghampiriku. Ustadzah menyodoriku selembar kertas yang tak lain dan tak bukan adalah sebuah biodata dari ikhwan yang beliau maksud. Dengan dada yang terus berdegup hebat aku mulai membaca namanya, dan betapa kagetnya aku karena nama yang tertera adalah “Hafiz Abdurrahman” sebuah nama yang pernah membuat hatiku merasa gundah dibuatnya, merasa bingung akan perasaan yang dulu pernah aku rasakan. Merasa kurang yakin karena mungkin itu hanyalah kesamaan nama, akan tetapi di kolom terakhir yang letaknya berada dipaling bawah terpampang dengan jelas foto Pak Hafiz dosenku saat aku kuliah dulu. Apakah aku bermimpi? Apakah cinta dalam diamku benar-benar telah mendapatkan jawabannya?

Singkatnya, kamipun saling setuju satu sama lain untuk mengikat janji suci dalam sebuah ikatan tali pernikahan. Selesainya ikrar suci itu diucapkan, Pak Hafiz berbisik padaku “Kamulah permata yang selama ini aku cari dan juga aku nanti”. Tanpa sepengetahuanku ternyata Pak Hafiz juga mengagumiku, Subhanallah... memang seindah-indah rencana adalah rencana-Nya dan seindah-indah pertemuan adalah pertemuan karena-Nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun