Pendahuluan: Ketika Cinta Butuh "Proposal" Resmi
Mari jujur, siapa yang tidak pernah bermimpi tentang momen khitbah? Bagi sebagian orang, kata "khitbah" sudah cukup untuk membuat jantung berdebar seperti sedang berlari maraton. Padahal belum apa-apa, baru sebatas niat, sudah keringat dingin duluan. Memang ya, cinta itu indah, tapi prosesnya kadang bikin kita seperti sedang menghadapi ujian skripsi---penuh persiapan, harap-harap cemas, dan berharap semuanya berjalan lancar.
Khitbah, atau dalam bahasa yang lebih kasual disebut "lamaran," adalah salah satu tradisi paling mulia sekaligus paling mendebarkan dalam Islam. Ini adalah momen di mana seorang pria (biasanya sudah tidak bisa tidur nyenyak selama berminggu-minggu) mendatangi keluarga wanita yang dicintainya untuk menyampaikan niat baik. Bukan sekadar "Pak, saya mau nikah sama anak Bapak," tapi ada seni tersendiri di dalamnya.
Persiapan: Lebih Ribet dari Persiapan UN
Sebelum hari-H khitbah, biasanya calon mempelai pria sudah mengalami fase-fase yang cukup... dramatis. Mulai dari berkonsultasi dengan teman-teman (yang ujung-ujungnya malah bikin tambah bingung), browsing di internet tentang "tips khitbah yang sukses" (seolah-olah ada rumus matematikanya), sampai berlatih di depan cermin berbicara dengan calon mertua.
Yang paling lucu adalah ketika memilih baju. Sudah seperti mau interview kerja di perusahaan multinasional. Kemeja dicoba berkali-kali, celana dilihat dari berbagai sudut, sepatu dipoles sampai mengkilap seperti lantai masjid yang baru diepel. Belum lagi pilihan parfum yang sampai harus dikonsultasikan sama adik perempuan, "Menurut kamu, wangi ini terlalu menyengat nggak ya?"
Orang tua calon mempelai pria pun tidak kalah sibuk. Ibu-ibu sudah mulai riset tentang keluarga calon menantu, mulai dari silsilah keluarga sampai tetangga sebelah rumah. Ayah mulai menyiapkan mental untuk berbicara serius dengan calon besan, meski dalam hati mungkin juga deg-degan.
Hari-H: Ketika Drama Bertemu Realita
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pagi-pagi sekali, rumah sudah riuh dengan persiapan. Ibu masak seperti mau hajatan, padahal yang datang cuma beberapa orang. Menu makanan dipilih yang "safe" tapi tetap berkesan---jangan sampai calon besan bilang, "Kok cuma ada kerupuk doang?"
Calon mempelai pria, yang biasanya santai-santai aja, tiba-tiba jadi seperti robot yang rusak. Duduk gelisah, senyum kaku, sampai lupa cara makan yang benar. "Mas, sendoknya jangan digigit-gigit dong," bisik ibunya pelan.
Yang paling menegangkan adalah saat moment of truth---ketika harus menyampaikan maksud dan tujuan. Padahal sudah dilatih berkali-kali, tapi begitu berhadapan dengan calon mertua, lidah mendadak kelu. Kalimat yang sudah dihafal mati-matian tiba-tiba hilang dari ingatan. Yang keluar malah, "Eh... anu... Pak... saya... maksud saya..." awkward silence
Respon yang Beragam: Dari Haru sampai Heboh
Reaksi keluarga calon mempelai wanita pun beragam. Ada yang langsung terharu sampai mau nangis (biasanya ibu), ada yang langsung interrogasi seperti jaksa penuntut umum (biasanya ayah), dan ada yang malah sibuk ngambil foto untuk "dokumentasi" (biasanya adik-adik).
Sang calon mempelai wanita sendiri? Jangan ditanya. Duduk manis di pojok, sesekali senyum-senyum sendiri, tapi dalam hati mungkin berteriak, "Ya Allah, ini beneran terjadi!" Atau malah kepikiran, "Kok dia keringatannya banyak banget sih? Nervous banget kayaknya."
Hikmah di Balik Kecanggungan
Terlepas dari semua kecanggungan dan drama yang terjadi, khitbah sebenarnya adalah tradisi yang sangat mulia. Ini adalah cara Islam mengajarkan kita untuk menghormati proses, menghargai keluarga, dan tidak sembarangan dalam urusan hati.
Khitbah mengajarkan kita bahwa cinta bukan hanya urusan dua orang, tapi juga melibatkan keluarga besar. Ini adalah langkah awal untuk membangun fondasi pernikahan yang kuat, di mana kedua keluarga saling mengenal dan memahami.
Yang paling indah dari khitbah adalah momen ketika dua keluarga yang tadinya asing menjadi satu kesatuan. Meskipun prosesnya mungkin penuh dengan tingkah konyol dan momen canggung, tapi di situlah letak kemanusiaannya. Kita semua manusia biasa yang punya perasaan, harapan, dan kekhawatiran.
Tips Santai untuk Calon "Pekhitbah"
Bagi yang sedang mempersiapkan khitbah, rileks saja. Ingat, keluarga calon mempelai wanita juga manusia biasa. Mereka tidak akan menggigit (kecuali kalau memang keluarga vampire, tapi itu cerita lain).
Yang terpenting adalah niat yang tulus dan persiapan yang matang. Bukan matang dalam artian harus sempurna, tapi matang dalam artian sudah siap mental dan finansial untuk berumah tangga. Jangan khitbah cuma karena bosan jomblo atau karena teman-teman sudah pada nikah semua.
Dan yang paling penting, berdoa. Minta petunjuk Allah agar dimudahkan jalannya dan diberi yang terbaik. Karena sejatinya, jodoh itu sudah ada yang ngatur. Kita cuma perlu berusaha dan bertawakal.
Penutup: Ketika Canggung Berubah Jadi Kenangan Manis
Tahun-tahun kemudian, ketika sudah menikah dan punya anak, momen khitbah akan menjadi cerita yang selalu dikenang dengan senyum. "Mama, cerita dong waktu Papa lamaran dulu!" Dan dengan bangga (sekaligus malu), kisah khitbah yang penuh drama itu akan diceritakan turun-temurun.
Karena itulah indahnya khitbah---momen yang awalnya bikin deg-degan, lama-lama jadi kenangan yang bikin senyum-senyum sendiri. Momen di mana kecanggungan berubah menjadi kebersamaan, dan nervousness berubah menjadi keberkahan.
Jadi, untuk para calon "pekhitbah" di luar sana, jangan terlalu overthinking. Nikmati prosesnya, termasuk semua kecanggungan dan drama yang menyertainya. Karena percayalah, suatu hari nanti kalian akan merindukan hari-hari deg-degan itu.
Dan yang terpenting, ingatlah bahwa khitbah bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari petualangan baru yang (semoga) lebih indah. Selamat berjuang, para pejuang cinta halal!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI