Mohon tunggu...
Arif Rahman
Arif Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - instagram : @studywithariffamily

Bekerja untuk program Educational Life. Penelitian saya selama beberapa tahun terakhir berpusat pada teknologi dan bisnis skala kecil. Creator Inc (Bentang Pustaka) dan Make Your Story Matter (Gramedia Pustaka) adalah buku yang mengupas soal marketing dan karir di era sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kantong Tekor Ekonomi Pancasila

24 Desember 2018   10:39 Diperbarui: 26 Desember 2018   16:02 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: freepik.com

Jadi mudahnya, jika Indonesia hendak mengejar pertumbuhan 6%, maka defisit transaksi berjalan akan meningkat 4%, dan dampak sistemiknya akan kemana-mana.

Ada banyak cara untuk mengatasi defisit khususnya secara ekonomi. Mulai dari stimulasi masuknya modal asing hingga menggenjot sektor manufaktur dan ekspor. Namun altarnatif lain yang mungkin bisa menjadi diskursus, adalah mencoba memahami hal ini dari sudut pandang sederhana yang mungkin klise, namun rasanya benar. Terutama jika dikaitkan kembali dengan sistem ekonomi kita yang Pancasila.

Ekonomi Pancasila memberikan ruang pada liberalisasi ekonomi, pemilik modal dapat mengoptimalkan sumber dayanya untuk menciptakan profit sebesar-besarnya. Namun dibatasi pada hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang semuanya dikuasai negara layaknya sistem sosialis. Persoalannya, ketika ini dimulai, ada kelompok pemodal yang berkapasitas besar, sedang, kecil bahkan kecil sekali. Misalkan pengusaha dengan modal Rp. 1 Miliar berinvestasi pada bisnis yang menghasilkan imbal hasil 20%.

Sementara ada pedagang bakso yang memulai usahanya dengan modal 1 Juta untuk membeli rombong dan bahan baku, dengan imbal hasil yang sama. Pengusaha dengan modal Rp. 1 M mendapati perubahan modalnya bertambah Rp. 200 juta dari profit, sementara tukang baso hanya Rp. 200 ribu.

Pengusaha modal Rp. 1 M, memiliki kas tambahan Rp. 200 juta, yang jika ia tanamkan lagi sebagai modal -baik untuk bisnisnya sendiri ataupun bisnis lainnya-, dan juga memberikan imbal hasil 20%, maka akumulasinya akan berlipat. Sementara tukang baso dengan hasil 200 ribu, hanya cukup untuk biaya hidupnya, sekalipun ada yang bisa di investasikan kembali, mungkin besarannya tak banyak.

Inilah yang dalam jangka panjang akan menyebabkan si pengusaha modal Rp. 1 M, akan melipat gandakan kekayaannya berkali lipat dari si tukang bakso. Belum lagi dengan 'prinsip' kapitalisme yang mengharamkan 'penumpukan modal', maka setiap profit di dapatkan, harus di tanamkan kembali sebagai investasi. 

Bahkan kerap kali ini bersimulasi menjadi sebagai 'permainan', maka obsesi mendirikan bisnis yang terakumulasi bisa menjadi ambisi, dan ambisi yang terus terakumulasi lagi bisa menjadi nafsu, nafsu untuk terus memperkaya diri. Dalam jangka panjang, akan ada jurang menganga antara si pengusaha modal 1 M dengan tukang baso. 

Belum lagi dengan akses pengetahuan dan pendidikannya, si pengusaha modal Rp. 1 M dengan latar belakang pendidikan bisnis di Harvard, berhadapan dengan si tukang Bakso yang sekolah di desa yang atapnya setengah terbuka, yang gurunya cuma 2 orang itupun berlatar pendidikan S1 yang tak selesai sebagaimana gambaran banyak sekolah di Indonesia di daerah marjinal.

Tulisan Yenny Tjoe di kompas.com memvalidasi hal ini. Sejak tahun 2000, ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memicu tingginya ketimpangan antarpenduduk. Hal ini tercermin dalam Indeks Gini, yakni indeks untuk mengukur ketimpangan dalam sebuah negara dari 0 (kesetaraan sempurna) sampai 100 (ketidaksetaraan sempurna).

Laporan Bank Dunia pada 2015 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya. Kelompok ini diidentifikasi sebagai kelas konsumen. Mereka adalah orang-orang yang berpendapatan bersih per tahun di atas 3.600 dollar AS atau Rp 52,6 juta dan pengeluaran per hari nya sekitar 10 dollar AS hingga 100 dollar AS untuk makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.

Luky Djani lewat tulisannya di Kompas 14 Desember 2015, menuliskan bahwa ketimpangan ekonomi, akan bermutasi menjadi ketimpangan sosial. Peneliti Institute fo strategic initiatives ini mengutip Charles Tilly (2007) yang menyebutkan mengkristalnya ketimpangan ekonomi dalam kategori sosial, dapat memutar balikkan demokrasi, dimana orang mencari solusi sendiri karena mengangap pemerintah tak mampu mengatasi ketimpangan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun