Sebagian dari kita ada yang alergi ketika ngobrol soal kesedihan, apalagi tentang kesulitan. Terutama kesulitan finansial.
"Hidup kita sudah susah, Bang. Jangan ditambah dengan kesusahan orang lain."
Ada juga yang berkata, "Ngapain juga repot-repot ngobrolin penderitaan orang lain. Dengan obrolan tak akan menyelesaikan masalah mereka."
Satu lagi begini, "Tak usah banyak cakap. Jika mau bantu, jika tak mau tutup mata saja. Toh urusan kita masih banyak."
Entah yang benar yang mana di antara ucapan orang di atas. Masing-masing tentu saja memiliki alasan yang menurut mereka kuat dan merasa benar. Wajar kok. Tak usah diperdebatkan.
Mengetahui bagaimana kehidupan mereka tentu tak akan dapat merasuk dan memberikan rasa mana kala kita tidak pernah berdekatan dengan mereka. Kalau hanya melihat dari jauh, seperti melihat kulit durian. Durinya tajam dan siap melukai jika salah pegang.
Kebetulan ketika saya masih tinggal di Banjarmasin. Tentu saja banjarmasin bukanlah kota besar. Gelandangan dan penghuni bawah jembatan tak sebanyak yang ada di kota besar, seperti Jabodetabek.
Kalau di Banjarmasin, yang namanya jembatan ya di bawahnya air sungai. Beda dengan kota di atss. Di bawah jembatan banyak mobil dan parkiran. Tidak bisa kita samakan. Namun, penghuninya memiliki kemiripan, sama-sama penghuni kolong jembatan.
Biar pun Banjarmasin termasuk kota seribu sungai namun, jembatan penghubungnya tidak banyak banget juga. Apalagi penghuni kolong jembatan. Hanya beberapa jembatan yang memang benar-benar di bawahnya ada papan yang di susun-susun untuk lantai, serta dinding sebagian terbuat dari kardus bekas atau palstik terpal.
Sebenarnya mereka tak asli tinggal di sana. Kadang kolong jembatan hanya dijadikan tempat buat ngaso ketika hujan dan dingin malam begitu mencekam.
Rata-rata pekerjaan mereka adalah pencari palstik dan kardus bekas. Jadi bisa dipastikan begitu toko dan pasar mulai tutup mulailah mereka bergrilya.