"Sttt! Gak boleh mgomongin orang lain. Gibah namanya itu. Jika yang disampaikan benar mana sama dengan menjelekkannya, jika tidak benar ntar jatuh ya fitnah," sergahku kemudian.
Seingat saya sejak peristiwa teman sekelas A bercerita itu karena ceritanya tak saya lanjutkan maka diam-diam saya memperhatikan kelakuan A yang tak lagi seperti biasa.
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu yang membahayakan A. Maklumlah, namanya anak milenial kadang jika berteman dengan lawan jenisnya kelewatan dan mungkin terjerumus dalam bebasnya pergaulan.
Untuk mengetahui lebih jauh perubahan A yang kini tak pernah menyambangi saya lagi ketika berjalan. Suara canda yang biasa terdengar hinga ruang guru pun tak tak lagi suaranya mendominasi.
Maka A saya panggil dengan alasan pura-pura mau minta tolong. Kondisinya benar-benar murung.
Saat itu saya hanya tersenyum menatapnya.
"Pak, ibu dan bapak saya pisah," katanya tanpa saya tanya.
"Akh! Gak papa. Itu urusan orang dewasa. Biarkan saja. Mereka tetap ibu bapakmu kok. Mereka hanya pisah tidur saja. Nanti juga kamu akan terbiasa." Kataku coba menghibur.
"Tapi saya mau, Pak."
""Kan bukan salahmu. Jika kamu telah melakukan kesalahan, wajar jika malu. Pun begitu, gampang. Tinggal minta maaf pada teman yang telah kamu jahati."
Panjang obrolan saya dengan A, remaja puteri yang orangtua mereka bercerai. Â Saya tak yakin cara saya menghiburnya mampu mengembalikannya pada keadaan semula.