Mohon tunggu...
Arif Nurindra Ramadhan
Arif Nurindra Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa/ S1/ Ilmu Ekonomi/ Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Punya komitmen tinggi, kalau belum tau nyatanya jangan menilai hanya dari katanya.

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Surabaya Menuju Green Economy Memimpin dengan Listrik dari Sampah

28 April 2025   05:25 Diperbarui: 28 April 2025   05:25 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenai Green Economy ada kutipan cerita sedikit yang saya ambil dari tayangan talkshow di salah satu acara televisi yang membawakan sebuah permainan yang berjudul Kabut Peradaban. Nah permainan ini bisa sebagai perumpamaan ataupun suatu gambaran bagaimana peradaban manusia secara tidak sadar menciptakan jarak antara dirinya dengan alam. Di zaman dulu, Tarzan dan bumi itu menyatu. Ketika ingin makan, Tarzan langsung mengambilnya dari alam. Namun, seiring berkembangnya peradaban, munculah petani, lalu adanya pasar, hingga berkembang menjadi supermarket. Dengan berkembangnya peradaban ini Tarzan pun tidak lagi mengambil apa yang dibutuhkan langsung ke bumi, tetapi melalui banyak perantara untuk mendapatkan makanan dan lain-lainnya. Inilah yang disebut Kabut Peradaban. Kabut yang secara perlahan membuat kita lupa bahwa semua yang kita konsumsi berasal dari bumi. Semakin kita menyadari hal ini, semakin kita mampu bersikap bijak terhadap lingkungan dan menjalani hidup yang lebih berkelanjutan.

Di era di mana perubahan iklim dan krisis lingkungan semakin mengancam, konsep Doughnut Economy yang digagas oleh Kate Raworth menjadi relevan untuk diterapkan dalam mewujudkan ekonomi hijau. Model ekonomi ini menekankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dasar manusia (social foundation) dan batasan ekologis (ecological ceiling) atau sederhananya memberikan pembangunan berkelanjutan yang seimbang antara kesejahteraan manusia dan kesehatan lingkungan. Surabaya, sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, telah mengambil langkah progresif dengan mengimplementasikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di daerah Benowo. Sebuah terobosan yang tidak hanya mengatasi masalah sampah tetapi juga menghasilkan energi bersih yang ramah lingkungan.

Apa Itu Doughnut Economy?  

Doughnut economy adalah cara berpikir baru tentang bagaimana seharusnya sistem ekonomi bekerja. Selama ini, banyak negara hanya fokus mengejar pertumbuhan ekonomi (PDB), tapi ekonomi donat mengajak kita untuk melihat lebih jauh: bagaimana caranya semua orang bisa hidup layak tanpa merusak bumi.  

Kenapa disebut donat ?  

Coba kalian bayangkan bentuk donat, ada lubang di tengah dan lapisan luar. Nah, konsep ini bisa kita analogikan sebagai berikut:

1. Lubang donat kondisi di mana banyak orang masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, air bersih, kesehatan, dan pendidikan. Kalau sumber daya tidak dibagi dengan adil, masyarakat bisa terjebak di sini.  

2. Lapisan luar donat batas maksimal pemanfaatan sumber daya alam. Kalau kita terus mengeksploitasi bumi secara berlebihan, dampaknya bakal kelihatan: krisis iklim, polusi, banjir, dan kerusakan lingkungan lainnya.  

Jadi, idealnya di mana?

Tujuannya adalah berada di zona aman (the safe and just space for humanity) yaitu tepat di antara lubang dan lapisan luar donat. Di sini, semua orang bisa hidup sejahtera, tapi kita juga tidak mengambil lebih dari yang bumi bisa berikan. Artinya, kita harus pintar mengelola sumber daya sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan, tapi tidak serakah sampai-sampai merusak masa depan. Intinya, ekonomi donat mengajak kita untuk cukup, tidak berlebihan atau seimbang antara kebutuhan manusia dan kesehatan bumi.

TPA Benowo yang terletak di Romo Kalisari Benowo, Kota Surabaya, dengan luas tanah sebesar 37,4 hektar, menjadi bukti nyata penerapan konsep Doughnut Economy. Fasilitas ini menampung limbah dari Kota Surabaya sebesar 1.300-1.500 ton per hari dan mengolahnya menjadi energi listrik melalui dua teknologi canggih:

1. Teknologi Fermentasi Gas (Landfill Gas Power Plant)  

   Sampah organik diolah menjadi gas metana melalui proses fermentasi. Gas ini kemudian dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga gas yang menghasilkan 2 MW listrik. Proses ini tidak hanya menghasilkan energi bersih tetapi juga mengurangi emisi gas metana yang berpotensi mencemari atmosfer.

2. Teknologi Termokimia (Gasifikasi) 

   Sampah non-organik diolah melalui proses gasifikasi di mana material sampah diubah menjadi gas sintetis (syngas) untuk menghasilkan listrik sebesar 12 MW. Teknologi ini dinilai ramah lingkungan karena meminimalkan sisa sampah hingga mendekati konsep zero waste, lalu residu yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bata, dan mampu mengurangi volume sampah secara signifikan.

Dampak Positif

Pengelolaan sampah berbasis teknologi di TPA Benowo telah memberikan berbagai manfaat:

1. Untuk lingkungan yaitu mengurangi timbunan sampah di landfill, kemudian dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencegah pencemaran tanah dan air

2. Untuk ekonomi yatu bisa menghasilkan listrik sebesar 14 MW (gabungan dari kedua teknologi) dan pastinya menciptakan lapangan kerja baru serta menghemat biaya pengelolaan sampah konvensional.

Inisiatif TPA Benowo menjadi jawaban atas (Kabut Peradaban) yang memisahkan manusia dari alam. Dengan mengubah sampah menjadi energi, dapat memperpendek rantai pemanfaatan sumber daya (dari sampah langsung menjadi listrik), mengembalikan kesadaran bahwa semua yang kita konsumsi berasal dari bumi serta dapat menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi bisa berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan.

Meskipun telah menunjukkan hasil yang sangat-sangat positif, pengelolaan sampah di TPA Benowo masih menghadapi beberapa tantangan yaitu antara lain, kebutuhan investasi besar, butuh perluasan wilayah meskipun baru baru ini telah diperluas lagi tetap saja karena jumlah volume sampah tiap hari yang tidak sedikit, kemudian untuk pengembangan teknologi, lalu masih perlu peningkatan atas partisipasi masyarakat dalam pemilahan sampah dan perlindungan terhadap dampak kesehatan bagi para pekerja. Namun disisi lain, peluang pengembangan juga masih terbuka lebar, seperti adanya potensi untuk replikasi teknologi di kota-kota lain, pengembangan industri turunan dari residu pengolahan sampah serta integrasi dengan program pemerintah lainnya seperti transportasi listrik.

TPA Benowo menjadi bukti bahwa Surabaya serius dalam menerapkan green economy melalui konsep Doughnut Economy. Dengan mengubah sampah menjadi energi, kota ini tidak hanya menyelesaikan masalah lingkungan tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru. Inisiatif ini sekaligus menjawab tantangan "Kabut Peradaban" dengan menyadarkan kita bahwa pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kesehatan bumi. Sebagai warga Surabaya, kita bisa mendukung program ini dengan membiasakan memilah sampah dari rumah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan mendukung kebijakan pengelolaan sampah berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Surabaya bisa menjadi model kota hijau yang menginspirasi Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun