1. Teknologi Fermentasi Gas (Landfill Gas Power Plant)Â Â
  Sampah organik diolah menjadi gas metana melalui proses fermentasi. Gas ini kemudian dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga gas yang menghasilkan 2 MW listrik. Proses ini tidak hanya menghasilkan energi bersih tetapi juga mengurangi emisi gas metana yang berpotensi mencemari atmosfer.
2. Teknologi Termokimia (Gasifikasi)Â
  Sampah non-organik diolah melalui proses gasifikasi di mana material sampah diubah menjadi gas sintetis (syngas) untuk menghasilkan listrik sebesar 12 MW. Teknologi ini dinilai ramah lingkungan karena meminimalkan sisa sampah hingga mendekati konsep zero waste, lalu residu yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bata, dan mampu mengurangi volume sampah secara signifikan.
Dampak Positif
Pengelolaan sampah berbasis teknologi di TPA Benowo telah memberikan berbagai manfaat:
1. Untuk lingkungan yaitu mengurangi timbunan sampah di landfill, kemudian dapat menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencegah pencemaran tanah dan air
2. Untuk ekonomi yatu bisa menghasilkan listrik sebesar 14 MW (gabungan dari kedua teknologi) dan pastinya menciptakan lapangan kerja baru serta menghemat biaya pengelolaan sampah konvensional.
Inisiatif TPA Benowo menjadi jawaban atas (Kabut Peradaban) yang memisahkan manusia dari alam. Dengan mengubah sampah menjadi energi, dapat memperpendek rantai pemanfaatan sumber daya (dari sampah langsung menjadi listrik), mengembalikan kesadaran bahwa semua yang kita konsumsi berasal dari bumi serta dapat menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi bisa berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan.
Meskipun telah menunjukkan hasil yang sangat-sangat positif, pengelolaan sampah di TPA Benowo masih menghadapi beberapa tantangan yaitu antara lain, kebutuhan investasi besar, butuh perluasan wilayah meskipun baru baru ini telah diperluas lagi tetap saja karena jumlah volume sampah tiap hari yang tidak sedikit, kemudian untuk pengembangan teknologi, lalu masih perlu peningkatan atas partisipasi masyarakat dalam pemilahan sampah dan perlindungan terhadap dampak kesehatan bagi para pekerja. Namun disisi lain, peluang pengembangan juga masih terbuka lebar, seperti adanya potensi untuk replikasi teknologi di kota-kota lain, pengembangan industri turunan dari residu pengolahan sampah serta integrasi dengan program pemerintah lainnya seperti transportasi listrik.
TPA Benowo menjadi bukti bahwa Surabaya serius dalam menerapkan green economy melalui konsep Doughnut Economy. Dengan mengubah sampah menjadi energi, kota ini tidak hanya menyelesaikan masalah lingkungan tetapi juga menciptakan nilai ekonomi baru. Inisiatif ini sekaligus menjawab tantangan "Kabut Peradaban" dengan menyadarkan kita bahwa pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kesehatan bumi. Sebagai warga Surabaya, kita bisa mendukung program ini dengan membiasakan memilah sampah dari rumah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan mendukung kebijakan pengelolaan sampah berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Surabaya bisa menjadi model kota hijau yang menginspirasi Indonesia menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.