Kebijakan deposit on call di bank-bank BUMN (Himbara) seharusnya menjadi katalis untuk mempercepat kredit UMKM, namun kenyataannya masih jauh dari harapan. Artikel ini mengupas mengapa dana pemerintah belum sepenuhnya mengalir ke sektor yang paling membutuhkan.
Kepemimpinan baru di Kementerian Keuangan selalu membawa dinamika tersendiri. Purbaya Yudhi Sadewa resmi menjabat sebagai Menteri Keuangan. Salah satu kebijakannya yang cukup mencuri perhatian adalah penempatan dana pemerintah dalam bentuk deposit on call di bank Himbara.
Langkah ini memberikan likuiditas yang fleksibel bagi perbankan sambil mengirim sinyal kuat bahwa uang tidak boleh "diam" di brankas, melainkan harus berputar untuk mendorong ekonomi riil. Filosofinya sederhana: dana pemerintah harus jadi katalis pertumbuhan, bukan sekadar aset yang parkir tanpa dampak.
Kredit UMKM: Harapan vs Kenyataan
Dalam teori, kebijakan ini membuka ruang bagi bank untuk mengucurkan kredit lebih besar. Sebagai gambaran, sepanjang 2024, pertumbuhan kredit UMKM hanya 1,8% sehingga porsi kredit UMKM terhadap total portofolio perbankan pada oktober 2024 baru mencapai 19,74%. Angka ini masih jauh dari target pemerintah dan OJK yang menargetkan minimal 30%. Dengan kata lain, gap-nya lebih dari 10 poin persentase dari capaian saat ini. Hal ini menunjukkan betapa besar tantangan dalam mendorong perbankan agar lebih berpihak pada UMKM..
Kenapa bisa begini? Ada dua alasan klasik yang kerap muncul. Bank-bank masih was-was dengan risiko NPL (kredit macet) UMKM yang memang relatif lebih tinggi dibanding kredit korporasi besar. Data menunjukkan NPL UMKM bisa mencapai 3-4%, sementara kredit korporasi umumnya di bawah 2%. Risk appetite yang konservatif ini wajar dari sisi prudential banking, tapi jadi masalah ketika berlebihan.
Di sisi lain, mereka lebih nyaman "bermain aman" dengan menempatkan dana di Surat Berharga Negara yang risikonya minim dan return-nya terjamin. Mengurus ribuan debitur kecil jelas lebih melelahkan daripada sekadar membeli SBN. Belum lagi dari faktor SDM, menilai kelayakan kredit UMKM butuh pemahaman bisnis yang lebih mendalam ketimbang analisis kredit korporasi yang sudah terstandar.
Cerita dari Pelaku Usaha
Keluhan ini bukan cuma angka-angka di atas kertas. David Alfa Sunarna, seorang konten kreator, menyoroti pengalaman pahit UMKM eksportir yang ditolak bank Himbara. Alasan penolakannya cukup standar: usaha masih relatif baru, tidak ada agunan fisik (padahal barang ekspor seharusnya bisa dijadikan jaminan), plus catatan BI checking yang kurang mulus.
Akhirnya para pelaku UMKM ini "terpaksa" beralih ke bank swasta dengan bunga yang umumnya lebih tinggi. Ironis memang, di saat pemerintah sedang getol membuka kerjasama dagang internasional untuk mendongkrak ekspor, mulai dari FTA RCEP, kemitraan dengan Afrika, hingga ekspansi ke pasar Timur Tengah, justru bank pelat merah yang seharusnya jadi garda depan malah terkesan "ogah-ogahan".
Padahal, UMKM eksportir ini sebenarnya punya track record yang cukup solid. Mereka sudah punya pembeli di luar negeri, kontrak yang jelas, bahkan beberapa sudah bersertifikat internasional. Yang mereka butuhkan hanya working capital untuk produksi dan fulfillment pesanan. Tapi tetap saja kredit mereka ditolak karena kriteria penilaian yang kaku.