Hak Pekerja dan Kewajiban Pengusaha atas Sakit Berkepanjangan (lebih dari 12Bulan): Perspektif UU No.13 Tahun 2003
Author: Usman Arifin M, SH. MH.
Labor Law Consultant, Industrial Relations Practitioner, Founder of USALawfirm
Alumnus of the Master of Law Program, Faculty of Law, University of Indonesia (Labor Law Concentration)
ABSTRAK, Human Capital Division, merupakan pembahasan ideal dimana pekerja diperlakukan secara baik dan benar-benar dipikirkan kenyamanannya sebagai manusia maupun sebagai asset bagi Perusahaan, pekerja diperlakukan sebagai asset perusahaan ataupun modal besar bagi perusahaan maka pekerja dibina agar tumbuh dan memiliki produktivitas yang tinggi dimana hasil akhirnya adalah kesejahteraan pekerja akan berdampak terhadap produksi ataupun kelanggengan dan keberlanjutan usaha bagi satu Perusahaan. Pekerja atau Karyawan yang mengalami sakit berkepanjangan selama lebih dari 12 bulan memiliki hak atas perlindungan khusus menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta PP No.35 Tahun 2021 dan revisi oleh UndangUndang Cipta Kerja. Sakit merupakan suatu adanya musibah ataupun keadaan yang membuat pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya ataupun kewajibannya kepada Perusahaan dimana keadaan tersebut bukanlah keinginan dari Pekerja itu sendiri tetapi ada dan datang menimpanya dan harus dihadapi, selaku partner dalam hubungan kerja pengusaha seharusnya bersikap empati dan mendampingi pekerjanya jika dalam kondisi seperti ini, termasuk memberikan apa yang menjadi hak nya dan mengesampingkan terlebih dahulu karena keadaan yang tidak memungkinkan pekerjanya dari kewajibannya. Artikel ini mengulas hak atas upah selama periode sakit, terdapat larangan Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK sebelum 12 bulan, serta prosedur dan kompensasi apabila hubungan kerja dihentikan setelah melewati 12 bulan. Juga dianalisis tanggung jawab pengusaha dalam menjaga hak-hak pekerja sakit secara terus-menerus.
PENDAHULUAN, Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan melarang pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja ("PHK") dengan alasan pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus. Berdasarkan ketentuan larangan PHK karena sakit tersebut, larangan PHK karyawan yang sakit (berkepanjangan atau terus-menerus) terbatas hanya dalam jangka waktu 12 bulan berturut-turut. Dengan kata lain, pada bulan ke-13, pengusaha dapat melakukan PHK.
Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf m UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Di sisi lain, jika dikaitkan dengan pekerja yang sakit dan tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan, Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pada prinsipnya, upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh (karyawan) tidak melakukan pekerjaan atau yang dikenal dengan prinsip no work no pay. Namun, dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya jo. Pasal 40 ayat (3) huruf a PP Pengupahan, pekerja dikecualikan dari prinsip no work no pay tersebut jika ia sakit menurut keterangan dokter sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Artinya, jika sakit, pekerja harus tetap dibayar upahnya sepanjang sakitnya disertai dengan surat keterangan dokter. Jika tidak disertai surat keterangan dokter, maka tetap diperlakukan no work no pay dan bahkan dapat dilakukan tindakan indisipliner. Pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan tidak hanya kehilangan kemampuan bekerja, tetapi juga rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK).
UU Ketenagakerjaan dan aturan turunan memberikan mekanisme perlindungan khusus dalam kondisi seperti ini. Dengan kata lain keberlakuan no work no pay yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan tidak berlaku bagi pekerja yang sakit secara terus menerus, tidak dapat dikategorikan juga tidak masuknya karena mangkir. Dalam hal  jika yang bersangkutan sakit dan tidak dapat memberikan surat/keterangan dokter, maka ia dapat dikategorikan mangkir. Jika ia mangkir selama 5 hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis, dapat dilakukan PHK sebagaimana yang telah dijelaskan.
UU No.13 Tahun 2003 (Pasal 93 & 153)
- Pasal 93 ayat (2)--(3): Pekerja sakit dengan keterangan dokter tetap berhak mendapatkan upah, meskipun tidak bekerja. Berikut adalah pengaturan bagaimana upah tetap dibayarkan terhadap pekerja yang tidak masuk karena sakit secara terus menerus, sebagai berikut:
- 4 bulan pertama: 100% upah
- Bulan 5--8: 75%
- Bulan 9--12: 50%
- Setelah 12 bulan: 25% dari upah sebelum PHK dilakukan.
- Pasal 153 ayat (1) huruf a: Pengusaha dilarang melakukan PHK karena pekerja sakit menurut keterangan dokter selama tidak melebihi 12 bulan berturutturut, dalam praktiknya jika surat panggilan yang ditujukan kepada pekerja yang mangkir atau tidak masuk tanpa alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan maka sampai waktu panggilan dan pekerja tidak memberikan tanggapan apapun maka pekerja itu memenuhi unsur mangkir atau masuk dalam kategori PHK karena mangkir, tetapi jika ternyata telah 2 kali panggilan dan disaat hari pertemuannya pekerja memberikan surat sakit dan bisa dibuktikan jika surat sakit tersebut benar adanya maka PHK karena alasan mangkir dengan sendirinya batal demi hukum, karena surat sakit tadi.
Pasal 172 (UU No.13 Tahun 2003)
- Kompensasi atau hak yang dapat diperoleh oleh pekerja Jika sakit berkepanjangan dan/atau lebih dari12 bulan dan pekerja tidak dapat bekerja, pekerja dapat mengajukan PHK, dan berhak atas kompensasi berupa:
- Uang pesangon: 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2)
- Uang penghargaan masa kerja: 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
- Uang penggantian hak: 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (4)
Â
Â