Mohon tunggu...
Nur Arifin
Nur Arifin Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Awardee Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas Linkage MEP UGM - GSICS Kobe Univeristy. ASN di Badan Pusat Statistik.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Berbicara Daya Saing Indonesia di Dunia Internasional

29 November 2018   14:40 Diperbarui: 29 November 2018   14:54 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berbicara mengenai kekayaan sumber daya alam, Indonesia adalah juaranya. Begitupun menyoal penduduk usia produktif sebagai modal pembangunan, Indonesia tidak akan kekurangan hingga puluhan tahun ke depan. Namun, bermodal keduanya, tidak serta-merta membuat bangsa ini memiliki daya saing yang tinggi di kancah internasional. 

Salah satu negara dengan pasar terbesar di dunia ini masih harus berjuang membenahi berbagai lini, demi meningkatkan daya saing agar setara dengan negara maju. Hal ini menjadi penting karena menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang.

World Economic Forum dalam laporannya "The Global Competitiveness Report 2017-2018" menyebutkan bahwa daya saing Indonesia menduduki peringkat ke-36 di dunia dengan skor 4,68 dari skala 7. Peringkat ini sebenarnya membaik jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berada pada ranking ke-41 dari 137 negara. 

Sayangnya, capaian tersebut masih terpaut jauh dari negara tetangga semisal Singapura (3), Malaysia (23) dan Thailand (32). Selain itu, Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia juga masih berada di bawah rata-rata negara Asia-Pasifik. World Economic Forum menyusun GCI berdasarkan 114 indikator yang diklasifikasikan kedalam 12 pilar. Sedikitnya, ada tiga pilar yang bangsa Indonesia harus berikan perhatian lebih dalam peningkatan daya saing global.

Labour Market Efficiency adalah pilar pertama yang paling buruk. Pilar ini meliputi 10 indikator, dimana salah satunya adalah indikator partisipasi kerja perempuan di Indonesia yang masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2018 menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki 1,5 kali lebih tinggi daripada TPAK perempuan, masing-masing 83,01 persen dan 55,44 persen. Atau dengan kata lain, dari setiap 100 laki-laki terdapat 83 orang yang merupakan angkatan kerja, sementara dari 100 perempuan hanya 55 orang.

Selanjutnya adalah pilar Health and Primary Education dengan indikator terburuk diantaranya jumlah insiden tuberkulosis dan Angka Harapan Hidup (AHH). World Health Organisation (WHO) mencatat bahwa setiap 100.000 orang di Indonesia terdapat 395 orang terjangkit tuberkulosis. 

Sementara itu, BPS mencatat AHH penduduk Indonesia tahun 2017 sebesar 71,06 yang berarti bayi yang dilahirkan memiliki peluang hidup hingga 71 tahun. 

Angka AHH tersebut masih sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara Malaysia (74,9 tahun), Singapura (82,6 tahun) atau dengan negara Hongkong yang merupakan negara dengan AHH tertinggi di dunia sebesar 84,3 tahun.

Pilar ketiga yang juga mendesak dibenahi adalah Technological Readiness, atau tingkat kesiapan teknologi bangsa Indonesia. Pilar ini dirangkum dan dituangkan dalam indeks yang baru-baru ini dirilis BPS, yaitu Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK). IP-TIK merupakan indeks komposit yang mengkombinasikan 11 indikator menjadi suatu ukuran standar pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di suatu wilayah. 

Penghitungannya mengadopsi metode ICT Development Index yang dilakukan oleh International Telecommunication Union(ITU). Sehingga, perhitungan yang dihasilkan keduanya pun tidak jauh berbeda, yaitu 3,88 pada 2015 dan 4,34 pada 2016 dari skala 10. IP-TIK Indonesia masih sangat rendah, yang berarti pembangunan TIK di Indonesia masih sangat tertinggal. 

Jika dibandingkan di level Asia Tenggara saja, Indonesia hanya mampu mengungguli Kamboja, Myanmar dan Timor Leste sedangkan secara global, posisi Indonesia berada di ranking ke-111 dari 176 negara. Kenyataan ini sungguh menyakitkan bangsa Indonesia terlebih di dalam laporannya, ITU menyebutkan bahwa lebih dari 40 persen penduduk di Indonesia tidak memiliki telepon genggam sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun