Aku bilang, “Gue cuma mau lihat bapak senyum bangga.”
Kami semua mengangguk. Impian kami mungkin sederhana, tapi rasanya begitu besar karena dibangun dari nol.
Waktu berlalu. Kami lulus dengan cara masing-masing. Tidak semuanya mulus. Dimas harus mengulang satu semester. Rino kerja dulu baru bisa wisuda. Tigor gagal skripsi tiga kali karena dosen pembimbing ganti terus.
Tapi kami tetap bertahan.
Kini, lima tahun kemudian, aku duduk di sebuah kafe di daerah Senayan, membuka laptop sambil menunggu teman-temanku datang. Aku seorang insinyur, bekerja di perusahaan konstruksi. Dimas akhirnya jadi penyiar radio lokal yang cukup terkenal. Rino mengajar di sekolah kecil di kampungnya, dengan penuh cinta. Bagas buka warung makan yang viral di media sosial karena makanan enak dan konsep unik. Dan Tigor, kini freelance designer yang karyanya dipakai brand-brand besar.
Kami tetap berteman. Beda kota, beda waktu, tapi satu hal tak berubah: persaudaraan kami yang lahir dari ruang sempit, penuh tawa dan air mata.
Hari itu mereka datang satu per satu. Kami tertawa, mengenang masa-masa susah yang kini terasa seperti anugerah.
“Apa kabar kamar kos kita dulu ya?” tanya Bagas.
“Mungkin udah dihuni lima orang lain yang juga lagi belajar hidup,” jawab Rino sambil tersenyum.
Aku menatap mereka semua. Dulu kami datang ke Jakarta dengan kepala penuh impian dan kantong hampir kosong. Sekarang, kami masih membawa impian tapi dengan langkah yang lebih mantap.
Kami pernah hampir menyerah. Pernah merasa dunia tidak adil. Tapi kami tidak sendirian.