Di tengah gemerlap kota New York, di ruang megah Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, seorang perempuan berdiri di mimbar dengan keberanian yang luar biasa. Suaranya tenang, namun mengandung kemarahan yang terpendam. Ia berbicara tentang Gaza tentang darah yang mengalir di jalan-jalan sempit, tentang anak-anak yang tidur di bawah reruntuhan, dan tentang perempuan-perempuan Palestina yang melahirkan dalam kegelapan, tanpa listrik dan tanpa pertolongan medis. Dalam pidatonya, ia tidak hanya berbicara sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai seorang ibu, seorang manusia yang menolak untuk diam di tengah kebiadaban. "Kita tidak boleh lagi bersembunyi di balik kata 'netralitas'," ujarnya dengan suara bergetar. "Ketika anak-anak mati kelaparan, ketika perempuan dipaksa melahirkan di bawah bom, maka diam berarti menjadi bagian dari kekejaman itu." Kalimat itu menggema seperti dentuman nurani di ruangan yang sering kali diselimuti oleh diplomasi dingin.
Pidato itu menjadi simbol baru dari kepemimpinan perempuan di panggung dunia. Ia berbicara bukan dengan ambisi politik, melainkan dengan empati dan keberanian moral yang lahir dari pengalaman manusiawi. Kehadiran seorang pemimpin perempuan di forum internasional seperti ini menunjukkan bahwa dunia tidak hanya membutuhkan strategi, tetapi juga hati. Ia mengingatkan para pemimpin dunia bahwa genosida di Gaza bukan sekadar statistik kematian, melainkan tragedi hidup yang menghapus harapan jutaan manusia. Dalam setiap kata, ia menyalakan kesadaran bahwa perang bukan hanya tentang peluru, tetapi tentang penghancuran kemanusiaan secara sistematis. Ia menjadi suara bagi mereka yang dibungkam oleh blokade, bagi para ibu yang kehilangan anak, dan bagi anak-anak yang kehilangan masa depan. Dunia mendengarkan, dan untuk sesaat, PBB kembali terasa seperti tempat bagi kemanusiaan, bukan sekadar politik kekuasaan.
Beberapa hari setelah pidato itu, dari podium yang sama, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berdiri dan menyampaikan pandangannya tentang tragedi yang sama. Dengan nada yang tegas dan nada suara khas seorang prajurit, Prabowo menyerukan agar dunia tidak lagi berdiam diri terhadap pembantaian di Gaza. "Ribuan nyawa tak berdosa telah melayang. Banyak di antara mereka adalah perempuan dan anak-anak. Dunia tidak boleh lagi berdiam diri," ucapnya dengan lantang. Pidato Prabowo, yang disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB ke-80 pada 23 September 2025, mempertegas posisi Indonesia yang sejak awal berdiri bersama Palestina. Namun kali ini, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kesiapan untuk bertindak. Ia menawarkan pengiriman dua puluh ribu pasukan penjaga perdamaian jika PBB memutuskan untuk mengirimkan misi kemanusiaan ke Gaza. Dalam dunia diplomasi yang sering berhenti pada janji, pernyataan seperti ini adalah bentuk nyata dari tanggung jawab moral sebuah bangsa.
Pidato Prabowo mencerminkan dua hal penting: ketegasan politik luar negeri dan kedalaman moral sejarah Indonesia. Sebagai bangsa yang pernah dijajah dan diperjuangkan melalui darah dan air mata, Indonesia memahami makna penderitaan dan keadilan. Prabowo berbicara tidak hanya atas nama rakyat Indonesia, tetapi atas nama nurani dunia yang menolak pembantaian terhadap rakyat Palestina. Ia juga menegaskan pentingnya solusi dua negara two-state solution sebagai jalan menuju perdamaian permanen di Timur Tengah, sembari menegaskan bahwa keamanan Israel pun harus dijamin agar perdamaian sejati dapat terwujud. Pernyataan ini memunculkan diskusi luas di kalangan pengamat, karena di satu sisi menunjukkan sikap diplomatik yang rasional, namun di sisi lain menegaskan bahwa simpati terhadap korban di Gaza tidak berarti kebencian terhadap bangsa lain.
Dua pidato ini satu dari pemimpin perempuan yang berbicara dengan empati dan kasih, satu dari Presiden Prabowo yang berbicara dengan kekuatan dan ketegasan mewakili dua sisi dari nurani manusia: belas kasih dan keberanian. Dalam konteks genosida di Gaza, kedua suara itu menjadi gema yang saling melengkapi. Sang perempuan menjadi simbol hati yang merasakan penderitaan, sementara Prabowo menjadi simbol tangan yang siap bertindak. Dunia membutuhkan keduanya. Karena tanpa empati, tindakan akan kehilangan arah; tanpa tindakan, empati hanya akan menjadi air mata yang jatuh di lantai diplomasi.
Pidato perempuan di PBB itu juga menjadi representasi dari kebangkitan kepemimpinan perempuan global. Ia menunjukkan bahwa suara perempuan tidak lagi bisa dikesampingkan dalam isu-isu besar dunia. Di tengah perang yang didominasi oleh bahasa laki-laki tentara, strategi, kekuasaan ia membawa bahasa yang lebih jujur: bahasa kemanusiaan. Kelembutan suaranya bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral yang menembus hati para pendengar. Di sinilah makna sejati dari kepemimpinan perempuan: keberanian untuk menangis dan tetap berdiri. Pidatonya bukan hanya menggugah simpati, tetapi juga menantang struktur dunia yang membiarkan kejahatan terjadi atas nama politik.
Di sisi lain, kehadiran Prabowo di forum yang sama menegaskan bahwa negara-negara berkembang tidak lagi menjadi penonton dalam panggung global. Indonesia menegaskan perannya bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai pelaku kemanusiaan. Dengan menawarkan pasukan perdamaian dan menyerukan keadilan bagi Palestina, Prabowo menempatkan Indonesia sejajar dengan kekuatan dunia yang berani mengambil tanggung jawab moral. Sikap ini memberi pesan kuat kepada dunia: bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas geografis, agama, atau kekuatan ekonomi. Selama ada ketidakadilan, suara harus diangkat.
Kedua pidato tersebut, meskipun lahir dari latar belakang yang berbeda, bersatu dalam pesan yang sama bahwa dunia telah terlalu lama menutup mata terhadap penderitaan Palestina. Genosida di Gaza bukan lagi isu regional, melainkan ujian bagi kemanusiaan global. Ketika perempuan pemimpin itu berbicara dengan air mata dan Prabowo berbicara dengan keberanian, dunia seolah diingatkan bahwa politik sejati bukanlah tentang siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling manusiawi.
Kini, ketika bom masih jatuh di Gaza dan anak-anak masih mencari air di antara reruntuhan, gema pidato-pidato itu masih menggantung di udara. Barangkali, di suatu tempat di Gaza, ada seorang ibu yang mendengar kabar bahwa dunia mulai bersuara. Mungkin ia tidak tahu siapa Prabowo, atau siapa perempuan yang berpidato di PBB itu, tetapi ia tahu satu hal: bahwa akhirnya ada orang-orang di dunia ini yang peduli, yang berani berbicara ketika banyak yang memilih diam. Dan mungkin di sanalah, di antara puing-puing dan debu, kemanusiaan masih hidup diselamatkan oleh suara-suara yang menolak bungkam.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI