Mohon tunggu...
arif ardiansyah
arif ardiansyah Mohon Tunggu... Peminat Sospolbud dan Filsafat

Seorang penikmat dan peminat kajian Sospolbud dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena "Kabur Aja Dulu: Apa Dampaknya bagi Indonesia

5 Februari 2025   15:25 Diperbarui: 5 Februari 2025   15:25 6582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Arif Ardiansyah

Di era globalisasi yang semakin mendekatkan dunia, muncul sebuah realitas yang kian menyita perhatian: eksodus para profesional muda Indonesia ke luar negeri. Fenomena  brain drain yang kerap disematkan dengan tagar "Kabur Aja Dulu" ini bukan semata soal mencari nafkah, melainkan sebuah pencarian peluang untuk mengembangkan potensi diri, meraih kompensasi yang lebih tinggi, dan menikmati lingkungan kerja yang lebih mendukung.  

Tak dapat dipungkiri, salah satu daya tarik utama yang mendorong para profesional muda merantau adalah perbedaan signifikan dalam hal kompensasi. Di berbagai negara maju, gaji yang ditawarkan jauh lebih tinggi daripada yang tersedia di Indonesia. Selain upah yang lebih besar, fasilitas kesejahteraan seperti tunjangan kesehatan, asuransi, dan fasilitas penunjang lainnya pun menjadi daya tarik tersendiri. Kesempatan memperoleh penghasilan yang lebih layak dan masa depan finansial yang lebih stabil menjadi motivasi kuat yang mendorong mereka untuk mencari peluang di luar negeri.

Fenomena brain drain merujuk pada migrasi tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi dari negara asal ke negara lain yang menawarkan peluang ekonomi, pendidikan, dan kualitas hidup yang lebih baik. Di Indonesia, fenomena ini semakin nyata dengan meningkatnya jumlah profesional muda yang memilih berkarir di luar negeri. Data dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa antara tahun 2019 hingga 2022, sebanyak 3.912 Warga Negara Indonesia (WNI) beralih menjadi warga negara Singapura, dengan rentang usia produktif 25--35 tahun. Data tersebut menggambarkan tren yang tidak bisa diabaikan jika ingin melihat gambaran masa depan tenaga kerja Indonesia.

Selain faktor ekonomi, lingkungan kerja yang kompetitif dan profesional di luar negeri turut menjadi magnet bagi kaum muda. Di sana, budaya kerja yang mengutamakan meritokrasi, inovasi, dan kolaborasi memberikan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh tanpa terhambat oleh birokrasi yang kaku dan praktik-praktik yang sering kali menghambat kreativitas. Banyak profesional yang menganggap pengalaman bekerja dalam tim multinasional sebagai "laboratorium kehidupan" yang membuka cakrawala pengetahuan dan keterampilan. Di luar negeri, mereka memiliki kesempatan untuk belajar langsung dari para ahli internasional, mengikuti pelatihan mutakhir, serta terlibat dalam proyek-proyek berskala global yang tidak jarang sulit ditemukan di tanah air.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah kualitas hidup dan dukungan infrastruktur yang lebih baik. Di berbagai negara maju, sistem pendidikan, kesehatan, dan transportasi terintegrasi secara menyeluruh. Kondisi lingkungan yang aman dan tertata, serta adanya jaringan sosial yang kuat, memberikan rasa nyaman bagi mereka yang ingin meniti karier di luar negeri. Kehidupan yang seimbang antara dunia profesional dan kehidupan pribadi menjadi suatu nilai tambah yang sangat dicari. Di tengah gemerlap kota-kota metropolitan yang modern, banyak kaum muda melihat peluang untuk tidak hanya sukses dalam karier tetapi juga menikmati hidup yang lebih bermutu.

Tidak hanya itu, pengalaman internasional yang didapat pun menambah nilai kompetitif di mata pasar global. Interaksi lintas budaya yang terjadi di lingkungan kerja multinasional mengasah soft skills, seperti kemampuan berkomunikasi dengan berbagai latar belakang, penyelesaian masalah secara kreatif, serta adaptasi yang cepat terhadap perubahan. Dengan bekal pengalaman tersebut, para profesional muda dipersiapkan untuk bersaing di kancah global, yang pada gilirannya meningkatkan reputasi dan daya saing individu. Keterampilan-keterampilan inilah yang kemudian menjadi modal utama untuk mengukuhkan posisi mereka di tengah persaingan dunia yang semakin ketat.

Di balik segala daya tarik tersebut, tersimpan pula kekecewaan terhadap kondisi di dalam negeri. Banyak yang merasa bahwa lambatnya reformasi, birokrasi yang berbelit, dan minimnya kesempatan untuk berkembang membuat mereka terpojok dalam mencapai potensi penuh. Rasa frustrasi inilah yang mendorong mereka untuk mencari "ruang bernapas" di luar negeri. Dalam benak mereka, melanjutkan karier di luar negeri bukanlah soal melarikan diri dari permasalahan, melainkan mencari tempat yang lebih adil dan terbuka untuk mengembangkan kemampuan. Dengan demikian, fenomena "Kabur Aja Dulu" mencerminkan keinginan mendalam untuk menemukan lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan dan pengembangan diri.

Namun, jika tren brain drain ini terus berlangsung secara permanen, Indonesia harus siap menghadapi sejumlah konsekuensi serius. Hilangnya para tenaga ahli di sektor-sektor strategis seperti kesehatan, pendidikan, dan teknologi akan berdampak langsung pada kemampuan inovasi dan kemajuan ekonomi nasional. Kekurangan tenaga terampil ini berpotensi menurunkan pendapatan pajak, yang pada akhirnya menghambat kemampuan pemerintah dalam menyediakan layanan publik dan membangun infrastruktur yang berkualitas. Selain itu, pergeseran tenaga kerja ke luar negeri juga bisa memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang, membuat Indonesia semakin tertinggal dalam persaingan global.

Tak hanya berdampak pada aspek ekonomi, fenomena ini juga dapat menurunkan semangat dan motivasi tenaga kerja yang tersisa. Rasa tidak dihargai dan frustrasi akan kondisi kerja dalam negeri bisa mendorong lebih banyak lagi profesional untuk mencari peluang di luar negeri. Jika kondisi ini terus berlanjut, potensi inovasi dan pertumbuhan yang seharusnya mendorong kemajuan nasional bisa terhambat, karena modal manusia terbaik sudah berada di tangan negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun