Mohon tunggu...
Arie Yanitra
Arie Yanitra Mohon Tunggu... -

Selalu Belajar Menjadi Manusia Merupakan Peranan Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

NICCOLÒ MACHIAVELLI

6 Juni 2011   10:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:48 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

I. Pendahuluan

Karya-karya Niccolò Machiavelli meninggalkan warisan berupa kontroversi yang luas (tentang topik sangat beragam, dari tuduhan mengenai peniadaan etika dalam berpolitik, hingga konsep teori yang dianggap tujuan menghalalkan cara). Pada tahun 1513, Niccolò menyelesaikan beberapa karya dan diantaranya adalah Il Principe dan tidak dipublikasikan hingga kematiannya, di tahun 1532. Pemikiran Niccolò meninggalkan kesan beragam bagi pembacanya.

Salah satu sumbangsih pemikirannya dalam sejarah pemikiran dunia adalah kejujurannya dalam mengungkap realitas secara vulgar. Ia menuliskan narasi dan analisis keadaan mengenai konteks keadaan dunia yang dia diami pada saat itu. Ide-ide yang lahir dalam potret bingkai kekuasaan didiskusikannya dengan suatu peristiwa pencapaian dan mengelola kekuasaan politik. Sumber utama rujukannya mengenai tokoh yang mampu mencapai dengan ideal digambarkannya pada sosok Cesare Borgia. Teorinya dianggap menyingkirkan aspek-aspek etika dalam berpolitik yang menjadi rujukan pada masa itu (khususnya pemikiran Plato dan Aristoteles). Rujukannya bahkan membuka tabir kekuasaan Gereja Kristen Katolik[1] pada masanya, membuka dinding istana Vatikan yang dipenuhi intrik politik dalam mengelola kekuasaan Gereja dan Negara. Dalam catatan Henry C. Schmandt, Saturday Review, editor mencatat bahwa “politisi hidup dalam dunia setengah kebenaran, kompleksitas, dan ketidakmurnian bukan karena dia adalah pembohong atau penipu tetapi karena itulah cara dia menemukan dunia.[2]

Niccolò Machiavelli seringkali disebut sebagai bapak “politik kekuasaan,” sebutan yang mempunyai arti penting dalam era modern. Kekuasaan adalah bagi mereka yang mempunyai ketrampilan untuk meraihnya dan kemampuan untuk mempertahankan kekuasaan. Pengalaman empiris Niccolò membuat dirinya mencatat bahwa misteri kekuasaan bukanlah persoalan yang spenuhnya bersifat politik dan demi kepentingan rakyat, alasan nafsu kekuasaan bersumber pada diri nilai-nilai manusia. Cita-citanya menggantikan feodalisme dinastik pada abad ke-16 dengan pemerintahan yang bersifat nasional dengan pemimpin tunggal membuat pemikirannya menjadi kontroversial. Ketika Kristendom berkembang menjadi negara-negara yang berdiri sendiri dan saling bersaing membuat tradisi persatuan Italia mulai ditinggalkan. Selama jaman pertengahan tidak terdapat konsepsi yang jelas dengan kehadiran dua wilayah kekuasaan yang saling tumpang tindih antara Gereja dan Negara. Charles E. Meriam mencatat empat kendala selama abad pertengahan: (1) ide tantang dominasi hukum ketuhanan dan hukum alam tentang hukum positif; (2) konflik Gereja-Negara; (3) gagasan tentang bentuk pemerintahan gabungan; (4) kondisi feodal negara.[3]

Niccolò tidak memberikan alternatif mengenai konsepsi maupun definisi mengenai empat permasalahan tersebut. Namun yang harus di apresiasi ketika dia memberikan peta mengenai bagaimana memaksimalkan peran feodalisme dinastik yang melakukan kooptasi terhadap Gereja dan Negara. Pemikirannya yang operasional menyentuh aspek teologis ketika dia menerima bahwa nilai-nilai manusia adalah jahat dalam prilaku kekuasaan. Il Principe menjadi bukti bahwa membuka kenyataan termasuk tabir, borok, dan prilaku kolaborasi penguasa Gereja-Negara dapat menjadi alternatif untuk menemukan solusi demi persatuan tanah Italia yang dapat menyejahterakan rakyat.

Konstruksi mengenai sejarah kehidupan Niccolò Machiavelli merupakan pondasi dasar yang harus dibahas sebelum memasuki alam pikiran Niccolò Machiavelli dalam karyanya Il Principe. Buku Il Principe merupakan karya Niccolò Machiavelli yang paling banyak dibaca dan disana politik kekuasaan diungkap sedemikian vulgar. Kevulgarannya dalam mengungkapkan realitas politik membuat buku ini menjadi kontroversi. Menurut Frans Magnis Suzeno buku ini mengungkapkan “apa yang nyata-nyata” dan bukan “apa yang sepatutnya”.[4] Dalam mengkategorikan suatu Teologi Operatif (T.O.) seseorang, kita harus memahami terlebih dahulu: “Bagaimana seseorang melihat dan memahami realitas hidupnya di dunia dimana mereka hidup”.[5] Dalam pengertian, hidup seseorang apalagi pemikirannya mau tidak mau terkait pengalaman hidupnya dengan konteks sarana ruang dan waktu dimana dia tinggal. Hal ini berlaku juga untuk melihat Niccolò Machiavelli dalam kajian T.O. Menurut Frans Magnis-Suzeno, Niccolò Machiavelli hidup dalam suasana dimana wajah penguasa dianggap sebagai tremendum et fascinosum (yang menakutkan dan yang menggentarkan).[6] Untuk membahas T.O. Niccolò Machiavelli, kita tidak bisa memisahkan antara kekuasaan raja dan pemimpin Gereja serta dinasti politik keluarga yang meyokong politik kekuasaan pada waktu itu. Oleh karena mereka merupakan ‘satu paket utuh’ dan merupakan ‘paket yang saling terkait’. Sebelum menarik kesimpulan, maka penulis akan berusaha melihat realitas kehidupannya sesuai dengan ruang dan waktu dalam konteks persinggungannya dengan lingkungan politiknya (termasuk Gereja). Upaya ini dilakukan untuk memahami konsep kekuasaan yang lahir dari sistem operatif pemikirannya.

II. Sejarah Hidup Niccolò Machiavelli

Niccolò Machiavelli lahir di Florence pada tanggal 3 Mei 1469, anak kedua dari Bernardo Machiavelli dan Bartolomea de’ Nerli. (Keluarga) Machiavelli merupakan bagian dari kelas menengah-ningrat dari Oltrano sebuah distrik di Florence.[7] Ayah Niccolò yaitu Bernardo merupakan seorang ahli hukum yang berasal dari keluarga bangsawan.[8] Situasi Italia ketika itu mengalami instabilitas sosio-politis. Italia terpisah menjadi lima negara utama (Bangsawan Milan, Republik Venesia, Negara Kepausan, Republik Florence, dan Kerajaan Naples) serta beberapa kota merdekaatau setengah-merdeka seperti: Genoa, Lucca, Bologna, Ferrara, dan Siena.

Keluarga Machiavelli di Florence memang termasuk keluarga ningrat tetapi kehidupan keluarga Bernardo tidaklah kaya dan berkuasa, bahkan menurut perspektif Niccolò dia justru hidup dalam ‘kemiskinan’. Di dalam suratnya kepada Fransesco Vettori pada tanggal 18 Maret 1513, Niccolò menjelaskan perasaannya tentang masa kecilnya yang lahir dalam kemiskinan, dan pada usia dini harus lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar membaca daripada berkembang seperti anak sebayanya.[9] Namun demikian ‘kemiskinan’ tidak membuat ayahnya untuk tidak memberikan pendidikan dasar yang baik kepada Niccolò kecil, seperti: ilmu hitung (arithmetic), tata bahasa (grammar), retorika (rhetoric), dan bahasa Latin. Niccolò kecil sangat beruntung mendapatkan pendidikan yang baik, beberapa gurunya diantaranya adalah Maestro Matteo dan Paolo da Ronciglione. Setelah dewasa, Niccolò kemudian melanjutkan pendidikannya ke Studio Fiorentino[10] sebuah universitas yang dipimpin oleh Cristoforo Landino. Disini dia mendapatkan pelajaran sejarah dan filosofi moral berdasarkan silabus humanis.[11]

Pada usia 25 tahun dia menyaksikan terjadinya sebuah peristiwa politik yang mengakibatkan perubahan kekuasaan di Florence. Pada tahun 1494 terjadi pertempuran antara Raja Charles VIII dari Perancis melawan keluarga Medici, yang diakhiri dengan tergulingnya keluarga Medici. Niccolò melihat perubahan kekuasaan di Florence dengan munculnya sosok pemimpin berkharismatik, seorang rahib Dominikan[12] yaitu Girolamo Savonarola –yang tentu saja sekaligus adalah lawan politik dari keluarga Medici-.[13]

Girolamo Savonarola merupakan orator ulung dan bergaya ‘kenabian’, Girolamo memerintah Florence dengan tatanan Negara teokratik-demokratis. Savonarola merupakan rahib yang sangat menentang ‘korupsi moral’ di kepausan. Dia memimpin Florence dengan menyusun pemerintahan republik berdasarkan Consiglio Maggiore, sebuah sistem seperti badan legislatif untuk mengakhiri politik uang dan kebijakan pengangkatan seseorang berdasarkan patron politik maupun garis darah keluarga.[14] Kebijakan tidak populernya membuat dia digulingkan atas tuduhan bidah (sesat) setelah 4 tahun berkuasa (1494-1498).[15] Tuduhan ini berasal dari Paus Alexander VI,[16] dia ditahan, disiksa, dan dieksekusi mati di Piazza della Signoria. Untuk Girolamo Savoranola, Niccolò berpendapat eranya hancur karena rakyat mulai tidak mempercayainya lagi, semenjak dia tidak melakukan apapun dengan tindakan konkret.[17]

Pada tanggal 15 Juni 1498, beberapa minggu setelah Savonarola di eksekusi mati atas tuduhan bidah, Niccolò dalam usianya yang muda (29 tahun) mendapatkan posisi penting di Florence setelah uskup Piero Soderini mengambil-alih pemerintahan Savonarola. Di kemudian hari karir politik Niccolò menjadi cemerlang dibawah pemerintahan uskup Piero Soderini. Uskup Piero Soderini dengan pengaruh politiknya di kemudian hari mempercayai Niccolò Machiavelli sebagai ‘orangnya’. Karena itu tidak mengherankan jika dia menjadi Konselor Kedua Republik Florence dan juga ditunjuk sebagai sekretaris Komisi “Ten of Balia” yaitu komisi tentang kebebasan dan perdamaian Republik Florence.

Gaji Niccolò sendiri pada waktu awal karir politiknya berjumlah 128 florins dan berkantor di lantai dua Palazzo della Signoria. Dalam mengemban jabatan-jabatan tersebut, Niccolò mempunyai peranan yang sangat penting dalam kancah politik Florence. Tugasnya membidangi tiga bidang penting, yaitu: kegiatan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, dan perdagangan luar negeri. Dia dibantu oleh pembantu-bawahan, seperti: Agostino Vespucci, Andrea di Romolo, dan Biagio Buonaccorsi, yang menjadi teman setianya di kemudian hari.[18]

Antara tahun 1499 dan 1522 Niccolò Machiavelli mempunyai kesempatan untuk bertemu para pemimpin penting politik Eropa (termasuk pemimpin Gereja) pada waktu itu, diantaranya: Raja Perancis: Louis XII; Kaisar Maximillian; Paus Julius II; dan Bangsawan Valentino (Cesare Borgia). Pertemuan itu sendiri menyangkut kepentingan misi-diplomatik Republik Florence. Niccolò dengan peranannya mendapatkan kesempatan memasuki kehidupan politik nyata, dan dapat berdiplomasi untuk mengarahkan secara pikiran, ambisi, kuasa para pemimpin yang ditemuinya demi negaranya (Republik Florence).

Dalam negosiasi politik, Niccolò segera menjadi sadar berapa lemahnya Italia dalam politik dan militer jika vis-á-vis (berhadap-hadapan) dengan negara-negara Eropa kuat seperti Perancis dan Spanyol. Italia pada waktu itu terpisah menjadi lima negara utama (Daerah Bangsawan Milan, Republik Venesia, Negara Kepausan, Republik Florence, dan Kerajaan Naples) dan beberapa kota independent atau semi-independent seperti: Genoa, Lucca, Bologna, Ferrara, dan Siena. Berdasarkan realita tersebut, Italiakekurangan kekuatan politik dan militer secara bersamaan. Implikasinya Italia tidak memiliki integritas secara teritorial. Semua negara di Italia pada waktu itu tidak terkecuali Republik Florence ketergantungan terhadap pasukan bayaran atau bahkan membutuhkan perlindungan pasukan asing (Perancis dan Spanyol).

Misi diplomasi pertamanya di tahun 1499 yaitu menemui Caterina Sforza[19] untuk membuatnya membantu Republik Florence mendapatkan kembali kota Pisa yang memberontak semenjak tahun 1496. Niccolò melihat pembelajaran pertamanya dalam politik di Romagna bahwa: “nilai moral ternyata jauh terbukti ampuh jika mendapatkan kepercayaan rakyat dibandingkan berlindung di balik deretan-deretan benteng.” Pada tahun 1499 Pisa diserang oleh pasukan bayaran republik Florence yang dipimpin oleh Paolo Vitelli namun yang mengejutkan Paolo Vitelli justru tidak menaklukan Pisa malah meninggalkan kota tersebut. Diduga hal ini dikakukan setelah menerima uang suap yang lebih tinggi dari Pisa.

Asumsi bahwa Paolo telah melakukan pengkhianatan menjadi alasan utama yang membuat –setidaknya menurut perspektif para politisi- Republik Florence akhirnya gagal mendapatkan kota Pisa. Setelah kepulangan Paolo dan pasukannya ke Florence, tindakan tegas kemudian diambil oleh pemerintah Florence. Keluarga Vitelli semuanya ditahan dan Paolo sendiri dieksekusi di Palazzo della Signoria. Namun tidak semua keluarga Vitelli berhasil dieksekusi. Saudara Paolo yaitu Vitellozzo berhasil melarikan diri.

Pada saat yang sama terjadi peristiwa politik penting di Italia. Di kota Romagna, Caterina Sforza diserang oleh Cesare Borgia atas perintah ayahnya, Paus Alexander VI (Rodrigo Borgia). Alasan Paus Alexander VI menyerang disebabkan oleh karena Caterina terlibat dalam suatu usaha pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Maret 1499.[20]

Kegagalan Republik Florence menaklukan kota Pisa tidak membuat Niccolò Machiavelli ditanggalkan dari jabatannya. Justru pada tanggal 27 Januari 1500 gajinya kini dinaikan menjadi 6 gold florins.[21] Pada bulan Mei ketika dia harus mempersiapkan diri untuk tugas diplomasi ke Perancis dalam rangka penaklukkan Pisa, ayahnya Bernardo meninggal. Bernardo menyusul istrinya yang terlebih dahulu meninggal pada tahun 1496. Bernardo kemudian dimakamkan di makam keluarga Machiavelli di Gereja Santa Croce di Florence.[22]

Pada bulan Juli, 2 bulan setelah ayahnya meninggal, pemerintah Florence mengutus Niccolò Machiavelli dan Fransesco della Casa melakukan perjalanan sepanjang 450-mile ke kota Lyon untuk menemui Raja Louis XII di Perancis. Republik Florence kali ini mengutus Niccolò Machiavelli dan Fransesco della Casa dengan harapan agar Perancis mau mengirimkan pasukan bantuan kepada Florence untuk menaklukan Pisa setelah tentara bayaran dari Swiss dan Gascon gagal menaklukan Pisa yang menghabiskan biaya 50.000 ducats.[23]

Di Perancis tanggal 26 Juli, Niccolò Machiavelli dan della Casa ditemui oleh Raja Louis XII dan orang kepercayaannya, yaitu: Georges D’amboise.[24] Setelah berdiplomasi selama 6 bulan (Juli-Desember), Niccolò akhirnya pulang ke Florence. Alasan kepulangannya ke Florence bukan oleh karena Perancis menghentikan negosiasi. Kepulangannya pada tanggal 14 Januari 1501 ke Florence justru disebabkan oleh intrik politik yang ditujukan kepada dirinya. Tiga bulan sebelum kepulangannya (Oktober, 1501) Niccolò Machiavelli menerima surat dari Agostino Vespucci yang memintanya segera pulang ke Florence untuk mengamankan posisi politiknya dari musuh-musuhnya.[25]

Peristiwa politik penting terjadi di tahun ini ketika Cesare Borgia menaklukan Urbino, tetangga Florence. Walaupun secara formal Cesare Borgia telah mengikat perjanjian resmi dengan Florence untuk beraliansi. Ambisi kekuasaannya dan tindakan militernya yang menaklukan negara tetangga Florence satu-persatu membuat dia dicurigai oleh Republik Florence suatu saat lambat-laun juga akan menaklukan wilayah Florence.

Cesare Borgia bagaimanapun juga bukan merupakan ‘lawan sembarangan’. Dalam pengertian, ayahnya merupakan tokoh politik dan Gereja paling berpengaruh yaitu Rodrigo Borgia yang kita kenal sebagai Paus Alexander VI. Rodrigo Borgia atau yang kita kenal sebagai paus Alexander VI merupakan tokoh Gereja dan politik yang memiliki ambisi besar. Setelah keberhasilannya menyuruh anaknya menjatuhkan Caterina Sforza, dia melanjutkan petualangan politik kekuasaanya dengan melakukan ekskomunikasi terhadap vicars (wakil-wakil paus) di kota Pesaro, Rimini, dan Faenza.[26] Hal simbolik (ekskomunikasi) ini dilakukan sebagai langkah awal untuk menaklukan kota-kota tersebut agar sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Rodrigo Borgia. Pada bulan Oktober 1500-April 1501 Cesare Borgia diberikan kekuasaan militer untuk menaklukan ketiga kota tersebut.[27] Setelah keberhasilan menaklukan ketiga kota tersebut, Cesare Borgia diberi gelar sebagai Bangsawan Romagna oleh ayahnya, Rodrigo Borgia. Cesare ternyata belum sepenuhnya puas, ia kemudian melanjutkan ekspansinya demi meneguhkan gelar dan jabatannya. Dia kemudian melakukan perjanjian politik dengan Florence agar pasukannya diperbolehkan melewati wilayah Republik Florence. Hal ini dilakukan untuk mempermudah melakukan pengepungan ke Piombino dengan tujuan memecat Jacopo d’Appiano -akhirnya kota tersebut jatuh pada bulan September 1501-.

Pada saat kampanye penyerangan dan penaklukan keluarga Borgia mulai terwujud, Agostino Vespuci mendengar rumor bahwa Cesare Borgia dan pasukannya yang sekarang berada di wilayah Florence berencana mengembalikan keluarga Medici untuk memimpin Florence.[28] Indikasi politik ini terlihat jelas ketika Cesare Borgia yang telah dibantu Vitellozzo menaklukkan kota Faenza, membiarkan Vitellozzo merampok dan menjarah di wilayah Florence.[29] Sebagai bagian dari keluarga Vitelli, Vitellozzo berusaha balas dendam atas kematian saudaranya. Di tengah-tengah pertikaian ini, Cesare melihat kesempatan untuk menekan Soderini dan berusaha mengembalikan Medici ke tampu kekuasaan. Ternyata rumor ini memang benar adanya. Pasukan Borgia telah berkemah di luar kota Florence. Skenario politik keluarga Borgia untuk memperluas pengaruh politiknya berhasil dengan cara memanfaatkan dendam lama ditengah pertikaian ‘politik sandera’ kekuasaan di Florence. Pesan politiknya sangat sederhana namun lugas, kata Cesare: “Jika kamu tidak akan memiliki saya sebagai teman, maka kamu akan memiliki saya sebagai musuh.”[30]

Peraturan negosiasi politik akhirnya berlangsung dengan tidak seimbang. Florence sebagai pihak yang terdesak terpaksa membayar 36.000 ducats sebagai uang perlindungan.[31] Pada saat yang hampir bersamaan setelah krisis politik di Florence berhasil dilewati. Niccolò Machiavelli diutus untuk mengakhiri pertikaian politik kekuasaan di Pistoia.

Pistoia merupakan bagian dari kekuasaan Florence semenjak abad ke 14. Kota ini mempunyai dua faksi keluarga yang saling bertikai, yaitu: Cancellieri dan Panciatichi.[32] Pertikaian ini berlangsung semenjak tahun 1500 ketika Niccolò diutus ke Perancis. Dalam misinya memulihkan kestabilan politik di Pistoia ia mempunyai 3 cara: (1) Mengeksekusi setiap pemimpin faksi; (2) Mengusir mereka dari kota Pistoia; (3) Memaksa setiap faksi untuk menandatangani perjanjian damai dengan mengerahkan pasukan dari Florence.[33] Niccolò sebenarnya lebih suka cara yang pertama. Alasannya sederhana ketika memakai cara yang ketiga: “Jika pertikaian antar-keluarga di Pistoia diselesaikan dengan tekanan dari luar maka yang terjadi hanyalah perdamaian sementara (temporary peace aggrement).” Tetapi Niccolò menyadari sepenuhnya jika dia memakai cara yang pertama maka kekuatan Republik Florence tidak dapat memulihkan keadaan politik kota Pistoia yang chaos (kacau) dalam waktu singkat jika pemimpin mereka dieksekusi. Jika Republik Florence powerful (sangat kuat), maka dia akan melakukan cara yang pertama.[34]

Pada musim gugur, setelah dia berhasil menyelesaikan misinya. Pada usianya yang ke 32 ia menikahi Marietta Corsini –yang nanti akhirnya memberi 6 anak kepada Niccolò Machiavelli-.[35]

Pada bulan Juni 1502, Cesare Borgia dikabarkan telah menaklukan pemimpin yang berkuasa di kota Urbino yaitu: Guidobaldo da Montefeltro (keluarga Montefeltro sendiri berkuasa di Urbino semenjak abad ke 17). Melihat kondisi situasi bahwa ekspansi keluarga Borgia yang tidak pernah berhenti membuat para pemimpin Florence semakin mencurigai untuk ‘keduakalinya’ bahwa Florence juga masuk ‘daftar tunggu’ kota berikutnya. Dalam keadaan genting inilah pada tanggal 5 Oktober 1502, pemerintah Florence memutuskan mengirimkan Niccolò Machiavelli ke kota Imola untuk menemui Cesare Borgia dalam rangka melakukan lobi-politik. Tanggal 7 Oktober Machiavelli tiba di Imola. Tiba-tiba pada tanggal 9 Oktober terjadi pemberontakan setelah sebelumnya mantan pendukung dan pemimpin yang telah berhasil ditaklukan Cesare Borgia berbalik melawan kepemimpinannya yakni Vitellozzo Vitelli, Guidobaldo da Montefeltro, Gianpaolo Baglioni (pemimpin Perugia), Oliverotto Eufferducci (pemimpin Fermo), dstnya.[36] Tentu saja pemberontakan ini tidak berarti apapun untuk Cesare Borgia dalam waktu singkat pemberontakan berhasil ditumpas.

Kekuatan Cesare Borgia yang memiliki dukungan politik ayahnya -Paus Alexander VI- dan juga pasukan Louis XII (tentara Perancis) membuat Niccolò menyarankan pemerintah Florence untuk mendukung Cesare Borgia sebagai “kekuatan baru di Italia”.[37] Minggu ketiga di bulan Oktober, pemerintah Florence menjawab dengan kata ‘ya’ untuk pertimbangan diplomasi Niccolò yang menyatakan bahwa Cesare Borgia memiliki reputasi tinggi, dikasihi fortune,[38] serta terbiasa dengan kemenangan.

Selama tinggal di kota Imola pada bulan Desember 1502 Niccolò melihat Cesare Borgia mengambil keputusan politik untuk mengeksekusi Ramiro de Lorqua[39], mayatnya kemudian ditinggalkan di alun-alun Cesena dengan balok dan pisau karena dianggap ikut memicu terjadinya pemberontakan. Tontonan barbar ini membuat rakyat puas namun juga gusar.[40] Keputusan tersebut juga mengejutkan Niccolò. Dalam catatannya dia mengatakan: “Tidak ada yang tahu alasan kematiannya kecuali bahwa Pangeran menginginkannya, yang menunjukkan bagaimana ia dapat menciptakan dan menghancurkan laki-laki sebagai yang diinginkannya.”

Para pemberontak condottieri[41]Romagna juga memiliki latar belakang kekerasan dan pengkhianatan yang tidak kalah hebatnya jika dibandingkan Cesare Borgia. Misalnya: Gianpaolo Baglioni dia adalah penghasut pembunuhan besar-besaran terhadap 130 anggota lawan dari keluarga Oddi di Perugia. Hal yang sama juga dilakukan oleh Oliverotto Eufferducci yang merebut kekuasaan di Fermo pada tahun 1501 setelah membunuh pamannya Giovanni Fogliani. Padahal pamannyalah yang paling berjasa besar menyelamatkan nyawa keponakannya setelah ‘kekalahannya’ bersama Vitellozzo Vitelli di Pisa pada tahun 1499. Menurut Niccolò, Oliverotto memperoleh status kepangeranan melalui cara-cara kejam, kata Niccolò:

Giovanni [...] memberi perhatian kepada keponakannya, mengatur agar sang keponakan disambut dengan hormat oleh orang-orang Fermo, dan ditampungnya Oliverotto dirumahnya sendiri [...]setelah selang beberapa hari [...] Oliverotto mengadakan perjamuan resmi dan diundangnya Giovanni Fogliani beserta pemimpin-pemimpin Fermo. Ketika suguhan dan semua hiburan yang biasanya ditampilkan dalam acara perjamuan selesai disajikan, Oliverotto dengan licik memulai pembicaraan dengan topik-topik serius [...] yang mana Giovanni dan lainnya ingin menanggapi. Oliverotto langsung bangkit mengatakan kalau masalah itu harus dibicarakan di tempat tertutup, dan dia sendiri menuju ke sebuah kamar, dimana yang lainnya juga mengikuti [...] Tak selang beberapa lama, begitu mereka duduk, tentara keluar dari tempat persembunyian kemudian membantai Giovanni dan lainnya [...].[42]

Niccolò belum menyadari alasan mengapa Ramiro dieksekusi hingga terjadi peristiwa politik penting di kota Senigallia. Para pemberontak Romagna berpikir bahwa pengampunan Borgia akan terjadi ‘cuma-cuma’ setelah kematian Ramiro dan penaklukan kota Senigallia atas nama keluarga Borgia ternyata terbukti keliru di hari mereka menyambut Cesare di depan gerbang kota tersebut. Ternyata Cesare Borgia memiliki pemikiran berbeda dengan para pemberontak, eksekusi Ramiro ternyata adalah cara Cesare Borgia untuk mengelabui dan menghabisi lawan-lawannya.

Tokoh-tokoh pemberontak tersebut, misalnya: Vitellozzo dan Oliverotto tiba-tiba ditangkap dan kemudian ‘dihabisi’ oleh Miguel da Corella seorang Spanyol atas restu Cesare Borgia dengan cara digantung. Cesare menunjukkan kualitas kepemimpinnya yang tidak berkompromi terhadap para pemberontak walaupun dengan cara tipu muslihat. Hal tersebut menunjukkan reputasinya dengan disusulnya kematian para pemberontak lainnya. Pada awal tahun 1503, tepatnya pada tanggal 23 Januari deskripsi tindakan tegas Cesare dicatat secara resmi oleh Niccolò yang diberi judul: “Deskripsi cara-cara yang dilakukan Bangsawan Valentino ketika membunuh Vitellozzo Vitelli, Oliverotto da Fermo, dan lainnya.”

Tanggal 18 Agustus 1503, hari bersejarah untuk umat Kristen Katolik. Paus Alexander VI meninggal dunia di usianya yang ke 72 tahun, 8 hari sebelum hari jadi pentahbisannya menjadi paus dan 8 tahun masa pelayanannya. Setelah penobatannya pada tanggal 26 Agustus 1492 selain meninggalkan prestasi baik untuk Gereja ternyata dia juga meninggalkan reputasi buruk bagi lawan-lawannya. Menurut Niccolò Machiavelli: “Alexander VI, dalam pengharapannya untuk memperbesar kekuasaan sang Bangsawan (Cesar Borgia), anaknya, yang menghadapi banyak masalah di saat itu dan di masa depannya. Pertama, dia tak melihat ada jalan baginya untuk bisa membuatnya menjadi pimpinan di negeri manapun juga, selain negara Gereja.”[43] Reputasi buruk inilah yang membuat para pejabat tinggi Gereja di Vatikan dari misa requiem yang biasanya diberikan kepada Paus yang wafat hanya empat orang yang hadir. Fransesco Piccolomini yang menggantikannya sebagai Paus Pius III, melarang pemberian misa untuk ketenangan arwah Alexander. Paus Alexander VI dikuburkan di Gereja nasional Spanyol Santa Maria di Monserrato, Roma.[44] Sayangnya kekuasaan Paus Pius III hanya bertahan 26 hari.

Kabar kematian Paus Alexander VI dengan cepat menyebar. Musuh-musuh Paus Alexader VI seperti keluarga Vitelli berlomba-lomba mendeklarasikan diri untuk mengambil alih kekuasaan mereka di Citta di Castello, Jacopo d’Appiano mengklaim kembali Piombino, Guidabaldo dan Montefeltro juga melakukan hal yang sama untuk wilayah mereka di Urbino.[45] Situasi ini cukup mencengangkan Niccolò Machiavelli, kematian seorang Paus dapat merubah peta politik kekuasaan di tubuh Gereja beserta wilayah yang selama ini diperjuangkan untuk tunduk dibawah keluarga Borgia sebagai representasi Gereja Kristen Katolik pada saat itu. Kekuasaan Paus Pius III yang bertahan hanya selama 26 hari membuat Gereja mengalami krisis kepepimpinan tertinggi. Terjadi lobi politik di dalam tubuh Gereja Kristen Katolik. Kandidat kuat untuk menjadi Paus berikutnya adalah lawan lama dari Rodrigo Borgia, dia adalah Kardinal Giuliano della Rovere.

Di masa lalu, Giuliano della Rovere, yang membenci Rodrigo Borgia, telah mengingatkan Paus Inosensus VII yang meninggal pada tahun 1492 bahwa Rodrigo Borgia adalah seorang ‘Catalan’, demikian julukan orang-orang Spanyol yang umum dikenal di Vatikan dan mereka orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Rodrigo Borgia yang berada disana melawan pernyataan itu dengan keras dan rangkaian pembicaraan tersebut hampir membuat mereka berdua terlibat perkelahian sebelum akhirnya mereka dilerai untuk berhenti bertikai sebagai penghormatan kepada Sri Paus yang sudah sekarat.[46] Pengaturan pemilihan setelah Paus Inocentus VII meninggal bukan dibuat atas dasar pandangan tentang Teologi (misalnya: Kehendak Tuhan ataupun Karya Roh Kudus). Kriteria tradisional yang berlaku pada saat itu dalam pemilihan kepausan berdasarkan keinginan-keinginan para penguasa kota-kota wilayah bagian Italia yang masing-masing menginginkan seorang Paus yang bersimpati pada kepentingan-kepentingan mereka. Dalam pemilihan Paus ini banyak sekali jumlah uang yang dipertaruhkan. Misalnya: Raja Ferrante dari Napoli yang menawarkan sejumlah besar emas untuk membeli suara-suara pemilihan para kardinal yang akan mendahulukan kepentingan–kepentingan orang-orang Napoli di Vatikan. Tidak ada yang dapat menahan semua kecurangan-kecurangan busuk ini, karena semua ikut ‘bermain’. Tiga kandidat terkuat saat itu dalam suksesi kepausan adalah Rodrigo borgia, Ascanio Sforza dari Milan, dan dia sendiri yang didanai sebesar 200.000 ducats oleh raja Charles VII dari Perancis, dan Republik Genoa sebesar 100.000 ducats. Sebenarnya Rodrigo Borgia hanya mendapatkan urutan ketiga dalam perolehan suara. ‘Deadlock’ yang terjadi antara Ascanio dan Giuliano meningkatkan kesempatan Rodrigo Borgia untuk melakukan manuver politik dengan menghujani para Kardinal lainnya dengan tawaran-tawaran yang sudah pasti tidak dapat ditolak oleh mereka. Bentuk-bentuk penyuapan-penyuapan hibah atas wilayah keuskupan-keuskupan di Spanyol dan Italia, tanah-tanah yang luas dan rumah-rumah, biara-biara, kastil dan benteng, jabatan gubernur, jabatan Gereja, emas, perhiasan dan harta dalam segala bentuknya.[47] Langkah politik yang akhirnya membuat Giuliano terhempas dan kalah dalam pencalonan adalah ketika Rodrigo berhasil membuat Ascanio menarik diri dari sebagai kandidat calon Paus. Lobi ketat selama lima hari dengan tawaran posisi sebagai Wakil Pimpinan Gereja beserta istana yang terletak di sungai Tiber, berseberangan dengan Vatikan. Tepat sebelum fajar tanggal 11 Agustus 1492, Rodrigo Borgia menjadi Paus Alexander VI.

Kardinal Giuliano della Rovere masih mengingat betapa lawannya merupakan peleceh dan penghina Gereja ketika dirinya beserta para kardinal lain menyaksikan ketika harus menyambut anak haram Paus Alexander VI yaitu Cesare masuk ke Vatikan. Dia juga menyaksikan Alexander VI mendirikan dinasti Borgia di Vatikan dengan pernikahan Jofre anaknya dengan Sancia dari Aragon, cucu perempuan dari Raja Ferrante dari Napoli yang membuatnya harus terpaksa menahan amarah karena dinasti Borgia yang semakin kokoh. Tindakan lainnya mengangkat Juan Borgia menjadi Jenderal-Kapten dari Gereja pada tahun 1496 menyingkirkan kandidat lain yang lebih berkompeten untuk posisi tersebut yaitu Guidabaldo da Montefeltro.[48] Penyingkiran keluarga Orsini, tanah-tanah Baron-Baron yang disita, serta hal-hal yang lain yaitu reputasi Rodrigo yang gemar melakukan praktek-praktek asusila secara terang-terangan di Vatikan, hal ini semakin menambah kompleksitas amarah kardinal Giuliano della Rovere, beserta lawan-lawan politik keluarga Borgia.

Tetapi bagaimanapun dendam lama sementara harus ditahan. Kardinal Giuliano della Rovere seperti yang dicatat Machiavelli -yang saat itu dapat melihat secara langsung dari dekat pemilihan Paus- akhirnya melakukan perundingan dengan Cesare demi mendapatkan posisi Paus. Setelah terplih menjadi Paus dengan gelar nama Julius II Giuliano della Rovere berkata kepada Niccolò:“Saya sudah memikirkan semuanya yang mungkin terjadi di saat kematian ayahnya, dan memberikan solusi untuk semuanya.”[49] Suara-suara Kardinal Spanyol kemudian diarahkan kepada Giuliano della Rovere oleh Cesare dengan kesepakatan tetap mempertahankan jabatan Jenderal-Kapten Gereja membuatGiuliano della Rovere yang kala itu berusia 59 tahun memulai rezim barunya pada tanggal 1 November 1503, dengan gelar Paus Julius II.

Faktanya, kesepakatan itu tidak mengubah apapun tentang dendam lama antara Giuliano della Rovere dengan keluarga Borgia. Itulah awal blunder politik Cesare yang membantu Giuliano della Rovere naik tahta. Cesare memperbanyak musuh-musuhnya dengan posisinya yang berpihak kepada lawan abadi ayahnya. Dia melupakan bahwa keuntungan-keuntungan baru tidak dapat menghapuskan dendam lama apalagi yang dia sakiti dalam pemilihan tersebut adalah orang-orang yang berkuasa, tidak terkecuali Julius II yang pernah tersakiti oleh ayahnya dan masih menyimpan dendam lama tersebut dalam hatinya. Pada minggu yang ketika di bulan yang sama Giuliano della Rovere mengingkari perjanjian politik tersebut dan tetap menyapu Cesare Borgia dengan mencabut gelar Bangsawan Romagna dan menyita semua istana Cesare. Saat itu Cesare menolak, namun tanpa ayahnya, dia bukan siapapun, dia akhirnya ditahan dan dipenjara, Cesare akhirnya meninggal dengan sia-sia di tahun tersebut dalam usianya yang masih muda yaitu 32 tahun. Dengan kematian Cesare Borgia berakhirlah dinasti tersebut, dan semua bersukacita atas kematiannya kecuali Niccolò Machiavelli.

Bulan Desember, 1503, istrinya melahirkan anak kedua untuknya yang diberi nama Bernardo sebagai penghormatan untuk ayahnya yang membesarkannya, yang telah terlebih dahulu menghadap Tuhan di tahun 1496. Namun kelahiran putranya tidak mengubah rasa penasaran Niccolò. Niccolò masih menyimpan beberapa pertanyaan dan masih merasa tidak bahagia atas takdir kematian Cesare Borgia. Baginya cara-cara Cesare tidak ada yang salah, dia adalah pemimpin teladan yang bisa melenyapkan masa-masa kekacauan.[50] Pada tahun 1504 awal, ketika ide tentang astrologi berkembang cepat di Italia Niccolò mencoba menghubungkan astrologi dengan kematian orang-orang besar, sebuah pertanyaan tentang kematian Cesare Borgia tidaklah mudah untuk diterimanya pada saat itu.[51] Hingga awal tahun itu dia masih mencari pertanyaan-pertanyaannya dengan cara yang aneh dengan memperhatikan astrologi. Namun dia harus menerima tugas baru pada pertengahan bulan Januari-Maret 1504 dan harus segera melupakan pertanyaan-pertanyaan anehnya. Keadaan politik di Italia mengalami perubahan ketika Spanyol mulai melebarkan kekuatan militernya di Naples dengan menaklukan pasukan Louis XII, dan itu mengakibatkan berakhirnya era pengaruh politik Perancis atas Kerajaan Naples, dan itu mengancam keseimbangan politik di Italia pada masa itu.[52]Keadaan ini cukup berbahaya bagi Republik Florence, dan dia diutus oleh Piero Soderini untuk urusan tersebut. Hal ini disebabkan selain menaklukan Perancis di wilayah Naples, Spanyol mulai memindahkan tentaranya ke utara untuk mengklaim Tuscany bagi Raja Ferdinand. Pertemuannya dengan tokoh Gereja, Georges D’amboise, Kardinal Rouen untuk membicarakan mengenai bantuan perlindungan pasukan Perancis kepada Republik Florence untuk berjaga-jaga atas serangan militer Spanyol. Kesepakatan ini berlangsung dengan mulus dengan kompensasi 40.000 ducats pertahun yang harus dibayarkan Republik florence bagi Perancis.[53] Namun di kemudian hari kesepakatan ini ditentang oleh The Great Counsil of The People (Dewan Perwakilan Rakyat), hal ini menambah kesulitan Piero Soderini, karena dengan ditolaknya hal tersebut Florence dalam posisi berbahaya dengan jepitan dua kekuatan besar yang berkolaborasi antara Spanyol dan keluarga Medici.

Republik Florence tampaknya mulai menghadapi kesulitan lainnya dengan kemungkinan serangan Bartolomeo d’Alviano pendukung keluarga Medici, seorang condottieri yang dibiayai oleh Gonsalvo de Córdoba. Gabungan antara pasukan Spanyol dan pendukung keluarga Medici ini memiliki misi yang jelas untuk mengontrol Republik Florence dan membawa Tuscany ke dalam kontrol Spanyol. Semenjak Florence dipimpin keluarga Soderini, mereka memilih beraliansi dengan Perancis. Hal ini menambah ketidaksukaan Kardinal Ascanio Sforza yang lebih condong kepada Spanyol. Ascanio bercita-cita memulihkan kekuasaan keluarga Medici di Spanyol. Untung serangan Spanyol yang mengancam Republik florence belum terjadi setidaknya hingga tahun 1504 yang belum ada gerakan lebih lanjut dari militer Spanyol. Di awal tahun 1505 Republik Florence masih mengalami instabilitas dalam bidang keamanan dengan belum dikontrolnya Pisa. Ambisi Piero Soderini menaklukan Pisa membuat dia mengutus Lucca Savelli, seorang condottiere. Perang tersebut tidak membuahkan hasil hingga menyebabkan harga pangan melambung tinggi di bulan April. Kelaparan menyebabkan rakyat mengalami ketidaksukaan terhadap pemerintahan Soderini di bulan Mei.[54] Untuk menghadapi permasalahan ini, Piero Soderini mengutus Niccolò kepada Gianpaolo Baglioni dari Perugia. Baglioni mulanya sepakat menandatangani kontrak untuk berperang bersama Florence namun akhirnya dia berubah pikiran setelah keluarga Medici membujuknya untuk membatalkan kontrak tersebut.[55]

Kegagalan misi ini tidak menyurutkan perjuangan Niccolò berjuang bagi Republik Florence. Dia mengalihkan perhatiannya kepada Marquess dari Mantua. Misi ini mula-mula berhasil sebelum Marquess juga gentar mendengar informasi mengenai kemungkinan perubahan pemerintahan di Florence ketika Bartolomeo d’Alviano perlahan-lahan mulai menggerakkan pasukannya menuju Florence. Republik Florence mulai putus asa tanpa bantuan Perancis dan cuci tangan dari sekutu-sekutunya membuat mereka seperti anak kecil yang tidak berdaya. Kekuatan militer yang tidak pernah dimiliki oleh Florence membuat mereka sampai kepada titik putus asa. Niccolò tidak menyerah dengan keadaan ini, dia teringat pengalamannya dan perjumpaannya dengan kawan lamanya, Cesare. Cesare Borgia bagaimanapun juga memiliki ide positif yang ditinggalkan bagi dirinya, yaitu mengenai kekuatan militer yang berdedikari. Piero Soderini kemudian mengusulkan jabatan Sekretaris Negara Republik Florence kepada dirinya. Usulan ini akhirnya diterima oleh DPR dengan voting suara 841-317 untuk kemenangan Niccolò.

Jabatan yang disandang Niccolò dimanfaatkannya untuk memberikan proposal kepada DPR. Proposal yang ditawarkannya untuk mereka adalah pembentukan pasukan militer bagi Republik Florence sekalipun harus menambah pajak.[56] Usulan ini tidak serta merta langsung disetujui oleh DPR, karena para politisi lebih banyak memikirkan keadaan mereka dibandingkan kebutuhan Republik Florence. Niccolò tidak kehilangan akal dan membuat parade tentara untuk mempengaruhi opini publik. Mantan anak buah Cesare dikeluarkannya dari penjara, yaitu Don Michelotto untuk melatih pasukan-petani Florence. Kostum prajuritnya dibuat oleh Michelangelo, seniman yang terkenal akan lukisan Mona Lisa.[57] Usulannya akhirnya diterima dan Niccolò menerima tanggung jawab barunya dengan memegang 10.000 pasukan milisi barunya dengan tugas merebut kembali kota Pisa. Piero Soderini menyebut Niccolò sebagai “Pemberian-Tuhan”.[58] Sementara ketika keadaan Italia yang tidak berdaulat dan tidak memiliki kekuatan militer sedang dipikirkan dan dibangun oleh Niccolò, Paus Julius II –yang memiliki julukan Il Papa Terribile- memiliki proyek ambisius. Niccolò Machiavelli berkesempatan mengunjungi Julius II di tahun 1506 yang berencana membangun dan memperbaiki Basilika Santo Petrus. Pembangunan ini direncanakan membangun prestise dan otoritas Gereja Kristen Katolik di bawah kepemimpinannya. Dengan jual beli jabatan dia memiliki kas sebesar 400.000 ducats untuk membangun kekuatan militernya sendiri.[59] Paus Julius II tidak jauh berbeda dalam hal kepemimpinan dibandingkan Alexander VI. Niccolò berkata dalam beberapa hal justru Julius II sudah dipermudah dalam melaksanakan pengaruh Gereja karena banyak tatanan yang telah dilakukan Alexander VI dan anaknya sebelum meninggal. Niccolò berpendapat:

Paus Julius datang setelahnya (Keterangan tambahan:Keluarga Borgia) [...] dan mendapati Gereja dalam keadaan kokoh, menguasai seluruh Romagna [...] peran Baron di Roma dikurangi [...] faksi-faksi dihapuskan [...] dia juga menemukan jalan keluar untuk mengumpulkan uang lewat cara-cara yang belum pernah dilakukan sebelum masa Alesander dan pendahulunya.[60]

Paus Julius II, dialah yang pertama kali menemukan cara mendapatkan uang dengan cepat melalui sebuah propaganda ‘surat-sakti’. Surat sakti itu disebut surat pengampunan dosa, surat Indulgensia model Julius II ini telah dimodifikasi.[61] Tidak seperti pendahulunya dia telah memodifikasi surat tersebut sehingga dapat ditukar dengan kepingan uang. Paus Julius II juga memiliki keinginan yang luar biasa dalam menyebarkan pengaruhnya melalui ekpedisi kekuatan militer. Ekspedisi itu dilakukan di Perugia melawan Gianpaolo Baglioni pada tahun 1506, dan dilanjutkan ke Bologna untuk mengembalikan otoritas Gereja.[62] Keberhasilannya membuat Paus ini mendapatkan julukan baru: “Paus Ksatria”. Di musim semi tahun 1507, ketika Perancis dan Spanyol masih berebut pengaruh kekuasaan di Italia, dan Roma terjadi hal yang tak diduga yang berlangsung sebelumnya, yaitu rencana kunjungan Maximilian I dari Habsburg, Kaisar dari Kerajaan Suci Roma (Holy Roman Empire) untuk meneruskan tradisi pemberian mahkota kerajaan oleh Sri Paus. Walaupun tidak mempengaruhi Republik Florence secara langsung namun imbas kedatangan Maximilian I membuat perang berkobar kembali di tanah Italia Utara. Selama tahun 1507-1508, Republik Florence beberapa kali mengutus Niccolò dalam rangka misi diplomatik kepada Maximilian I, walaupun dalam prioritas pekerjaan fokus utamanya tetap merebut kembali Pisa ke tangan Republik Florence. Pada tahun 1509, Niccolò membuktikan hasil kerja kerasnya dengan menaklukan Pisa dengan tentara yang dia bentuk. Prestasi ini mencatatkan Niccolò dalam sejarah Republik Florence.

Pada tahun 1509-1511 pasca keruntuhan Republik Venesia di tanah Utara oleh Liga Cambrai yang terdiri atas Negara Kepausan, Kerajaan Suci Roma, dan Perancis (1508), terjadi ketidakpuasan Paus Julius II terhadap pengaruh Perancis. Paus kembali mengobarkan perang suci terhadap Perancis dengan bantuan Spanyol. Perancis dipimpin oleh Gaston de Foix, keponakan Louis XII. Tahun 1511, pasukan Perancis menang di Ravenna namun kemenangan ini harus dibayar mahal dengan kematian Gaston. Dugaan bahwa Perancis akan tetap menyerang ke Roma ternyata tidak terjadi setelah Louis XII memutuskan kembali ke Milan bersama pasukannya. Niccolò yang khawatir bahwa sisa pasukan Spanyol yang ada di daratan tengah Italia akan dimanfaatkan musuh-musuh Piero Soderini kini betul-betul terjadi. Ketidakberpihakan Republik Florence dianggap pengkhianatan oleh Paus Julius II. Paus Julius II memberi restu kepada Kardinal Giuliano de’Medici dan pasukannya menggulingkan Kardinal Piero Soderini di Florence. Pada tanggal 1 September 1512 akhirnya Republik Florence yang dipimpin oleh keluarga Soderini runtuh. Dengan runtuhnya kekuasaan Piero Soderini maka pada tanggal 7 November 1512 dikeluarkan SK (Surat Keputusan) Pemecatan kepada Niccolò.

III Karya Il Principe dan Refleksi Hidup Niccolò Machiavelli

Usia Niccolò Machiavelli baru 43 tahun pada tahun 1512 ketika dia harus melihat keruntuhan pemerintahan Soderini. Semua prestasi dan kerja keras dalam hidupnya untuk berjasa bagi Republik Florence menjadi sia-sia ketika dia melihat bahwa pemerintah Florence yang baru tidak memandang sedikitpun tentang prestasi Niccolò karena kedekatannya dengan keluarga Soderini. Setelah dipecat, Niccolò merasakan semua sarana fasilitas terhadap dirinya selama menjadi birokat dicabut, bahkan selang beberapa saat dia memutuskan untuk mengasingkan diri di kediamannya, desa San’t Andrea, sebelum akhirnya tetap dipenjarakan oleh keluarga Medici.[63]

Pergumulannya tentang ketidakpuasannya terhadap nasib yang dialami dalam hidupnya membuat dia bersemangat mencari sebuah cara untuk memukau penguasa baru Republik Florence dengan bakat dan pengalaman pemerintahannya bersama klan Soderini. Karya Il Principe diselesaikannya di tahun 1513 yang dipersembahkannya untuk Lorenzo de’Medici (1492-1519).[64]

[1] Catatan: Kata Gereja Kristen Katolik digunakan secara khusus untuk mengacu sejarah Gereja yang belum membelah diri.

[2] Henry C. Schmandt. Filsafat Politik: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman Modern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 267. Judul Asli: A History of Political Philosophy. Dikutip dari: Joyce Cary, “Political and Person Morality,” The Saturday Review, 31 Desember 1955.

[3] Charles E. Merriam. History of the Theory of Sovereignty Since Rousseau. (New York: Columbia University Press, 1900), 13.

[4]ST. Sularto. Niccolò Machiavelli:Penguasa Arsitek Masyarakat. (Jakarta: Kompas, 2003), xx.

[5](ed) B.A. Abednego. Seputar Teologi Operatif. (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1994), 104.

[6]Lihat ST. Sularto. Niccolò Machiavelli:Penguasa Arsitek Masyarakat xvii.

[7] Peter Bondanella. Portable Machiavelli. Penguin Books, 9.

[8] Jan Hendrik Rapar. Filsafat Politik Machiavelli. (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 15.

[9]Niccolò Machiavelli. Machiavelli and His Friends: Their Personal Correspondence, editor & penerjemah oleh James B. Atkinson & David Sices. (DeKalb: Northern Illinois University Press, 1996), 222.

[10]Universitas Studio Fiorentino didirikan pada tahun 1348 namun kemudian direlokasi ke Pisa pada tahun 1473.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun