Mohon tunggu...
Arief Maulana
Arief Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti di Setjen DPD RI

As there is only one God in the universe, there should be only one love in this world.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Problematika Bantuan Sosial di Indonesia: Di Antara Bayang-Bayang Politik Citra dan Korupsi yang Merajalela

25 Agustus 2021   15:50 Diperbarui: 25 Agustus 2021   16:06 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PROLOG

Mari 'berpetualang' sejenak ke akhir tahun lalu untuk melihat kembali sebuah realita yang menyesakkan dada. Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, menyerahkan diri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 6 Desember 2020 jam 02.50 WIB dini hari (FM Sidik, news.detik.com, 2020). Sebagaimana jamak diketahui bahwa penyerahan diri tersebut merupakan 'buah' dari pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap beberapa pejabat PPK Kementerian Sosial (Kemensos). Dalam operasi tangkap tangan KPK, diindikasikan ada gratifikasi senilai Rp17 miliar yang mengarah kepada Juliari P. Batubara (DM Purnamasari, kompas.com, 2020). Dalam modusnya, Sang Menteri mendapatkan fee sebesar Rp10.000/paket pengadaan bantuan sosial (bansos) yang diadakan oleh Kemensos untuk membantu meringankan beban masyarakat akibat dampak Covid-19 yang berlangsung sejak bulan Maret 2020 yang sampai sekarang belum tahu kapan akan berakhir.

Gratifikasi kepada Menteri Sosial tersebut diberikan oleh pihak swasta yang melaksanakan paket pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek senilai Rp5,4 triliun. Seandainya paket bansos rata-rata satu paket nilainya Rp300 ribu, dan terdapat pengadaan paket bansos se-Jabodetabek sejumlah 18 juta paket, maka kemungkinan uang bansos yang masuk ke dompet Sang Menteri hampir Rp180 miliar (Zaking, jawapos.com, 2020). Sebuah angka yang fantastis.

Terhadap peristiwa ini, banyak masyarakat yang merasa geram dan jengkel. Bayangkan, dampak yang dirasakan dari Covid-19 telah meluluhlantakkan semua sendi kehidupan bangsa. Fakta-fakta tersebut memang cukup menyesakkan dada, sekaligus membuka 'kotak pandora' yang memperlihatkan kepada rakyat Indonesia betapa bobroknya pengelolaan bansos di negara kita.


PENGELOLAAN BANSOS DAN SEGALA PERMASALAHANNYA

Merujuk pada berbagai literatur dan peraturan-peraturan yang berlaku, bansos secara sederhana adalah pemberian uang, barang atau jasa oleh pemerintah pusat atau daerah kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat guna melindungi mereka dari kemungkinan terjadinya risiko sosial (SL Rahayu, 2012).

Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi yang tergolong cukup banyak, untuk itu pemerintah melaksanakan berbagai program untuk menunjang peningkatan pembangunan dalam rangka menopang kesejahteraan penduduk. Menurut UU Nomor 11 Tahun 2009, negara bertanggung jawab untuk melaksanakan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan sosial secara terarah, terencana dan berkelanjutan. Untuk itu, Pemerintah terus berupaya menangani masalah ekonomi yang terjadi melalui berbagai pendekatan dan strategi dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada dan direalisasikan lewat pemberian dana bantuan sosial (Kantohe. et al., 2018).

Secara umum, mekanisme pengelolaan bansos dibagi dalam tiga tahap: penganggaran, pelaksanaan, dan pelaporan. Dalam tahap penganggaran, kementerian/lembaga atau pemda menetapkan daftar penerima bansos. Dalam konteks bansos Covid-19, Kemensos melakukan penetapan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang berisikan data 40% penduduk termiskin di Indonesia (bdt.tnp2k.go.id, 2020)[1] . Penetapan penerima juga dapat dilakukan berdasarkan hasil seleksi atas usulan tertulis yang masuk dari calon penerima bansos. Ini umumnya berlaku di pemda untuk bansos yang berbentuk barang/jasa.

Walaupun bansos yang disalurkan berdasarkan data DTKS, bukan berarti bebas dari masalah.  Masalah pertama terjadi pada akurasi data acuan penetapan penerima bansos. Kemensos sendiri mengakui bahwa DTKS terakhir diperbaharui secara masif pada 2015, sementara KPK menemukan berbagai permasalahan terkait DTKS seperti data tumpang tindih, tidak lengkap, dan duplikasi jutaan data (tempo.co, 2020).

Masalah kedua adalah bansos sangat rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Ketidakakuratan data ditambah kewenangan kepala daerah yang besar dalam penentuan penerima bansos mendorong kolusi terjadi dalam penyaluran bansos. Bansos dibagikan berdasarkan pertimbangan politik elektoral ketimbang kebutuhan nyata masyarakat.

Studi Ward Berenschot --peneliti politik asal Belanda-- mengenai politik klientelisme di Indonesia menunjukkan bansos dan hibah sebagai salah satu sumber daya yang rawan digunakan untuk kepentingan elektoral (Berenschot, 2018). Temuan ini diperkuat lewat temuan studi tentang Pilkada Banten 2011 ketika gubernur petahana mengalokasikan bansos dan hibah ke wilayah-wilayah yang menjadi kantong suaranya (Saragintan & Hidayat, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun