Mohon tunggu...
Arie Saptaji
Arie Saptaji Mohon Tunggu... -

Penulis serabutan, peternak teri, dan tukang nonton. Ia juga aktif menerjemahkan, menyunting naskah, mengerjakan ghostwriting, dan mengadakan pelatihan menulis dengan metode ART. Untuk bekerja sama, silakan menghubungi ariesaptaji@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rapunzel Vs Beauty and The Beast

23 Desember 2010   01:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:29 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SPOILER BERTEBARAN. Minggu lalu, kami membeli DVD Beauty and the Beast Diamond Edition sebagai hadiah-telat untuk ulang tahun Tirza. Lalu, semalam kami menonton Rapunzel (di AS beredar dengan judul Tangled). Wah, ternyata struktur cerita Rapunzel mengikuti pola Beauty and the Beast, dengan sejumlah pembalikan fungsi dan peran karakter-karakternya. Ini sebagian di antaranya. Beauty and the Beast Rapunzel (Tangled) Yang terkurung di kastil tersihir pangeran buruk rupa Yang terkurung di menara gadis cantik yang tidak menyadari kalau dirinya putri raja. Dibuka dengan narasi tentang asal-usul Beast. Dibuka dengan narasi tentang asal-usul Rapunzel. Lagu pertama tentang “kota kecil” yang membosankan dan tidak nyambung bagi Belle yang cergas. (Lagu-lagu berikutnya juga bisa diperbandingkan, termasuk yang adegannya mencomot lagak Maria di The Sound of Music). Lagu pertama tentang keseharian Rapunzel di menara, suatu siklus membosankan, seolah hidupnya belum juga dimulai. Ayah Belle eksentrik dan tidak berdaya, namun ingin menyediakan dunia baru bagi putrinya melalui penemuan garapannya. “Ibu” Rapunzel eksentrik dan amat berdaya, sekaligus amat protektif, menahan putrinya agar tidak mengenal dunia, dengan mantra “Ibu tahu yang terbaik.” Gaston menginginkan Belle bukan karena mencintai gadis itu, melainkan karena menganggap dirinya pantas menerima semua yang terbaik di kota itu. Gothel yang ingin awet muda merawat Rapunzel bukan karena mencintainya, namun sebenarnya sedang mengungkung dan memanipulasi kecantikan baru yang sedang bertumbuh itu. Mawar ajaib. Cermin ajaib. Bunga ajaib. Rambut ajaib. Air mata ajaib. Beast menampakkan diri pertama kali kepada Belle dari keremangan—membuat Belle terguncang. Rapunzel menampakkan diri pertama kali kepada Flynn dari keremangan—membuat Flynn terpesona. Beast menyelamatkannya dari serbuan serigala. Lalu, Belle membebat luka di lengannya. Rapunzel menyelamatkan Flynn dan dirinya dari air bah dengan rambut ajaibnya. Lalu, Rapunzel membebat dan menyembuhkan luka di tangannya. Beast bertampang kasar dan sulit mengontrol amarahnya, namun menyimpan “something sweet and almost kind.” Rapunzel merasa bersalah melanggar larangan ibunya, namun sekaligus meledak dalam sukacita karena menemukan dunia baru dan kehidupan baru. Beast dan perabotan yang tersihir di kastil bermimpi menjadi manusia lagi. Rapunzel dan para laki-laki sangar di bar punya impian masing-masing. (Lagu yang mereka nyanyikan dirancang mendekati kebombastisan lagu “Gaston” dalam Beauty and the Beast, tapi gagal dan terasa datar.) Pesta dansa membuhulkan hati Belle dan Beast. Pesta lentera membuhulkan hati Flynn dan Rapunzel. Gaston tewas terjungkal segera setelah menikam Beast. Gothel tewas terjungkal beberapa waktu setelah menikam Flynn. Beast mengalami transformasi karena air mata “I love you” Belle. Flynn hidup kembali karena tetesan air mata ajaib Rapunzel. Berakhir dengan transformasi menjadi manusia dan pernikahan. Berakhir dengan pernikahan dan terwujudnya impian.

12930731702061169618
12930731702061169618
Apakah dengan kesejajaran itu Rapunzel juga seelok Beauty and the Beast? Kurang adil membandingkan sebuah film yang merupakan “my personal most favorite” dan sudah ditonton berulang-ulang dengan film yang baru ditonton sekali. Namun, mungkin justru di situlah perbedaannya. Beauty and the Beast saat pertama menontonnya—dari laser disc—dulu membuatku terperangah, lantas ingin menontonnya lagi dan lagi, tak bosan-bosan. Sedangkan Rapunzel? Begitu selesai nonton di studio 3D, ya sudah—rasanya bagus, tapi tidak menggoda untuk segera menontonnya lagi. Tokoh yang nemplok di kepala ya hanya Rapunzel, Flynn, Gothel, dan… Maximus! (Silakan temukan sendiri siapa dia, ini tokoh sampingan yang amat mencuri perhatian dan nyaris “mengubur” tokoh utamanya; aku berkhayal akan ada film tersendiri tentang si Maximus ini). Lagu-lagunya tak ada yang langsung melekat, dan rasanya kurang nyaman didengungkan kembali. Aku (jenis kelamin: laki-laki) suka meringis menirukan Belle menyanyikan penolakannya pada Gaston, tapi kayaknya tak bakal tertarik untuk ikut-ikut mengumandangkan “Mother Knows the Best.” Dibandingkan animasi Hollywood lain belakangan ini (di luar Pixar), Rapunzel termasuk menyenangkan. Ada ketegangan ala Indiana Jones pula. Tetapi, dibandingkan dengan kecemerlangan Beauty and the Beast, salah satu adikarya animasi Disney (lainnya: Pinocchio, Fantasia, Snow White and Seven Dwarfs, dan Bambi), Rapunzel masih terasa kurang darah. Rapunzel memang berambut panjang, namun Beauty and the Beast lebih meninggalkan denyut pesona yang berkepanjangan di hati permirsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun