Oleh karena itu, saat membuat horok-horok, orang tua zaman dulu sering menekankan pentingnya memasak dengan hati tenang dan pikiran jernih.
Dalam budaya Jawa, makanan bukan hanya soal rasa di lidah, tapi juga "rasa" dalam arti yang lebih dalam: perasaan, niat, dan suasana batin.
Mungkin inilah yang membuat makanan buatan rumah sering terasa lebih "istimewa"---karena di dalamnya ada sentuhan tangan dan hati yang tulus.
Kepercayaan seperti ini bisa dianggap mitos. Tapi mitos, dalam budaya lokal, seringkali tidak lahir tanpa alasan. Ia membawa pesan, nilai, bahkan filosofi hidup.
Dalam kasus Horok-Horok, mungkin ini adalah cara halus nenek moyang kita untuk mengajarkan bahwa segala sesuatu, termasuk memasak, sebaiknya dilakukan dengan kesungguhan dan niat baik.
Makanan, Memori, dan Ketahanan Pangan
Mitos tentang Horok-Horok mengingatkan kita bahwa makanan bukan sekadar soal kenyang, melainkan juga soal nilai dan hubungan. Dan ketika kita menelisik lebih dalam, Horok-Horok ternyata menyimpan makna lain yang tak kalah penting: ketahanan.
Bagi masyarakat Jepara dulu, Horok-Horok bukan hanya alternatif pengganti nasi saat musim paceklik, tetapi juga simbol daya tahan.
Di masa sulit, saat logistik terbatas dan bahan pokok mahal, masyarakat tetap bisa bertahan hidup dengan menggali potensi pangan lokal yang tersedia di sekitar mereka.
Dari pohon aren yang tumbuh liar, muncullah butiran-butiran kenyal yang menyambung napas banyak keluarga.
Kini, ketika dunia menghadapi tantangan perubahan iklim, krisis pangan, dan urbanisasi yang masif, kisah horok-horok seolah memberi kita arah baru: bahwa solusi masa depan bisa jadi tersembunyi di warisan masa lalu.