Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumatera Barat baru saja mengumumkan penetapan hasil seleksi administrasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari pendaftar umum, 8 Oktober 2013. Ternyata benar yang Penulis duga sebelumnya, tidak ada mekanisme komplain yang disediakan BKD untuk pelamar. Angka sepuluh pada pengumuman tersebut menyebutkan: keputusan tim pelaksana pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Provinsi Sumatera Barat tahun 2013 tidak dapat diganggu gugat. Bagaimana dengan pelamar yang telah menyampaikan berkas sesuai indikator dan harusnya lulus tetapi ternyata tidak tercantum namanya dalam pengumuman penetapan? Tentu bisa saja terjadi.
Jika Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Sumatera Barat serius untuk menyelenggarakan Seleksi Penerimaan CPNS yang bersih dan transparan, harusnya ada mekanisme yang transparan pula. Jika mekanisme komplain saja tidak diberikan kepada pendaftar, bagaimana pula seleksi penerimaan CPNS ini dikatakan bersih dan transparan?
Hal lain yang masih menjadi tanda tanya bagi Penulis, mungkin juga oleh publik/pendaftar, siapa tim pengawas seleksi penerimaan CPNS Provinsi Sumatera Barat ini? apakah cukup menggunakan asas kepercayaan saja kepada panitia seleksi yang notabene adalah PNS BKD? Tentu sangat terbuka terjadinya human error pada saat pemeriksaan berkas pendaftar. Lalu, bagaimana dengan korban kesalahandari panitia tersebut? Sementara tidak ada mekanisme komplain terhadap penetapan hasil seleksi. Ini adalah salah satu bentuk bobroknya sistem penerimaan CPNS Provinsi Sumatera Barat.
Per 26 September 2013, total pendaftar online diketahui mencapai 17.225 pendaftar (Baca Pedang Ekspres: “1.057 Lamaran tak Penuhi Syarat”, Sabtu, 28 September 2013).Tentu kita masih ingat, sebelumnya Pemerintah Provinsi Sumbar menetapkan kebijakan bahwa pendaftar online dibatasi sebanyak 8000 pendaftar. Sontak ini membuat publik/calon pendaftar menjadi ‘teraniaya’. Bagaimana tidak, jadwal pendaftaran online yang ditetapkan tanggal 14 sampai 26 September 2013, 15 September saja pendaftar sudah melebihi kuota 8000 orang.
Pemda Provinsi Sumatera Barat beralasan bahwa memiliki anggaran terbatas menyelenggarakan seleksi penerimaan CPNS menggunakan sistem Computer Asisisten Test (CAT). Sehingga harus membatasi kuota sebayak 8000 orang. Alasan yang disampaikan Pemda Sumatera Barat ini tentu tidak bisa diterima dengan logika sehat. Pemerintah harusnya sadar, pembatasan tersebut adalah bentuk diskriminasi. Padahal setiap warga negara/pendaftar memiliki hak yang sama. Tanpa dibedakan mana yang terlebih dulu dan mana yang terakhir mengakses internet. Jika seperti itu tidak ada gunanya ada penetapan rentang waktu pendaftaran, tanggal 14 sampai 26 September 2013. Andaikan ada calon pendaftar yang tinggal di kabupaten kota yang sulit mendapatkan akses internet. Tentu yang bersangkutan tidak akan mungkin berkompetisi dalam hitungan jam dengan calon pendaftar yang mudah mendapatkan akses internet. Bayangkan saja, berapa pendaftar yang tersingkir karena kebijakan kuota 8000 orang ini? Dari penetapan hasil seleksi administrasi yang dikeluarkan BKD Sumbar, diketahui menetapkan 6062 peserta lulus seleksi administrasi. Artinya, 11.163 pendaftar dinyatakan gagal sebelum bertarung ‘otak’ di Tes Kemampuan Dasar.
Harusnya, sebelum mengusulkan anggaran ke DPRD, Pemda Provinsi Sumatera Barat melakukan kajian tentang penyelenggaraan seleksi penerimaan CPNS yang ideal. Mengukur ketersediaan anggaran, dengan sistem yang akan digunakan. Jika sekiranya Pemda Provinsi Sumatera Barat belum mampu dalam hal penganggaran dengan mekanisme ujian CAT, harusnya tidak perlu memaksakan diri. Solusinya bisa menggunakan sistem Lembar Jawaban Komputer (LJK) saja pada tahap ujian. Tentu harus juga memperbaiki sistem pada mekanisme dan metode. jika selama ini metode ujian dengan LJK rentan kebocoran soal, joki, kecurangan ketika pemberkasan LJK dan ketika pemeriksaan LJK, harusnya bisa diatasi dengan menerapkan mekanisme pengawasan yang ekstra pada setiap tahap.
Dalam tulisan sebelumnya: Hati-hati Calo(n) PNS, Penulis telah menyampaikan bahwa idealnya penyelenggaraan seleksi penerimaan CPNS tersebut dilakukan oleh pihak ketiga yang profesional non Perguruan Tinggi dan didukung dengan sistem pengawasan oleh pihak eksternal. Sistem seperti ini tentu akan menyerap anggaran yang cukup besar. Tapi, tidak pula patut Pemda kemudian berpasrah pada sistem yang korup tanpa memperbaiki, atau malah sebaliknya, memperbaiki sistem dengan anggaran terbatas namun memangkas hak-hak publik/pendaftar. Keduanya sama saja buruknya.
Sebenarnya, inti dari persoalan kebobrokan penyelenggaraan seleksi penerimaan CPNS selama ini adalah minimnya transparansi terhadap pelaksanaan seleksi. Panitia seleksi yang biasanya adalah pihak internal/PNS dan terdiri dari beberapa anggota merupakan ujung tombak dalam proses seleksi. Mereka adalah bagian yang sangat menentukan dalam proses tersebut. Tetapi, sistem selama ini memperlakukan mereka bak dewa dan dilegitimasi sebagai manusia paling bersih. Padahal, ketika sebuah kewenangan tanpa pengawasan akan membuka peluang kewenangan tersebut disalahgunakan. inilah yang melahirkan para calo yang selama ini menjadi dilema dalam seleksi penerimaan CPNS. Kondisi inilah yang kemudian berimplikasi mematikan hak-hak publik/pendaftar dan memupuk subur para calo yang terus berkembang yang cenderung berada di lingkungan Panitia Seleksi.
Solusinya sederhana, jika Pemda Provinsi Sumatera Barat beralasan keterbatasan terhadapanggaran, cukup sebenarnya dengan serius membentuk sistem seleksi penerimaan CPNS yang transparan. Misalnya, pertama, tidak soal jika Panitia seleksi adalah pihak internal, namun Pemda juga harus membuka diri untuk mengikutsertakan pihak eksternal seperti Ombudsman, LSM/NGO, dan mahasiswa sebagai pengawas eksternal. Setidaknya stakeholder tersebut tidak berkepentingan dalam proses tersebut. Hal ini penting untuk menjaga setiap proses/tahap sistem seleksi dijalankan sesuai prosedur oleh panitia internal.
Kedua, memberikan informasi dan data berkala kepada publik secara transparan tentang proses yang sedang berlangsung. Misalnya, mempublikasikan metode penyeleksian, siapa petugas pelaksana penyeleksi, dan lainnya, yang berhubungan dengan proses. Sehingga publik bisa menilai tahap mana yang tidak sesuai dengan sistem.
Ketiga, yang paling penting adalah memberikan ruang kepada publik/pendaftar denganmenyediakan mekanisme komplain. Sehingga ketika ada dugaan kesalahan yang dilakukan panitia dan tidak sesuai dengan sistem yang merugikan pendaftar, kemudian bisa direview. Dengan ini tentu akan meminimalisir pelanggaran hak-hak pendaftar seperti yang terjadi pada seleksi penerimaan CPNS Provinsi Sumbar pada tahun ini.
Menurut penulis persoalan ini sangat pentinguntuk dipertimbangkan dan dikaji ulang oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat. Proses seleksi CPNS yang buruk akan potensial melahirkan CPNS yang buruk pula. Dari pantauan Penulis, dari dulu sampai hari ini, belum ada satu pun dari 19 Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat yang menerapkan sistem seleksi penerimaan CPNS yang benar-benar transparan dan menggunakan pengawasan eksternal. Lalu pertanyaannya, maukah Pemda Provinsi Sumatera Barat berbenah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H