Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dilema Cuti PNS: Antara Dedikasi dan Kesehatan

18 Oktober 2024   09:46 Diperbarui: 18 Oktober 2024   09:49 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pak Sabarudin

Hari ini, untuk pertama kalinya dalam karier saya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), saya terpaksa mengambil cuti. Bukan karena ada acara spesial atau liburan yang telah lama direncanakan, melainkan karena tubuh saya sudah tidak sanggup lagi dipaksa bekerja. Tiga hari berturut-turut menempuh perjalanan pulang-pergi sejauh 200 km telah memaksa saya untuk akhirnya mengambil jeda sejenak dari rutinitas. Pengalaman ini membuat saya merenung tentang budaya kerja di lingkungan PNS dan pentingnya keseimbangan antara dedikasi dan kesehatan.

Aturan cuti PNS tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 17/2020 tentang Perubahan atas PP No. 11/2017 tentang Manajemen PNS. Meskipun aturan ini telah berlaku sejak tahun 2020, baru hari ini saya merasakan manfaatnya. Sebelumnya, saya tidak pernah mengambil cuti karena merasa tidak ada kepentingan pribadi yang mengharuskan saya melakukannya. Namun, kejadian ini membuat saya menyadari bahwa cuti bukan hanya tentang kepentingan pribadi, tetapi juga tentang menjaga kesehatan fisik dan mental.

Budaya kerja di lingkungan PNS sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Stereotip tentang PNS yang malas dan suka bolos kerja masih melekat kuat. Mungkin inilah yang membuat banyak PNS, termasuk saya, merasa perlu untuk membuktikan diri dengan bekerja tanpa henti. Kita lupa bahwa dedikasi tidak harus diukur dari seberapa sering kita hadir di kantor atau seberapa jauh kita rela menempuh perjalanan demi pekerjaan.

Realitasnya, banyak PNS yang bekerja keras dan berdedikasi tinggi terhadap tugas mereka. Namun, kita sering mengabaikan batas-batas kesehatan dan kesejahteraan diri sendiri. Perjalanan 200 km sehari selama tiga hari berturut-turut bukan hal yang sepele. Ini bukan hanya tentang jarak, tetapi juga tentang waktu, energi, dan risiko keselamatan di jalan. Ketika tubuh akhirnya memberontak, barulah kita sadar bahwa ada batas yang tidak bisa kita lampaui.

Pengambilan cuti seharusnya tidak dilihat sebagai tanda kemalasan atau kurangnya dedikasi. Sebaliknya, ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan, pada akhirnya, terhadap pekerjaan kita. Bagaimana mungkin kita bisa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat jika kondisi fisik dan mental kita sendiri tidak prima?

Pemerintah telah bijak dengan menetapkan aturan cuti bagi PNS. Namun, aturan saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan mindset. Kita perlu membangun budaya kerja yang menghargai keseimbangan antara dedikasi dan kesehatan. Produktivitas bukan hanya tentang kuantitas waktu yang dihabiskan di kantor, tetapi juga tentang kualitas kerja yang dihasilkan.

Pengalaman ini juga membuat saya berpikir tentang efisiensi sistem kerja PNS. Apakah perlu seorang pegawai menempuh jarak sejauh itu setiap hari? Bukankah ada alternatif seperti sistem kerja jarak jauh atau rotasi penempatan yang bisa diterapkan? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab demi meningkatkan kualitas hidup PNS sekaligus efisiensi pelayanan publik.

Sebagai PNS, kita memang dituntut untuk melayani masyarakat dengan sepenuh hati. Namun, kita juga perlu ingat bahwa kita adalah manusia, bukan mesin. Ada batas-batas yang perlu kita hormati demi kebaikan jangka panjang, baik bagi diri sendiri maupun bagi kualitas pelayanan yang kita berikan.

Melalui pengalaman ini, saya belajar bahwa mengambil cuti bukanlah tanda kelemahan. Ini adalah bentuk kebijaksanaan dalam mengelola diri sendiri. Ke depannya, saya berharap bisa lebih bijak dalam menyeimbangkan antara dedikasi terhadap pekerjaan dan kepedulian terhadap kesehatan diri.

Akhirnya, saya mengajak rekan-rekan PNS lainnya untuk tidak ragu mengambil hak cuti mereka ketika diperlukan. Mari kita bangun budaya kerja yang lebih sehat dan produktif. Dengan begitu, kita bisa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, bukan hanya hari ini, tetapi juga di masa-masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun