Mohon tunggu...
Arief Paderi
Arief Paderi Mohon Tunggu... profesional -

Unemployment, former drummer hardcore, glad see corruptors sentenced to death, and likes black coffee

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hati-hati Calo(n) PNS

27 Oktober 2013   12:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:58 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), paling hangat dibicarakan ‘pencari kerja’ saat ini. Beberapa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia saat ini sibuk dengan urusan seleksi penerimaan CPNS. Para sarjana di Indonesia berlomba-lomba mendaftarkan diri, berharap menjadi salah satu civil servant dari 70.000 kuota yang disediakan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (Kemenpan).

Selalu menjadi perhatian dari tahun-ketahun, beranggapan tidak ada yang benar-benar bersih dalam seleksi calon pelayan masyarakat ini. Hal ini membuat putra-putri terbaik Indonesia pesimis untuk bisa lulus dalam seleksi. Bukan karena takut tidak pintar, atau tidak berintegritas, tapi takut kala bersaing dalam praktik kolusi dan nepotisme. Fenomena ini selalu yang menjadi momok menakutkan. Bahkan, kadang tidak jarang kita mendengar terjadi praktik suap untuk mendapatkan satu stel baju CPNS.

Sebenarnya sederhana, jika Pemerintah dan Pemerintah Daerah benar-benar ingin bersih dalam proses penerimaan CPNS, seleksi harus dilakukan secara profesional oleh pihak yang profesional. Seperti, seleksi dilakukan oleh pihak ketiga non perguruan tinggi yang profesional, dan menggunakan pengawas eksternal.

Jika kebiasaan selama ini pelaksanaan seleksi penerimaan CPNS dilakukan oleh kepanitiaan Internal, alias PNS dari Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Daerah yang melakukan rekrutmen, mustahil akan bersih. Sistem seperti ini sangat membuka luang bagi para panitia menjadi para calo, karena nihil tanpa pengawasan. Semuanya diserahkan kepada asas kepercayaan. Hal inilah yang memupuk subur para calo dalam penerimaan CPNS selama ini. Terutama di daerah.

Suatu kebijakan positif dilakukan oleh beberapa Kementerian/Lembaga pada seleksi penerimaan CPNS pada tahun 2012 lalu. Salah satunya Kementerian Hukum dan HAM. Menyadari tingginya praktik curang dan calo dalam penerimaan CPNS di lembaga itu, KemenkumHAM kemudian memberlakukan pengawasan ekstra dalam proses penerimaan CPNS. Dengan membuka diri dan meminta kepada pihak eksternal, yaitu NGO/LSM, Mahasiswa dan Ombudsman, sebagai pengawas eksternal untuk mengawasi setiap tahap proses pelaksanaan penerimaan CPNS di KemenkumHAM. Ini patut ditiru oleh Pemerintah Daerah dalam penerimaan CPNS.

Mekanisme seleksi penerimaan CPNS di Kementerian boleh dikatakan lebih baik dibandingkan mekanisme seleksi CPNS di Pemerintah Daerah. Memiliki sistem dan mekanisme pengawasan yang lebih jelas, apalagi baru-baru ini Kemenpan menggandeng Indonesia Corupption Watch (ICW) untuk melakukan pemantauan dan sebagai pengawas eksternal. Namun, yang sangat memprihatinkan itu adalah seleksi penerimaan CPNS di Daerah, Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Pada tahun-tahun lalu, beberapa Pemerintah Daerah, mungkin ada yang bekerja sama dengan perguruan tinggi sebagai pihak ketiga dalam penyelenggaraan ujian CPNS. Namun menurut Penulis, Meskipun tahap ujian dilakukan oleh perguruan tinggi, ini bukan solusi. Selama panitia penerimaan CPNS adalah pihak internal, tanpa pengawasan dari pihak eksternal, mustahil akan bersih. Sebagai contoh, identitas peserta lulus dari hasil ujian yang diserahkan oleh Perguruan Tinggi, bisa saja tidak sama dengan identitas peserta lulus yang diumumkan oleh Pemerintah Daerah yang melakukan rekrutmen. Bagaimana terjadi? Tidak lain adalah intervensi dari pemegang kekuasaan pada instansi/Pemerintah Daerah pelaksana rekrutmen. Akhirnya, kerjasama dengan perguruan tinggi hanya sebagai pencitraan.

Berikut beberapa ‘pos’ yang biasa dimainkan para calo seleksi penerimaan CPNS, (1) penetapan Formasi; (2) pengumuman penerimaan CPNS; (3) seleksi administrasi; (4) tahap pleno penetapan hasil sleksi administrasi; (5) sterilisasi soal ujian; (6) tahap Ujian; (7) tahap pengumpulan Lembar Jawaban Komputer (LJK); (8) tahap pemeriksaan Lembar Jawaban Komputer (LJK); (9) tahap rekapitulasi hasil ujian; (10) tahap pleno penetapan CPNS; dan (11) tahap pengumuman kelulusan CPNS. Kesemuanya sangat rentan terjadi kecurangan. Kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi yang dilakukan pada tahap ujian menjadi sia-sia jika tahap pra dan pascaujian tidak dilakukan pengawasan.

Tahun ini, Kemenpan melakukan ‘uji coba’ menerapkan mekanisme ujian Computer Assisted Test (CAT) untuk beberapa Kementerian/Lembaga serta beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Diakui, ini adalah salah satu cara meminimalisir praktek curang. Namun menurut Penulis, dengan menggunakan mekanisme ujian CAT bukan berarti seratus persen proses penerimaan CPNS dijamin bersih. Sebagaimana yang telah penulis urai di atas, banyak ruang pada setiap proses seleksi penerimaan CPNS yang bisa dimainkan para calo. CAT hanya akan mampu memangkas praktik curang pada tahap ujian. Untuk tahap lainnya? Tentu, kembali kita menggunakan asas kepercayaan kepada PNS panitia Internal. Bagaimana dengan yang tidak menerapkan mekanisme ujian CAT? Hanya mereka yang tahu.

Bagaimana harusnya seleksi penerimaan CPNS?

Bisa bertemu PNS di kelurahan, di Kecamatan atau di Instansi di Kabupaten dan Kota yangramah dan santun, sebenarnya bukan mimpi. Jika kemudian Pemerintah Daerah berniat untuk memperbaiki dan menata dengan baik sistem seleksi penerimaan CPNS-nya. Sistem seleksi akan sangat mempengaruhi hasil seleksi. semakin baik metode penyeleksian yang dilakukan, tentu menghasilkan CPNS yang baik pula. Apa jadinya jika CPNS yang lulus itu adalah berkat calo? Bisa jadi akan menjadi bibit koruptor handal di negeri ini nantinya.

Untuk menciptakan sistem seleksi penerimaan CPNS yang bersih dan bebas KKN, sebenarnya sangat mudah. Pemerintah cukup memercayakan seleksi penerimaan CPNS kepada pihak ketiga non Perguruan Tinggi. Serta memberlakukan pengawasan oleh pihak eksternal, seperti NGO/LSM, Mahasiswa dan Ombudsman. Pemerintah cukup melakukan tender secara terbuka dan transparan dalam menentukan pihak ketiga sebagai penyelenggara.

Artinya, pemerintah hanya memberikan formasi, kuota dan standarisasi kelulusan. Lalu menerima hasil peserta yang lulus dari pihak ke-tiga. Pengawasan setiap tahap seleksi oleh pengawas eksternal, akan menjadi pelengkap sterilisasi dalam seleksi.

Atau, jika alasan kemudian adalah adalah keterbatasan anggaran untuk ‘menggaet’ pihak ketiga sebagai penyelenggara seleksi, bisa saja dengan memaksimalkan peran pengawas eksternal pada setiap tahap seleksi. Pada intinya, kita tidak bisa lagi menggunakan asas kepercayaan kepada panitia internal yang selama ini berlaku, yang Notabene adalah PNS di Instansi/Pemerintah Daerah Perekrut.

Namun, tentu semuanya dikembalikan kepada pengambil kebijakan. Apakah memiliki visi untuk menciptakan Seleksi Penerimaan CPNS yang bersih atau tidak. Atau mungkin memang mekanisme yang karut-marut saat ini sengaja dipelihara untuk lahan ‘permainan’? Semoga tidak.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun