Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mobil Nasional, Masih Perlukah?

18 Juli 2014   16:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:59 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Menarik membincangkan mobil nasional menjadi menarik setelah para Capres berkomitmen untuk menghidupkan mobil nasional jika terpilih sebagai Presiden. Pertanyaannya apakah mobil nasional masih diperlukan? Apakah definisi mobil nasional yang paling tepat? apakah hanya dilihat dari "merk" ataukah dilihat dari "kandungan lokal" ataukah dilihat dari "prosentasi kepemilikan saham" ataukah dari sudut pandang yang lain?. Berikutnya harus dihitung secara ekonomi, apakah biaya-biaya yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah akan sebanding dengan penerimaan Pemerintah berupa pajak dan penghematan impor mobil setelah Indonesia memiliki mobil nasional. Tanpa kriteria ekonomi yang jelas, maka mobil nasional nanti hanya menjadi sebuah "proyek mercusuar" semata untuk menunjukkan bahwa Indonesia bisa.

Bagi Pemerintah kebijakan di sektor otomotif tentu tidak sekedar kebijakan populis semata, tetapi harus menjadi kebijakan yang realistis. Bangsa Indonesia harus berkaca pada pengalaman masa lalu dan menghitung secara cermat kebijakan otomotif yang akan datang. Dapat dikatakan ada dua (2) kebijakan besar di sektor otomotif yang pernah dikeluarkan Pemerintah. Pertama adalah saat pemerintahan di era orde baru memutuskan menetapkan kebijakan mobil nasional dalam bentuk "penggantian merk" serta impor 100% built up yang direncanakan secara perlahan dilakukan transfer teknologi dan produksi didalam negeri. Kebijakan tersebut sepertinya ingin memotong kompas karena tidak mau kalah dengan Malaysia yang sudah memiliki mobil nasional Proton. Bedanya jika di Malaysia mobnas Proton adalah hasil kerjasama dengan Mitsubishi secara bertahap dan mulai pembangunan fasilitas produksi di Malaysia, kemudian Mitsubishi hanya memasok mesin dan selanjutnya 100% hasil karya insinyur Proton.  Kala itu, belum ada perdagangan bebas dan setiap negara masih memproteksi produk masing-masing sehingga mobil jika diimpor dalam bentuk utuh menjadi mahal karena berbagai pajak. Mobnas Timor saat itu memperoleh keistimewaan pembebasan berbagai pajak sehingga harga jual di Indonesia jauh dibawah mobil yang saat itu sudah ada yang mayoritas adalah merek dari Jepang. Mobnas Timor dapat dikatakan hanya bertahan 2 tahun sejak mulai meluncur di jalan 1996, setelah reformasi 1998 dapat dikatakan sudah berakhir. Kedua adalah saat Pemerintahan SBY mengeluarkan kebijakan mobil Low Cost Green Car (LCGC). Kebijakan ini mengandung dua (2) hal yang utama yaitu a. mendorong mobil yang hemat energi dengan CC yang rendah dan teknologi hijau sehingga minimal berbahan bakar pertamax , b. harga yang murah agar terjangkau masyarakat kelas menengah yang belum memiliki mobil.  Ada kritikan dari pengamat dan masyarakat bagaimana mungkin kebijakan LCGC dikeluarkan sedangkan kondisi infrastruktur masih sangat tertinggal dan kemacetan di Jakarta semakin menggila dan beberapa kota lain seperti Surabaya serta Bandung juga mulai terjangkit penyakit macet. Kritikan lainnya adalah bagaimana mengontrol pemilik LCGC tidak membeli premium, apa mungkin masyarakat yang kantong pas-pasan beli mobil murah mau membeli pertamax?. Akhir-akhir ini yang mengemuka adalah subsidi BBM membengkak dan banyak laporan pemilik LCGC membeli premium, sehingga sempat ada ancaman dari Pemerintah untuk meninjau insentif LCGC dan meminta produsen mobil untuk memodifikasi saluran pengisian BBM agar hanya bisa diisi dengan jenis pertamax.

Sektor otomotif pendorong pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebagian besar dikontribusikan dari konsumsi domestik yang mencapai sekitar 70%. Ditengah melambatnya ekonomi dunia dan turunnya ekspor, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diatas 5% yang artinya memang ekonomi domestik Indonesia sangat kuat. Karena memang Indonesia belum memiliki daya saing ekspor, karena mayoritas berasal dari komoditas/bahan baku sehingga kinerja ekspor justru tergantung pada kinerja negara yang memiliki produk nilai tambah dan mengimpor bahan baku dari Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2013 sebesar 5,78% salah satunya ditopang oleh pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,19% (sumber: BPS). Artinya sektor pengangkutan (termasuk otomotif) tumbuh 2x lipat pertumbuhan ekonomi.  Bahkan pada tahun 2012 sektor otomotif tumbuh 25% dan tahun 2010 pernah tumbuh 57%. Kondisi inilah yang membuat sebenarnya pasar otomotif di Indonesia "sangat seksi".

Mobil di Indonesia didominasi penjualan dengan kapasitas 1.000 - 2.000 cc dan terbanyak di kelas sekitar 1.500 cc. Kelas ini awalnya didominasi oleh produsen mobil asal Jepang dan sebagian kecil dari Korea. Siapa sangka produsen dari Eropa dan Amerika  pada akhirnya tertarik untuk bermain di kelas yang gemuk tersebut. Ibaratnya merk mobil dari Amerika yang dahulu dikenal memiliki CC besar pada akhirnya bermain pada CC yang lebih kecil.

Bahkan penjualan mobil di Indonesia sudah mulai mengalahkan Thailand di ASEAN, sehingga dapat dikatakan pasar Indonesia paling menggiurkan di ASEAN. Pertanyaannya adalah apakah mobil yang berlalu lalang di Indonesia diproduksi di dalam negeri ataukah di impor?. Jika diproduksi didalam negeri, tentu sebagian besar hasil penjualan akan berputar di dalam negeri mulai dari pajak, komponen mobil, spare part dan lainnya. Cilakanya jika berasal dari impor berapa triliun rupiah devisa yang akan kabur keluar negeri?. Jika mau diteliti, mobil di Indonesia yang menjadi favorit tidak hanya diimpor dari Thailand, sebagian diimpor dari India.

Sektor otomotif termasuk sektor yang dibebaskan tarif impor di kawasan ASEAN, sehingga negara yang menjadi basis produksi otomotif akan mendapatkan keuntungan terbesar. Bagi produsen mobil seperti merek Jepang, tidak peduli dimana diproduksi yang penting adalah biaya produksi dan distribusi murah karena diproduksi di Indonesia, Malaysia, Thailand dan negara lainnya ibaratnya sama saja. Justru negara mana yang mau memberi insentif sehingga harga produksi menjadi lebih rendah itulah yang akan dilirik oleh produsen mobil.

Daya Saing Mobil Nasional

Jika nantinya Presiden yang baru memutuskan Indonesia memiliki mobil nasional, kira-kira seperti apa kebijakan mobil nasional yang akan diambil. Saat kampanye Pilpres dari Capres Prabowo diindikasikan akan menghidupkan kembali mobil nasional yang dahulu didesain oleh BPPT yaitu Maleo sedangkan dari Capres Jokowi sudah pasti mata publik akan tertuju pada ESEMKA. Kedua mobil tersebut pada hakekatnya baru sebatas "merek" karena mayoritas komponennya adalah milik pihak lain dan sebagian lagi impor. Jika seperti itu, maka Mobnas hampir sama dengan mobil yang ada saat ini yang komponennya dirakit berasal dari dalam negeri dengan merek "asing" (produsen mobil Jepang, Amerika, Korea, Eropa dll). Lalu dimanakah keunggulan mobil nasional? pada akhirnya adalah keunggulan jati diri semata karena jerohannya sama saja dan prosesnya adalah "merakit" dari komponen yang dipasok pihak lain. Sehingga yang menjadi tantangan adalah daya saing dari aspek kualitas, harga dan after sales service. Jika merujuk pada kriteria daya saing tersebut, jelas mobil nasional tidak akan bisa bersaing. Jumlah produksi yang terbatas, tentu harus membeli komponen yang sama jika dibandingkan produsen dari Jepang dengan harga yang lebih mahal (daya tawar negoisasi rendah). Alternatifnya adalah mengurangi margin keuntungan, akibatnya R & D tidak bisa berkembang dan selamanya mobil nasional akan menjadi mini (dari aspek penguasaan pasar dan teknologi). Alternatif pamungkas adalah dukungan Pemerintah secara besar-besaran seperti pembebasan pajak (mungkin karena LCGC juga dapat pembebasan pajak), mewajibkan instansi Pemerintah untuk menggunakan mobil nasional dan lainnya. Kebijakan pamungkas jika tidak hati-hati tentu rawan terjadinya KKN dan kebocoran, suatu saat pengambil kebijakan akan antri dipanggil di kuningan (baca : KPK).

Berkaca pada mobnas Proton, maka dapat dikatakan mobnas Malaysia gagal karena sudah hampir 20 tahun merek Proton gagal berkembang di luar Malaysia. Padahal diawal pengembangan Proton, perdagangan dunia masih protektif sehingga dapat dikatakan tidak ada negara yang protes. Kebijakan mobnas di Indonesia sudah pasti akan sangat hati-hati karena sudah terikat dengan WTO dan berbagai perjanjian bilateral maupun multilateral yang akan berimbas pada sanksi dagang.

Mobnas berbasis ketersediaan energi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun