Mohon tunggu...
Arief
Arief Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pernah nulis dibeberapa media seperti SINDO, Jurnas, Surabaya Post, Suara Indonesia (dulu dimasa reformasi), Majalah Explo dll. ( @arief_nggih )

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kreasi UKM Dipalsukan, Pemerintah Bantu Apa?

20 Juni 2016   15:45 Diperbarui: 20 Juni 2016   17:16 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak dipungkiri bahwa di era serba digital telah menciptakan sistem perekonomian baru yang memporak-porandakan kemapanan sistem ekonomi lama. Era digital ekonomi telah mengubah sistem ekonomi dari era “multi distribusi” (chanelling) atau B to B to C, menjadi lebih ringkas menjadi era B to C. Era Marketplace telah merubah sistem ekonomi dunia. Tengoklah mal-mal di Amerika Serikat yang mulai sepi. Keberadaan Amazone dan Wall Mart telah menciptakan cara berbelanja yang baru.

MarketPlace adalah “Mall Impian UMKM

Mahalnya sewa di Mall menjadikan produk UMKM seolah-olah hanya kelas pedagang kaki lima. UMKM membutuhkan kebaikan hati para retailer besar yang membranding dirinya dengan “menyediakan lapak untuk UMKM”. Tentu jumlahnya terbatas dan hanya UMKM yang paling siap dan memiliki kedekatan dengan “pengelola mall/program” yang memiliki peluang untuk bisa dipajang produknya. Tengoklah hebohnya kunjungan Menko Perekonomian Hatta Rajasa saat meresmikan “gerai UKM” di Carrefour Lebak Bulus, saat pengusaha Chairul Tanjung setelah mengakuisisi Carrefour dari peritel Perancis menyediakan “gerai UKM”.

Era kebebasan UMKM muncul mulai tahun 2012 saat bermunculan Marketplace seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan makin terjangkaunya tarif internet serta bermunculannya perangkat mobile (gadget) pintar (smartphone). Bahkan Kaskus yang adala forum online secara bertahap berubah menjadi lapak online. Raksasa telekomunikasi seperti Telkom mulai terjun di marketplace, XL juga masuk ke markeplace yang tentunya dengan menggandeng pihak-pihak yang kompeten di dunia marketplace. Raksasa Jepang yaitu Rakuten masuk, dan yang terbaru adalah masuk pula Alibaba dari China.

Saat ini tercatat puluhan market place yang bercitra rasa internasional, campuran asing-lokal, maupun lokal. Menjamurnya marke place adalah berkah bagi UMKM, karena tersedia begitu banyak “mall online” yang dapat menjadi ajang jualan UMKM untuk barang dan jasanya. Bahkan bagi UMKM pemula keberadaan market place sangat membantu, karena tidak adanya program lacak balak “penelusuran” barang yang dimiliki UMKM tentu memudahkan UMKM untuk berjualan di market place dengan sumber barang dari manapun. Bahkan UMKM yang tidak punya barang, tetap bisa berjualan di market place, entah dengan jualan barang milik pihak lain yang diganti merk atau dengan merk yang ada. Bermunculan pula importir kecil yang mengambil barang dari China lalu dijual di marke place untuk segmen pasar masyarakat Indonesia.

Era marketplace telah membebaskan UMKM dari segela hal yang bersifat ribet seperti legalitas perusahaan, biaya marketing/promosi, biaya sewa lapak jualan dan lainnya.

Konon ada juga informasi, gara-gara marketplace produktivitas karyawan perusahaan bisa berkurang, atau kreativitasnya berkurang, karena karyawan punya bisnis sampingan jualan secara online. Wabah jualan online telah menjadi gaya hidup dan pekerjaan baru. Ini seperti wabah jadi pengemudi Gojek, Grab, Uber dan lainnya yang sambil bekerja juga nyambi jadi sopir. Meskipun saat ini berkarir di Grab dan Uber mulai ketat dan harus 100% dengan adanya target harian yang konon mencapai Rp 500 ribu.

Pencurian Hak Cipta Desain di Market Place

Tentu ada keheranan, bagaimana Hak Cipta di curi dari Market Place. Bukanlah hanya menyediakan lapak online saja. Yaa....meskipun menyediakan lapak online, tentu Market Place berkepentingan dengan lapak onlinenya agar terlihat “cantik, menarik dan lainnya”. Sehingga ada ketentuan foto yang diupload oleh UMKM di Market Place tidak boleh diberikan waterwark. Ini tentu membuka peluang bagi para “pencuri ide” untuk mengcopy paste tanpa perlu biaya model, biaya fotografi dan lainnya kemudian membuat produk sejenis dengan promosikan jualan dengan foto produk asli.

Contoh produk milik UMKM yang dibajak (alamat website pemilik produk yang asli, @geraicantique. Instagram : gamispesta_ )

web-cantique-5767ac3cb79373e507be87ce.png
web-cantique-5767ac3cb79373e507be87ce.png
Produk ini bisa di temukan di AEON Mall BSD Serpong. Tentu menunjukkan kualitas produk yang sudah diakui oleh Jepang yang terkenal dengan tuntutan produk berkualitas tinggi.

cantique-di-aeon-mall-bsd-1-5767ac51967a61cf07d98352.jpg
cantique-di-aeon-mall-bsd-1-5767ac51967a61cf07d98352.jpg
Jika contoh diatas kemudian banyak dipalsukan, tentu potensi berkembang produk itu akan menjadi terbatas. Berikut beberapa screenshot pemalsuan produk Cantique.

cantique-palsu-1-5767acc0a423bda311509315.jpg
cantique-palsu-1-5767acc0a423bda311509315.jpg
cantique-palsu-3-5767acd0b37e61df1fc00f93.jpg
cantique-palsu-3-5767acd0b37e61df1fc00f93.jpg
Cilakanya fenomena ini telah diamati oleh pemodal/pemilik usaha dalam skala besar, yang dalam waktu singkat bahkan bisa memproduksi fashion dalam jumlah yang besar dengan iming-ming harga yang murah dengan kualitas yang yahudd seperti foto produk aslinya. Tentu ".....Masih Sangat Banyak UMKM lainnya yang mengalami nasib yang sama....." kreativitasnya dicuri, dan pencuri mendapatkan hasil yang jauh lebih besar :( 

Perlu win-win solution, agar wajah market place tidak menjadi ajang jualan melalui foto yang ada tulisannya. Tetapi juga ada cara agar desain dari UMKM tidak dengan mudahnya dijiplak oleh para plagiater yang akan mematikan perkembangan UMKM. Jika potensi produk sudah diambil oleh para plagiater dengan modal besar, maka sebagian besar pasar tentu sudah diambil para plagiater ini. Inilah salah satu sebab UMKM kurang berkembang karena pasar yang mestinya menjadi ajang perkembangannya diambil pihak lain secara illegal.

Market Place akan tetap menjadi andalan UMKM. Lihatlah belanja iklan 2015, siapa sangka Tokopedia habiskan Rp 674 miliar dan merupakan peringkat 7 se Indonesia. Artinya tentu market place lainnya juga beriklan, namun belum masuk peringkat 10 besar. 

belanja-iklan-2015-5767ac63a423bdd511509323.png
belanja-iklan-2015-5767ac63a423bdd511509323.png
Fenomena ini menunjukkan eksistensi Market Place akan tetap menjadi sandaran UMKM. Sebagai Market Place yang bersaing sesama Market Place, tentu butuh peran Pemerintah bagaimana agar produk UMKM yang di display di Market Place aman dari tangan-tangan jahil yang mencontek desain UMKM tersebut.

Peran Pemerintah Masih Minim

Meskipun sudah ada kebijakan bahwa UMKM yang mematenkan desain dibebaskan biaya. Namun perannya mesti lebih dari hal tersebut, khususnya pada sektor usaha yang “desain berkembang cepat”. Semisal di industri fashion, sebuah pengusaha di sektor ini mesti tiap 3 bulan untuk mengupdate desainnya ke pasar, karena pemain lain melakukan hal yang sama. Sehingga dapat dikatakan setiap lebih dari 3 bulan, maka desain sebelumnya adalah sudah obsolete/kadaluarsa. Apakah dalam waktu 1 jam Kementerian Koperasi dan UMKM benar-benar bisa menghasilkan verifikasi Hak Cipta yang valid?. Lihatlah persyaratannya dibawah ini :

“Layanan pengurusan hak cipta dan hak merek ini berada di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM di Jalan HR Rasuna Said Kav 3-4, Kuningan, Jakarta. Bagi UKM yang ingin mengurus hak cipta dan hak merek, harus membawa contoh barang, identitas pribadi serta surat pernyataan produk tersebut bukan hasil tiruan dari karya pihak lain”.

Kalimat surat pernyataan produk tersebut bukan hasil tiruan dari karya pihak lain, menunjukkan bahwa Pemerintah belum memiliki metode yang lebih baik untuk memastikannya. Jadi, jika suatu saat produknya milik orang lain terus bagaimana?. Sanksinya seperti apa?.

UMKM yang dengan tenaga kerja terbatas, tentu tidak memiliki staf yang bertugas di bidang hukum. Coba bayangkan membawa penjiplakan desain ke ranah perdata, tentu butuh waktu lama dan biaya mahal. Bagi industri fashion yang tidap 3 bulan ada produk baru, ibaratnya sudah tidak ada gunanya bersengketa di ranah hukum.

Pekerjaan rumah adalah bagaimana Pemerintah dapat memonitor industri kreatif yang sifatnya sangat dinamis dan berkembang cepat, yang didorong oleh tipikal konsumen yang di drive oleh media sosial dan generasi Z. Pemerintah perlu memiliki alat bantu (penindai), serta memiliki website yang otomatis menginformasikan karya cipta yang dijiplak serta produk jiplak. Ini tentu tidak sulit, di era digital maka seluruh usaha yang ada di Indonesia, pasti jejaknya ada di “internet”. Berkaca pada kemampuan Menkominfo untuk memblokir situs porno, maka dengan analogi yang sama, akan diperoleh pula desain yang dijual online tetapi adalah hasil karya plagiat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun