Mohon tunggu...
arief kristadi
arief kristadi Mohon Tunggu... guru sd sejak 2004

bukan siapa siapa yang apa apa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bingkisan untuk guru di hari bagi raport, antara tradisi, pungli dan gratifikasi

19 Juni 2025   14:08 Diperbarui: 22 Juni 2025   22:36 9128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh gemini.google.com

Menghormati guru adalah bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Di banyak daerah, guru bukan sekadar pengajar, tapi juga figur yang dihormati, bahkan disejajarkan dengan orang tua sendiri. Dulu, banyak orang tua merasa tak mampu mengajarkan anak-anak mereka karena keterbatasan pendidikan. Maka, sebagai bentuk terima kasih dan penghormatan kepada guru, mereka memberi apa yang bisa mereka berikan---hasil kebun, hasil ternak, atau hasil panen. Bingkisan itu bukan soal nilai materi, melainkan soal ketulusan. Ia datang dari hati.

Awal Masalah Modern dari Orang-Orang Modern

Namun seiring waktu, tradisi yang lahir dari budaya baik ini mulai tercemari oleh dinamika masyarakat modern. Bingkisan yang dulu sederhana dan penuh makna kini berubah fungsi. Dalam beberapa kasus, pemberian bingkisan menjelma menjadi ajang pamer antarorang tua murid. Semakin besar dan mahal bingkisan, dianggap sebagai simbol status sosial atau kesuksesan.

Di sisi lain, ada pula yang menjadikan bingkisan sebagai alat "lobi" untuk guru, seolah ingin menitipkan harapan agar nilai anaknya bisa lebih baik. Praktik seperti ini berbahaya, karena mengaburkan garis antara penghargaan dan gratifikasi.

Solusi yang Menjadi Masalah Baru

Untuk mencegah ketimpangan dan kecurigaan tersebut, sebagian orang tua murid atau yang mewakili kelas mencari solusi. Dibentuklah koordinasi oleh perwakilan orang tua murid atau komite kelas untuk menggalang dana kolektif. Semua orang tua diminta menyumbang jumlah yang sama, lalu dana tersebut digunakan untuk membeli bingkisan yang mewakili satu kelas.

Tujuannya tentu baik: agar tak ada persaingan antarindividu, agar guru tak merasa terbebani oleh pemberian yang berlebihan, dan agar semua murid terlihat setara. Namun sayangnya, solusi ini tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Bahkan, dalam beberapa kasus, justru menimbulkan problem baru.

Saat Ketulusan Digantikan Kewajiban

Tak semua orang tua menyambut skema ini dengan hati lapang. Ada yang ikut serta karena memang setuju, tapi ada pula yang hanya diam dan menurut karena tak enak hati. Ada juga yang merasa bahwa guru tak perlu diberi bingkisan apa-apa, karena mereka menjalankan tugas yang sudah digaji oleh negara.

Lebih dari itu, yang sering terlupakan adalah perbedaan kemampuan ekonomi orang tua. Iuran bingkisan yang disamaratakan tak selalu sejalan dengan kondisi masing-masing. Saya pernah mendengar cerita tentang orang tua yang memiliki empat anak usia sekolah. Saat musim bagi raport tiba, mereka harus dipusingkan dengan membayar iuran bingkisan untuk empat kelas sekaligus. Berat rasanya, apalagi jika penghasilan pas-pasan. Apakah ini masih bentuk penghargaan? Atau sudah bergeser jadi beban?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun