Mohon tunggu...
Muhammad Arief Ardiansyah
Muhammad Arief Ardiansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Business Analyst

Pencerita data dan penggiat komoditi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pandangan Buya Hamka Soal Terowongan Istiqlal-Katedral

14 Februari 2020   10:55 Diperbarui: 14 Februari 2020   10:55 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Almarhum Buya Hamka. Sumber: muslimobsession.com

Rencana pembangunan terowongan yang menghubungkan dua tempat ibadah sentral di ibukota, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta, telah menuai pro dan kontra. Untuk itu, mari kita simak pandangan dari (alm.) Buya Hamka selaku ulama bangsa yang melegenda.

Tentu saja Buya Hamka sudah wafat sejak 38 tahun yang lalu. Tetapi pandangan dan pemikirannya kian abadi. Entah lewat dokumentasi dan biografi yang ditulis orang-orang, atau pun literatur yang ditulis oleh Hamka sendiri.

Jika pembaca masih ingat, Hamka adalah ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Beliau menjadi ulama pertama yang didapuk sebagai ketua, sekaligus ketua pertama yang memilih untuk meletakkan jabatannya sebelum masuk masa purna.

Apa pasal Hamka melakukan hal tersebut?

Latar belakangnya ialah kalender tahun 1968 Masehi yang mengandung 2 peringatan Idul Fitri sekaligus dalam 1 tahun. Peringatan pertama jatuh pada tanggal 1 Januari, sedangkan peringatan kedua jatuh pada tanggal 21 Desember.

Peringatan kedua inilah yang memicu timbulnya masalah. Jaraknya yang hanya berkisar 4 hari dengan peringatan Hari Raya Natal membuat para pejabat berpikiran kelewat kreatif.

"Alih-alih mengadakan dua peringatan dalam waktu berdekatan, mengapa tidak kita satukan saja supaya hemat anggaran? Tinggal ubah nama acaranya menjadi 'Peringatan Lebaran-Natal', beres kan?"

Pemikiran itu menghinggapi beberapa orang Menteri di Kabinet Pembangunan. Kemudian Kesaktian Pancasila ikut dibawa-bawa demi memuluskan infiltrasi paham ke jawatan-jawatan. Maka jadi populerlah acara Lebaran-Natal pada awal tahun 1969.

Format acaranya kurang lebih seperti ini. Mula-mula dilakukan pembacaan Al-Qur'an oleh pegawai yang pandai mengaji. Kemudian diiringi oleh seorang pendeta atau pastor yang ganti membacakan ayat-ayat Injil. Barulah masuk ke seremonial ala ala perusahaan.

Jika sudah selesai dengan agenda seremonial, acara pun ditutup dengan pembacaan do'a secara bergantian. Seorang Kiai umumnya diminta terlebih dahulu untuk memimpin do'a bagi hadirin yang beragama Islam. Setelahnya, giliran pendeta yang menyebut do'a-do'a khas hari Natal untuk hadirin yang beragama Kristen.

Inilah yang ditentang habis-habisan oleh Hamka. Bagi Hamka, acara berkedok toleransi itu hanya omong kosong belaka. Justru amat berpeluang mencederai aqidah dari masing-masing penganut agama yang hadir disana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun