Mohon tunggu...
aribandi aribandi
aribandi aribandi Mohon Tunggu... -

Pencari Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Transisi, Masa Pencitraan Sudah Selesai, Mari Bekerja

8 September 2014   18:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:18 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masa transisi adalah masa peralihan, suatu keadaan yang bisa saja menimbulkan kekagetan dan bahkan kekacauan. Jadi pada saat transisi ini ada suatu perubahan drastic. Dalam kedua masa itu Pertemuannya hanya sekejap saja, satu ditinggalkan dan satu lagi melanjutkan.

Kalau kita buka catatan sejarah, maka kita dapati transisi kekuasaan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru di Indonesia diwarnai konflik. Pemimpin lama dan pemimpin baru lebih banyak didudukkan pada masalah tesis dan antitesis, diametral, dan berlawanan satu sama lain. Bahkan ada juga anggapan, satu kejahatan diganti dengan kebaikan. Tak aneh bila orang-orang di kubu (pengikut) Penguasa sebelumnya diburu oleh penguasa baru. Itulah yang terjadi ketika peralihan dari Orde lama ke Orde Baru.

Di era reformasi, meski tidak sampai terjadi seekstrim itu, tapi drama peralihan juga menyisakan luka. Presiden Habibie dianggap pengkhianat oleh Suharto, mantan penguasa Orba. Gus Dur ke Mega juga mengorbankan persahabatan mereka. Hubungan Gus Dur dan Mega tak semanis dulu. Amien Rais, yang ketika itu menjadi MPR pun dianggap musuh oleh NU yang mendukung Gus Dur. Dari Mega ke SBY, hingga kini kedua tokoh belum bisa bertemu.

Jadi di era reformasi hal ini terbawa-bawa dalam kampanye. Jadi seorang Capres agar terpilih maka dia harus membawa tema perubahan. Semangat perubahan ini harus ditunjukkan meski akhirnya terkesan asal beda. Meski si Capres juga tak tahu dengan perubahan yang dia bawa sendiri.

Kini SBY mencoba untuk lebih baik. Peralihan diupayakan mulus, tapi tokh tetap saja terjadi gesekan. Pertemuan di Bali antara SBY dan Jokowi adalah sebuah inisiatif yang bagus. Sayangnya keduanya terjebak pada kebiasaan mereka sendiri, pencitraan. Pertemuan itu tidak menukik pada substansi, terbukti setelah pertemuan itu, terjadi accident SMS yang meminta SBY untuk koordinasi. Adanya Tim Transisi yang melangkah terlalu jauh dengan ikut mengatur Menteri di Kabinet SBY.

Pencitraan memang bagian dari komunikasi politik. Dengan pencitraan, orang jadi mengenal siapa caleg dan capresnya sehingga rakyat tersbut bisa mencoblosnya. Sejumlah pakar komunikasi politik berpendapat, era 2004 adalah era pencitraan. Ini ditandai dengan tumbuh pesat lembaga-lembaga survei politik, konsultan pencitraan, dan sebagainya.

Tapi, pencitraan ada takarannya juga, bila melebihi dosis maka akan membuat tokoh tersebut mabuk. Hanya bekerja ketika ada liputan yang massif. Lebih parah lagi, rakyat atau konstituen diajak lari dari substansi masalah. Yang terjadi selanjutnya perang persepsi. Hanya sebatas berbalas pantun, berbalas berita. Satu masalah ditutup dengan masalah baru, sampai rakyat lupa.

Kritikan Presiden SBY terkait pola komunikasi yang diterapkan Tim Transisi ditanggapi Jusuf Kalla (JK). Wakil Presiden terpilih ini menilai kritikan itu sebagai masukan untuk berbenah diri. Salah satu yang telah dilakukan Tim Transisi, kata JK, adalah membuat mekanisme komunikasi yang dapat menunjang proses transfer pengetahuan dan pengalaman antara pemerintahan SBY dan Jokowi lancar. Menurut JK, Tim Transisi tidak memiliki masalah. Terkait pola komunikasi yang sempat dikritik SBY, dirinya mengatakan wajar jika Tim Transisi memiliki banyak pandangan.

Pada kesempatan itu, JK juga memastikan bahwa kritikan dari SBY merupakan pembelajaran dalam memperbaiki peraturan dan tidak akan mengganggu kinerja Tim Transisi. Saat ditanya apakah dirinya yakin proses transisi akan berjalan lancar dan tanpa hambatan? "Saya kira pasti kooperatif dan sambil belajar, lah. Ini pertama kali kan," pungkas Ketua Umum PMI ini.

Parlemen yang kini didominasi oleh Koalisi Merah Putih (KMP) bukan tidak menyadari hal ini. KMP tidak boleh terjebak dengan agenda pencitraan yang akhirnya membuat lari dari substansi. Bukankah, Presiden (pemerintahan) adalah bertanggungjawab terhadap sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Adanya Parlemen untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Masa Transisi juga hendaknya dimaknai sebagai mengakhiri era pencitraan. Tutup buku dengan pencitraan, sekarang masanya bekerja. Karena bila pencitraan sudah melebihi dosis takarannya, justru akan menimbulkan penyakit baru. Soliditas KMP di Parlemen sangat diharapkan oleh rakyat untuk mengawasi Presiden terpilih agar tidak sibuk dengan ‘berdandan’ sehingga lupa dengan pekerjaan.

Untuk membedakan antara pencitraan dan substansi, kita bisa menilainya dari konsistensi. Kalau dia seorang pejuang sejati, dia tidak peduli dengan citra. Baginya yang penting tujuan menjadikan Indonesia sejahtera tercapai. Pembelaannya kepada wong cilik (konstituen) jelas. Untuk menilai konsistensi ini kita bisa melihatnya dari kasus, Kenaikan BBM. Kita lihat saja dan rakyat mengawasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun