Mohon tunggu...
Ariasdi
Ariasdi Mohon Tunggu... Administrasi - Dunia Pendidikan

Catatan Kecil Dunia Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Meletakkan "Bohong, Hoaks dan Demagog" pada Tempatnya

17 Januari 2018   11:20 Diperbarui: 18 Januari 2018   07:15 1562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara bohong, hoaks dan demagog beda-beda tipis. Irisan kata dari ketiga istilah tersebut adalah 'berita/kabar (news)'. Ada yang menambahkan 'palsu' dibelakangnya, sehingga menjadi berita palsu. Namun jika ditelisik, sesuatu yang palsu biasanya memiliki sosok yang asli, populer dengan istilah ori, singkatan dari original. Sedangkan 'palsu' sering dihubungkan dengan kualitas/mutu yang akrab dengan singkatan 'KW' (kwalitas). Tingkatannyapun beragam, seperti 'KW-1', 'KW-2' dan seterusnya. Semakin besar angkanya, semakin berkurang mutu benda tersebut.

Berita menjadi objek terpenting dalam berkomunikasi. Isinya adalah serangkaian informasi yang disampaikan oleh komunikator (penyampai berita) kepada komunikan (penerima berita). Informasi berupa gagasan atau perasaan, dikemas dalam bentuk bahasa dengan kode-kode (coding) yang dapat dipahami kedua belah pihak. Disampaikan secara verbal dan non-verbal.  Bentuknya terserah, sesuai kesepakatan. Bisa berupa gambar (diam/bergerak), grafis, suara, atau dengan bahasa tubuh (gestur dan isarat).

Inti dari komunikasi adalah persepsi. Komunikasi tidak akan efektif jika persepsi komunikan terhadap berita yang disampaikan komunikator tidak akurat. Sebagai contoh, seberapapun teriakan kemarahan seseorang, tidak akan berdampak kejut jika yang menerima kemarahan tersebut memiliki persepsi berbeda (gagal paham).

Kesalahan persepsi timbul karena prasangka (prejudice) yang dapat dikategorikan sebagai gangguan (noise) dalam berkomunikasi. Diperlukan satu kesatuan informasi yang utuh tanpa asumsi jika ingin mendapatkan kejernihan suatu berita. Informasi yang belum utuh serta dibumbui prasangka, bisa berakibat bencana jika di'viral'kan.

Baca: Viral; Obsesi "Kids Zaman Now".

Bohong dan hoaks menjadi diksi yang cukup populer dewasa ini. Saking terkenalnya, tidak jarang ditemukan pencampuradukan makna keduanya. Dahulu dianggap sebagai kebohongan, sekarang diambil alih dengan istilah hoaks.

Beda nasib dengan demagog. Kata yang satu ini kurang terdengar gaungnya karena memang jarang digunakan dalam bahasa interaksi sehari-hari. Belum 'booming', jika tidak ingin dikatakan sebagai salah satu kata yang kurang diketahui 'makna'nya.

Beberapa teori menyatakan bohong sebagai upaya menutupi kebenaran atau menyembunyikan kenyataan dengan menggunakan beragam metode. Upaya memutarbalikkan fakta melalui bahasa komunikasi tersebut hampir semua orang melakukannya.

Ilustrasi: readingtree.org & ariasdi
Ilustrasi: readingtree.org & ariasdi
National Institute of Mental Health di Amerika merilis bahwa 100 orang yang diajak berinteraksi dalam seminggu, 38 orang diantaranya telah berbohong. Penyebabnya antara lain, faktor kepribadian yang memang gemar berbohong. Berbohong juga dilakukan sebagai perisai penyelamat diri. Bahkan ada yang menggunakan untuk meningkatkan status sosialnya.

Bohong dalam skala kecil biasa dilakukan oleh person to person. Dalam skala luas, kita mengenalnya dengan 'kebohongan publik'. Siapapun yang melakukan, bohong atau dusta telah menyembunyikan kebenaran. Serapih apapun menyelimutinya, sosok kebenaran/keaslian (ori) yang hakiki tersebut masih tetap ada.

Sedikit berbeda dengan bohong, hoaks merupakan rekayasa kejadian. Skenarionya dibuat sedemikian rupa, dengan menggunakan serangkaian teknologi dan segenap kreativitas. Jika bohong bisa dilakukan dan muncul secara spontan, sedangkan hoaks memerlukan perencanaan yang matang agar reaksi publik betul-betul tergiring dan hanyut ke dalam skenarionya.

Hoaks bukan untuk menutupi kebenaran karena memang tidak ada kebenaran yang perlu ditutupinya.

Sejarah mencatat hoaks berasal dari kata 'hoces corpus atau hocus' yang berarti 'tipuan'. Biasanya dilakukan pesulap melalui beragam trik, sehingga orang yang melihatnya seolah nyata.

Perkembangan teknologi dan informasi menjadikan trik rekayasa merancang hoaks semakin canggih. Fasilitas publikasi elektronik menjadikan penyebaran beritanya berkembang begitu cepat dan mudah di-viral-kan.

Cerita tentang penampakan puteri duyung, misalnya. Sementara sebagian orang menganggapnya sebagai khayalan para pelaut selama berlayar, sebagian lagi menganggapnya sebagai titisan Dewi Atargatis yang mati ditangan seorang pengembala yang jatuh hati padanya. Dewi Artagatis mengubah diri menjadi ikan karena malu. Namun tubuh dari pinggang ke atas tidak bisa diubah karena saking cantiknya. Jadilah gambaran puteri duyung yang dikenal sekarang. Saking sakralnya, beberapa kapal tradisional menjadikannya maskot pajangan di haluan.

Hoaks yang paling mengasyikkan dan bahkan selalu dicari kebenarannya adalah keberadaan makhluk cerdas di luar bumi yang tidak terdeteksi Unidentified Flying Object (UFO). Piring terbang dan crop circle dikhayalkan sebagai tekhnologi yang menimbulkan penasaran manusia. Crop circle yang paling menghebohkan Indonesia terjadi pada Minggu (23/1/11) di desa Jogotirto Brebah, Sleman, Yogyakarta. Pemilik sawah dikejutkan dengan robohnya bagian padi hasil tanamannya. Setelah dilihat dari ketinggian, ternyata bagian yang roboh membentuk pola yang diyakini buatan makhluk UFO.

Crop circle di Jogotirto Brebah, Sleman, Yogyakarta. (Koleksi foto: flickr.com)
Crop circle di Jogotirto Brebah, Sleman, Yogyakarta. (Koleksi foto: flickr.com)
Satu lagi istilah yang berkaitan dengan 'trik' adalah demagog. Demagog berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan agogos (pemimpin yang menyesatkan). Mahfud MD (Gatra, 2007) menyatakan demagog sebagai agitator/penipu yang seakan memperjuangkan rakyat dengan janji-janji manisnya, padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan dirinya; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Demagog sangat efektif menggalang dukungan politik dari khalayak dengan mekanisme khas;

  • mencari kambing hitam segala masalah sehingga kebencian terhadap suatu kelompok ditumbuhkan, dipelihara bahkan diperdahsyat identitasnya;
  • argumen yang menjadi senjata dalam demagog biasanya ad-hoinem (menyerang pribadi orang) dan argumen kepemilikan kelas yang penuh kebencian;
  • demagoger lihai membuat skematisasi dengan menyederhanakan gagasan atau pemikiran agar bisa memiliki efektibitas sosial sehingga menjadi sebuah opini dan keyakinan.

Idih! Silahkan berpersepsi, mana yang dinamakan 'bohong, hoaks dan demagog'. Contoh di atas belum cukup untuk mengakomodir realitas yang terjadi sebagai potret sosial kemasyarakatan. Sengaja dipilih contoh yang ringan-ringan, untuk menghindari kesan beratnya tulisan ini.

Akankah di waktu dekat akan kita nikmati satu diantara tiga istilah di atas? Atau, (bahkan) sudah menjadi bagian darinya?!

Ah..! Jangan-jangan tulisan ini juga (bukan) hoaks.***

Referensi:

Humas Polkam, Demagog, Provokator dan Motivator, 2016.

Kompas.com, "Crop Circle" Yogya, Pertama di Indonesia, 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun