Teknologi dan sepak bola seharusnya bisa berjalan beriringan. Namun sejak Video Assistant Referee, atau yang lebih dikenal sebagai VAR, resmi digunakan di Piala Dunia 2018, hubungan keduanya justru sering terasa tegang. VAR dimaksudkan untuk menghadirkan keadilan, tapi yang muncul justru gelombang perdebatan tiada henti. Di satu sisi, ia dianggap membawa kejujuran ke lapangan hijau. Di sisi lain, banyak yang menilai teknologi ini telah merenggut sesuatu yang jauh lebih berharga dari sepak bola: emosi dan spontanitasnya.
Sepak bola sejak dulu dikenal sebagai permainan manusia. Ada drama, ada kesalahan, ada keajaiban yang kadang lahir dari kekacauan. VAR datang dengan niat baik membantu wasit membuat keputusan yang lebih akurat lewat tayangan ulang dari berbagai kamera. Semua demi mengurangi kesalahan manusia. Kedengarannya ideal. Tapi kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu.
Bayangkan sebuah pertandingan besar. Seorang pemain mencetak gol spektakuler, stadion bergemuruh, pemain berlari ke sudut lapangan untuk merayakan. Lalu... permainan terhenti. Wasit menempelkan telinganya ke alat komunikasi, mengangkat tangan, dan menunjuk ke telinga lagi tanda bahwa VAR sedang meninjau. Suasana mendadak sunyi. Para pemain menunggu. Penonton menahan napas. Gol itu bisa dianulir kapan saja, bahkan karena offside beberapa milimeter. Dan saat keputusan keluar, semua emosi yang tadi meledak berubah jadi canggung.
Itulah yang banyak dikeluhkan pecinta sepak bola. VAR, katanya, membuat permainan kehilangan "rasa manusianya." Padahal, bagian dari pesona sepak bola adalah ketidaksempurnaan itu sendiri wasit bisa salah, pemain bisa protes, dan drama pun tercipta. Sekarang, semua tampak steril. Setiap keputusan besar harus "disetujui" oleh layar. Setiap gol seperti menunggu restu dari komputer.
Tentu, tidak semua orang menolak VAR. Banyak yang menganggap teknologi ini penting demi keadilan. Dunia sepak bola punya banyak kisah pahit akibat keputusan wasit yang salah. Siapa yang bisa lupa gol tangan Tuhan Maradona pada 1986? Atau bola Frank Lampard yang sudah jelas melewati garis tapi tak diakui di Piala Dunia 2010? Kejadian-kejadian itu membuat FIFA akhirnya berpikir: sudah waktunya teknologi turun tangan.
Dan benar, VAR sudah beberapa kali menolong wasit dari kesalahan fatal. Tapi masalahnya, teknologi ini bukan obat mujarab. VAR tidak bekerja sendiri; tetap ada manusia di balik layar. Mereka yang menonton ulang rekaman, memutuskan apakah pelanggaran layak ditinjau, apakah gol sah atau tidak. Artinya, subjektivitas manusia tetap ada. Kadang dua tayangan yang sama bisa menghasilkan dua keputusan berbeda tergantung siapa yang menilainya.
Banyak pemain dan pelatih mulai frustrasi. Lionel Messi pernah terang-terangan menyebut VAR membuat sepak bola terasa "dingin." Toni Kroos mengatakan teknologi ini membunuh spontanitas. Bahkan kiper legendaris Gianluigi Buffon menilai VAR membuat pemain seperti "robot yang menunggu perintah." Kritik itu tidak lahir tanpa alasan. Ketika teknologi mengatur ritme permainan, maka sesuatu yang paling alami dari sepak bola emosi perlahan memudar.
Masalah lain muncul dari sisi komunikasi. Penonton di stadion sering kali tidak tahu apa yang sedang diperiksa. Mereka hanya melihat tulisan "VAR CHECK IN PROGRESS" di layar besar tanpa penjelasan apa pun. Tayangan ulang jarang ditampilkan, dan keputusan akhir sering diumumkan secara tiba-tiba. Akibatnya, banyak yang bingung atau bahkan marah. Tidak sedikit suporter yang merasa dipermainkan oleh sistem yang katanya dibuat untuk keadilan.
Liga-liga Eropa pun tak lepas dari kekacauan ini. Premier League, yang disebut-sebut paling modern, malah menjadi contoh betapa membingungkannya VAR. Ada gol yang dianulir karena offside beberapa milimeter, ada penalti yang diberikan karena sentuhan kecil yang bahkan tidak terlihat di tayangan lambat. Publik pun bertanya-tanya: apakah ini masih sepak bola atau sudah laboratorium eksperimen?
Di Indonesia, polemik serupa mulai terasa sejak VAR diperkenalkan di Liga 1. Dalam beberapa laga penting, keputusan dari ruang kontrol VAR justru memperkeruh suasana. Penonton tidak diberi penjelasan, pemain kebingungan, dan waktu pertandingan molor. Banyak pihak menilai bahwa sebelum menerapkan teknologi canggih, hal yang lebih penting adalah membenahi sistem dan sumber daya manusia. Karena teknologi secanggih apa pun tetap tidak berguna jika operator dan wasit belum benar-benar siap.
Sebenarnya, masalah terbesar bukan pada VAR itu sendiri, melainkan pada cara penggunaannya. Teknologi hanyalah alat bantu. Ia akan berguna jika dikelola dengan bijak, tapi bisa menjadi bumerang jika disalahgunakan. Transparansi adalah kunci. Di beberapa liga seperti MLS (Amerika Serikat) dan A-League (Australia), percakapan antara wasit dan tim VAR diperdengarkan ke publik. Hasilnya, penonton bisa memahami alasan di balik keputusan. Langkah sederhana seperti ini bisa membuat sistem lebih manusiawi dan dapat dipercaya.