Kemajuan teknologi digital membuat siapa pun dapat terhubung dengan mudah. Namun di balik kemudahan tersebut, terdapat sisi gelap yang mengancam keamanan dan martabat manusia, terutama bagi perempuan. Salah satu bentuknya adalah revenge porn atau pornografi balas dendam, yaitu penyebaran foto atau video intim seseorang tanpa izin dengan tujuan mempermalukan atau menekan korban. Fenomena ini semakin sering terjadi di Indonesia dan memberikan dampak yang sangat besar terhadap korban, baik dari segi psikologis, sosial, maupun ekonomi. Banyak perempuan kehilangan rasa aman, kepercayaan diri, hingga pekerjaan akibat penyebaran konten yang menyerang privasi mereka.
Dalam banyak kasus, perempuan bukan hanya menjadi korban penyebaran konten, tetapi juga korban persekusi sosial. Masyarakat kerap menyalahkan korban dengan menuduhnya tidak menjaga moral atau privasi, sementara pelaku justru luput dari tanggung jawab. Sikap seperti ini mencerminkan masih kuatnya budaya patriarki dan ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan. Korban sering kali takut melapor karena khawatir mendapat stigma, tekanan keluarga, dan ancaman dari pelaku. Akibatnya, banyak kasus berhenti di ranah pribadi tanpa pernah tersentuh oleh hukum.
Dari sisi regulasi, Indonesia sebenarnya telah memiliki beberapa peraturan yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering dijadikan dasar hukum, terutama Pasal 27 ayat (1) dan (3) yang mengatur larangan penyebaran konten yang melanggar kesusilaan dan pencemaran nama baik. Meskipun dapat digunakan, pasal tersebut belum secara tegas menempatkan korban sebagai pihak yang harus dilindungi. Dalam beberapa kasus, justru korbanlah yang tersudut karena dianggap turut serta dalam pembuatan konten pribadi tersebut.
Selain UU ITE, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga digunakan dalam menjerat pelaku penyebaran konten. Namun, fokus undang-undang ini masih lebih banyak pada aspek moralitas dan kesusilaan, bukan pada pemulihan korban. Keduanya belum memberikan perlindungan hukum yang menyeluruh terhadap korban revenge porn.
Harapan baru muncul dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini mengakui bahwa penyebaran konten seksual tanpa izin termasuk dalam kekerasan seksual berbasis elektronik. UU ini juga memberikan hak kepada korban untuk mendapatkan bantuan hukum, pemulihan psikologis, perlindungan dari ancaman, serta hak atas privasi. Pendekatan yang digunakan berorientasi pada korban dan memandang peristiwa revenge porn sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bukan semata persoalan moralitas.
Namun, implementasi UU TPKS di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Sebagian aparat penegak hukum belum memiliki pemahaman yang memadai tentang kekerasan berbasis gender, sehingga masih sering muncul sikap victim blaming terhadap korban. Diperlukan pelatihan berkelanjutan agar aparat hukum dapat memahami bahwa perempuan yang menjadi korban revenge porn adalah pihak yang hak-haknya harus dilindungi, bukan dihakimi.
Perlindungan hukum terhadap korban revenge porn seharusnya tidak hanya fokus pada penghukuman pelaku, tetapi juga pada pemulihan korban. Negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan akses layanan yang meliputi bantuan hukum, pendampingan psikologis, dan rehabilitasi sosial. Prinsip right to be forgotten atau hak untuk dilupakan, yang diatur dalam Pasal 26 UU ITE, perlu ditegakkan agar korban dapat meminta penghapusan konten intim yang telah beredar. Sayangnya, implementasi hak ini masih lemah karena tidak semua platform digital memiliki mekanisme yang efektif untuk menghapus data secara permanen.
Indonesia juga dapat belajar dari negara lain yang telah mengatur secara tegas penyebaran konten intim tanpa izin. Australia, misalnya, memiliki Criminal Code Amendment (Sharing of Abhorrent Violent Material) Act 2019 yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga mewajibkan platform digital menghapus konten bermasalah dalam waktu singkat. Di Inggris, Criminal Justice and Courts Act 2015 secara khusus mengkriminalisasi penyebaran gambar intim tanpa persetujuan dan melindungi identitas korban dalam proses hukum.
Langkah serupa perlu diambil Indonesia dengan membentuk regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur revenge porn sebagai tindak pidana tersendiri. Regulasi tersebut harus mencakup definisi yang jelas, unsur tindak pidana, mekanisme pelaporan yang aman, dan hak-hak korban terhadap pemulihan dan penghapusan data digital. Pembaruan hukum ini akan memperkuat kejelasan hukum, menghindari tumpang tindih antaraturan, serta menunjukkan keberpihakan negara terhadap korban kekerasan berbasis teknologi.
Pada akhirnya, revenge porn bukan sekadar pelanggaran kesusilaan, tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan yang merendahkan martabat perempuan dan melanggar hak privasi. Hukum pidana tidak boleh berhenti pada fungsi penghukuman, melainkan harus berperan dalam memulihkan korban dan mencegah terulangnya kejahatan serupa. Negara, aparat penegak hukum, dan masyarakat harus bersama-sama membangun budaya hukum yang berperspektif gender, sehingga tidak ada lagi perempuan yang dipermalukan atas kejahatan yang tidak dilakukannya. Melindungi perempuan dari revenge porn berarti melindungi nilai kemanusiaan dan keadilan itu sendiri.
Referensi: