Mohon tunggu...
Ari Jaztiva
Ari Jaztiva Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

It's me

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamu Berputar-putar di Otakku Part III

20 Februari 2013   19:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:59 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kamu Berputar-putar di Otakku Part III

(Review Part II)

Ckiiiiiiiiiiiit

BRUKKKK

Aku menabrak motor yang di kendarai seorang cewek, dia jatuh tersungkur ke aspalsambil memegang lututnya yang tampak terluka.

“Maaf, aku nggak sengaja, tadi aku nggak lihat!”

“Woy Mas! bisa bawa motor nggak sih, masa aku segede gini nggak lihat?”

“Alya!” tanpa sadar aku mengucap nama itu.

Apa ini bukan mimpi, apa aku tidak sedang berhalusinasi, apakah ada yang salah dengan mataku. Cewek yang ada di hadapanku mirip bahkan nyaris seperti Alya Apakah Dia Alya?

Aku baru tersadar kalau cewek itu sedikit terluka di bagian lututnya.

“Kamu nggak apa-apa kan Alya.”

Dia menepis tanganku kasar “Alya? Siapa?” ucap cewek itu kebingungan sambil menengok kanan kiri.

“Oh Tuhan apakah ini duplikat Alya yang Kau kirimkan untukku.”

***

Part III

Kian hari, ingatan akan kepergian Alya begitu terasa. Tadi pagi, sebelum berangkat ke sekolah tak sengaja aku lewat di depan rumahnya. Sepi, tak ada senyuman manis yang selalu menyapaku di pagi hari, tak ada ocehan kekesalan saat aku telat menjemputnya, tak ada ledekan-jahil yang keluar dari mulutnya, tak ada jemari lentik yang selalu mengacak rambutku. Tak ada... semuanya telah tiada. Begini lah hidup, tak pernah bisa ditebak kemana arahnya.

“Hai man!” Bryan menepuk pundakku sekaligus membuyarkan lamunanku. Aku cuma meliriknya sambil tersenyum kecut.

“Kusut banget lo! Makin hilang aja ntar gantengnya.”

Lagi-lagi aku cuma bisa senyum, senyum yang dipaksakan.

“Kenapa sih?”

“Nggak apa-apa,” jawabku seadanya.

Entah tau kenapa rasanya hari ini terasa begitu janggal. Raga memang benar berada di sekolah tapi pikiran melayang-layang entah kemana. Berkali-kali si Bryan menyenggol lenganku ketika kami sedang memperhatikan pelajaran. Dia bilang hari ini gue aneh, kaya orang linglung malah dia bilang gue kaya ayam tetangga yang mau mati, parah. Ya semoga bel istirahat cepat berbunyi, aku sudah bosan mengkonsumsi rumus-rumus matematika itu.

***

“Ruang uks dimana ya?” tanya seorang ‘cewek’ yang suaranya terdengar tiba-tiba di belakangku.

“Nggak tau,” ucapku singkat tanpa memperdulikan keberadaan dia.

“Ehm,” dia meninggikan intonasinya merasa tidak puas akan jawabanku tadi.

“Sorry, aku nggak tau!” Jawabku sambil mengangkat tangan kananku tanpa melihat cewek yang bertanya sedikitpun.

“Hello... gue nanya dimana ruang uks?” intonasinya semakin meninggi.

Aku mulai kesal, “Gue nggak tau,” ucapku lantang.

“Hey, berapa tahun sih lo di sekolah ini, masa nggak tau ruang uks dimana,”

Kesabaranku mulai habis, sebenarnya ini cewek siapa?Anak baru? Masa tidak tau ruang UKS. Aku mendongakan kepala untuk melihat cewek yang berada di depanku ini. Alangkah kagetnya, ternyata dia... cewek yang aku tabrak tadi pagi. Tanpa banyak bicara, aku berdiri hingga kami saling berhadapan, ku tatap kilat matanya tajam dan ku genggam erat pergelangan tangannya,ku seret dia menuju ruang uks. Tanpa menghiraukan pemberontakannya yang sedari tadi berusaha ingin melepaskan tangannya sambil mengaduh kesakitan. Tiba di depan ruang uks, aku melepaskan tangannya. Dia malah mendorongku kasar.

“Nggak tau terima kasih,” umpatku dalam hati. Dia masuk ruang uks sambil membungkuk memegangi lututnya yang kesakitan.

“Kenapa dia bisa ada disini? tanyaku dalam hati.

Teeeet........

Waktu istirahat telah usai, semua anak-anak masuk kembali ke kelasnya. Ya, lupakanlah cewek itu dan kembali ke kelas. Pelajaran demi pelajaran yang terlewati semakin membuatku ngantuk, zzzzzzZ.

Malam semakin sunyi, detak jam menunjukan pukul 9 malam, namun sampai saat ini, mataku rasanya enggan sekali untuk terpejam, melakukan apapun tuk mengusir rasa jenuh kayaknya tidak ampuh lagi. Ingin ku keluar rumah tapi kemana? Tak punya arah dan tujuan seperti orang hilang saja. Berkali-kali aku hanya berpindah dari satu sudut ke sudut lain di kamarku, kurang kerjaan. Oke fine, akhirnya aku putuskan untuk keluar, sekedar jalan-jalan di sekitaran komplek sepertinya ide yang nggak terlalu buruk, pura-pura cari yang dagang nasi goreng kan setidaknya ada tujuan.

Di pertigaan komplek dekat rumah, ku lihat segerombolan anak muda yang sudah tak asing lagi sedang gitar-gitaran gak jelas. Dari pada suntuk sendirian di rumah mending gabung sama mereka.

“Hey kemana aja man!”

“Hehehe ada aja kok.”

“Sini gabung.”

Aku langsung berbaur dengan mereka, merampok rokok dan merebut gitar yang sedang di pegang Dandi.

“Bete nih gue!”

“Makanya gabung dong jangan ngumpet di kamar terus.”

Tiba-tiba, datanglah sebuah motor berhenti di kerumunan kita.

“Sorry ya lama, macet tadi di depan,” ucap seseorang cewek yang baru turun dari motor itu. Helm yang masih dia kenakan membuatku tak bisa mengenali wajahnya. Hm, siapa? Sejak kapan ada cewek yang suka gabung dengan kita?

“Kenalin nih anak baru di komplek ini!” ucap Ivan sambil menepuk bahuku.

Dia membuka helmnya dan menoleh kearahku. Sesaat kami berpandangan, cewek ini lagi.

“Kamu!” ucap kita berdua kompak.

“Cie, udah pada kenal rupanya,” ejek Tio.

“Enggak juga,” ucap kita kompak lagi.

“Nah udah kenal dimana?”

“Lebih tepatnya udah pernah ketemu, tapi belum kenal,” ucapku.

“Oh... makanya kenalan dong, dia bukan Alya lho, namanya Jesica.”

“Jesica?” ucap cewek itu sambil mengerutkan dahi.

“Oh iya guys! nih gue bawa sedikit minuman,” ucapnya mengalihkan acara perkenalan kita sambil menyodorkan plastik tersebut, lebih tepatnya berisi minuman bersoda dan beberapa bungkus rokok.

“Mentang-mentang anak baru, dikira ospek pake bawa beginian.”

“Haha, enggak kok tadi sekalian mampir supermarket.”

Malam semakin larut, kami semua tenggelam dalam euforia kesenangan. Malam ini seakan memberi nyawa baru buatku. Aku kembali bisa mendengar tawa renyahmu Al, aku kembali bisa melihat matamu yang sendu. Ah, mengapa aku selalu mengira kau Alya, dia Jesica bukan Alya, berhentilah berhalusinasi Dyon.

***

“Jesica!” teriaku pada cewek yang baru saja memarkirkan motornya. Namun dia tetap berjalan tanpa menoleh sedikit pun. Akhirnya aku setengah berlari mengejarnya, hingga aku dapat berjalan sejajar dengannya.

“Hey,”

Dia menoleh dengan tatapan datar sambil menghisap rokoknya.

“Di lingkungan sekolah tidak diperkenankan merokok,” ucapku memperingatkannya.

“Hm, terus.”

“Ya, nanti bisa di hukum.”

“Oh,” ucapnya cuek sambil berlalu meninggalkanku. Nggak sopan banget nih cewek.

“Hey Jesica,” teriakku keras-keras.

Dia berhenti lalu menoleh ke kanan dan kekiri lalu memandangku. “Panggil siapa?”

“Ya kamu, kamu Jasica kan!”

“Jesica? Bukan”

“Lho jadi?”

Dia tersenyum lalu meninggalkanku dengan seribu kebingungan. Dasar anak-anak pada ngerjain gue. Jadi siapa namanya kalau bukan Jasica?

Pulang sekolah gue nunggu dia di parkiran, tak lama berselang dia datang dengan sebungkus rokok yang ia genggam di tangannya. Sebelum dia menghampiri motornya, aku memanggilnya hingga dia menoleh.

“Jadi namamu siapa?”

Lagi-lagi dia hanya tersenyum malah memberiku rokok yang digenggamnya tadi, tanpa sepatah kata pun dia berlalu menghampiri motornya. Gila nih cewek, gue dibuat ngemis-ngemis cuma pengen tau namanya.

Rasa penasaran ku akan cewek aneh yang mirip Alya itu semakin menjadi-jadi. Bahkan aku nekat membuntuti dia agar ku tau rumahnya yang katanya sekomplek denganku. Secara sembunyi-sembunyi aku berusaha menjaga jarak dengan motornya. Namun rupanya dia tidak langsung pulang ke rumah, tapi menuju ke jalanan sepi yang biasanya dipakai balap-balapan anak geng motor. Aku tak berani melajukan motorku terlalu dekat, dari kejauhan kulihat dia nyamperin anak-anak geng motor itu. Kulihat dia menyapa satu persatu para anggota geng motor itu. Dia terlihat begitu akrab dengan mereka. Tak banyak yang bisa ku ketahui sedang ngomomgin apa mereka. Oke cukup tau sampai disini.

***

Keesokan harinya, seperti biasa kita berpapasan di tempat parkir, lagi-lagi dengan rokok yang bertengger manis di mulutnya.

“Hey!”

Dia berbalik dan menatapku. “Nama gue Maurin,” ucapnya dengan nada datar.

Gue cuma diam dan bodohnya malah bengong, entah harus seperti apa dalam mencerna kata-kata yang barusan dia ucapkan. Oh ternyata namanya Maurin, bukan Jesica apalagi Alya.

“Itu kan yang pengen lo tanyain!”

“I..ya,” jawabku spontan, bodoh.

“Ya sudah, duluan ya!” dia pun berlalu. Gila nih cewek, bikin gue mati kutu di hadapannya. Kau bisa jadi akan berputar-putar di otakku season 2 setelah Alya.

***

Maurin benar-benar nyaris mirip dengan Alya. Namun hanya sebatas fisik tidak dalam kelakuan dan perilaku tapi, kenapa aku begitu tergila-gila padanya? sering kali kutertawakan diriku yang masih saja gampang akan menafsirkan perasaan ini. Begitu banyak kupu-kupu indah yang memamerkan sayapnya yang berwarna-warni, bertingkah anggun, sopan dan manis, tapi mengapa kumbang tampan sepertiku bisa takluk pada pesona pribadi gadis urakan macam dia. Apakah karena dia dianugrahi fisik yang nyaris sama sepertimu Al? Berhentilah membodohi dirimu sendiri Dyon. Jangan biarkan pesonamu terberai hanya karena seorang cewek  macam dia.

To be continue...

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaan.



Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun