"Mungkin mereka tak berani."
"Saya tak galak padahal."
"Hanya segan ...."
"Jika itu mengganggu ketentraman pribadi, sangat salah jika hanya disimpan dalam hati."
 Lelaki itu bungkam kehabisan kata. Aku yang sedari tadi diam akhirnya  memberanikan diri angkat bicara, meskipun dengan dada amat gemetar.
 "Begini saja, Pak. Jika ada Bapak-bapak warga sini yang keberatan  istrinya berada di sini, silahkan langsung jemput saja. Saya tidak akan  menahan-nahan ...."
"Ini semua gara-gara kamu, GOBLOK!!"  Lengan kekar itu tiba-tiba saja telah mendarat di wajahku. Bibirku  dibuat sobek karenanya. Sang preman ingin menghajarku lagi sebenarnya,  namunpara warga yang datang berhasil menahannya.
"Apa masalah sebenarnya, Pak Samin? Kenapa main pukul seperti itu, saya sebagai ketua RT jadi malu sama tamu kita."
 "Gara-gara perkumpulan ini tak ada pemasukan pada saya. Itu sangat  tidak adil, Pak!" Lelaki itu pergi dengan semua kejengkelannya.
Istri Pak RT membersihkan luka di bibirku, lalu menganjurkan pergi ke puskesmas.
 "Tak perlu, Bu. Dikasih obat merah juga nanti sembuh," ucapku sambil  berusaha menahan sakit. Kuambil gawai dalam saku celana. Membuka watsapp  dan mencari kontak Satria, temanku yang senang membuat patung berbentuk  manusia.