Mohon tunggu...
agus kurdiono
agus kurdiono Mohon Tunggu... -

My Agus kurdiono.

Selanjutnya

Tutup

Politik

AHWA, (Bukan) Ajang Rekayasa?

20 Juni 2015   02:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang perhelatan muktamar ke-33 NU di Jombang pada bulan Agustus mendatang, dinamika politik kaum sarungan semakin hangat, terutama yang berkaitan dengan pemilihan rais am PBNU. Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Munas Alim Ulama di Jakarta menghasilkan satu kesepakatan untuk memilih rais am PBNU dengan sistem ahlul hallu wal ‘aqdi (AHWA). Beberapa pihak pun menyatakan dukungannya terhadap sistem AHWA. Menurut Ketua Tanfidziyah PBNU, K.H. Said Aqil Siraj, sistem AHWA ini ditempuh sebagai upaya untuk menghindarkan para kiai dari jebakan ber-kubu-kubuan, permainan kampanye hitam (black campaign) antarpendukung, saling menjelekkan dan menjatuhkan, dan politik uang yang merusak moral. Beberapa pihak yang mendukung antara lain, K.H. Saifuddin Amsir (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,59757-lang,id-c,nasional-t,KH+Saifuddin+Amsir+Dukung+Ahlul+Halli+wal+Aqdi-.phpx), keluarga besar NU Cirebon (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,60048-lang,id-c,daerah-t,NU+Cirebon++Ahlul+Halli+wal+Aqdi+itu+Demokrasi+Nahdliyah-.phpx), Majelis Alumni IPNU (http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,60108-lang,id-c,nasional-t,Alumni+IPNU+Usulkan+Mekanisme+Ahwa+untuk+Syuriyah+dan+Tanfidziyah-.phpx) dan lainnya.

Beberapa hari berikutnya, klaim dukungan penuh terhadap sistem AHWA itu, ternyata mendapatkan pertentang dari beberapa pihak. Seperti dilansir oleh antaranews.com sebanyak 27 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama menolak pemilihan dengan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015 (http://www.antaranews.com/berita/502264/27-provinsi-tolak-sistem-ahwa-muktamar-nu).

Dalam konteks demokrasi, dukungan dan penolakan terhadap sistem AHWA merupakan keniscayaan. Artinya, sebelum hari-H tiba, dan sebelum pemimpin tertinggi terpilih, semua orang berhak untuk menyampaikan pendapatnya. Akan tetapi hal ini akan sangat berbeda kalau terjadi dalam acara sekelas Munas Alim Ulama, yang menduduki tingkatan kedua setelah muktamar. Bahkan beberapa pihak berani melansir beberapa kejanggalan dan rekayasa ‘keharusan’ digunakannya sistem AHWA dalam Muktamar ke-33 NU nanti. Beberapa kejanggalan itu antara lain, (a) waktu pelaksanaan Munas dipaksakan. Padahal pelaksanaan Muktamar sudah dekat yaitu tanggal 1-5 Agustus 2015. Munas biasanya diagendakan dalam waktu yang proporsional dan tidak mepet dengan Muktamar, (b) pelaksanaan Munas pincang karena dilaksanakan tanpa Konferensi Besar (Konbes). Menurut ART NU, Munas Alim Ulama selalu dibarengi dengan Konbes, (c) alasan penyelenggaraan Munas mengada-ada karena sebelumnya telah dilaksanakan Munas dan Konbes pada 1-2 November 2014. Dalam AD/ART NU BAB XX pasal 74 ayat 2 disebutkan Musyawarah Nasional Alim Ulama membicarakan masalah-masalah keagamaan (masail diniyyah)yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa. Jadi menyalahi AD/ART kalau Munas  dijadikan forum untuk mengegolkan AHWA. Sementara Munas maupun Konbes adalah forum di bawah Muktamar. Jadi Muktamar sebagai forum tertinggi yang bisa memutuskan, (d) jadwal dan round down acara Munas di rancang hanya 2 jam, antara 19.30-22.30 WIB. Cukup kilat untuk sebuah acara permusyawaratan yang katanya tingkat nasional.Kalau Munas serius, tentu waktu singkat tersebut tidak cukup, kecuali bila memang hanya untuk agenda tertentu.Untuk Konferensi Anak Cabang tingkat kecamatan saja, barangkali waktunya lebih panjang dari itu, (e) Munas yang katanya merupakan forum penting dengan peserta pengurus syuriyah dan dikatakan sebagai forum tertinggi kedua setelah Muktamar, tidak digawangi oleh tokoh-tokoh penting dari jajaran syuriyah, yakni tanpa kehadiran Penjabat Rois Aam, Katib Aam dan hanya sedikit dari jajaran syuriyah PBNU yang hadir. Munas yang merupakan forum syuriyah justeru di-pawangi oleh jajaran tanfidziyah yang mendominasi forum, seperti Ketua Umum PBNU, Sekretaris Jendral, Bendahara Umum, dan ketua-ketua lajnah/lembaga. Loh, ini acaranya syuriyahapatanfidziyyah? (f) Mobilisasi kiai di tingkat PCNU agar ikut Munas. Padahal menurut AD/ART peserta Munas dan Konbes adalah PWNU. Ketika kiai itu ditanya siapa yang memobiliasi kiai PCNU, ia menjawab Ansor. Ini Munas NU atau Ansor?Kok bisa Ansor ikut-ikutan mau mengendalikan NU.

Berangkat dari berbagai klaim dukungan dan penolakan serta beberapa kejanggalan dalam Munas yang memaksakan sistem AHWA, kita sebagai orang NU berhak bertanya tentang dinamika penggunaan sistem pemilihan AHWA yang sudah menjurus pada lahirnya “kubu-kubuan.” Di satu pihak, beberapa kiai mendukung sistem AHWA, sedangkan di pihak lain beberapa kiai dengan terang-terangan menyuarakan penolakannya. Pertanyaan yang patut diajukan adalah, ada apa dengan AHWA? Pertanyaan patut diajukan mengingat, (a) para kiai –yang selama ini kukuh dengan tradisi musyawarahnya- ternyata tidak mampu menghasilkan satu kesepakatan yang bisa dihormati oleh semua pihak, (b) kegagalan itu ternyata berimbas pada pertarungan isu –kalau tidak mau dibilang gosip- di media. Dalam hal ini, dinamika para kiai yang selama ini menghasilkan satu rumusan hikmat dan rahmah, telah kehilangan akarnya, dan (c) sistem AHWA yang diniatkan untuk menghindari hal-hal buruk semisal politik uang, kampanye hitam dan lainnya, ternyata telah menimbulkan berbagai hal-hal buruk itu sebelum sistem AHWA itu benar-benar dilaksanakan dalam muktamar.

Di penghujung tulisan ini, saya hanya bisa berharap semoga penerapan sistem AHWA ini bukan karena rekayasa oleh beberapa pihak. Kalau ini yang terjadi, maka perhelatan muktamar NU yang seharus menjadi contoh bagi bangsa Indonesia dalam berdemokrasi, akan kehilangan makna dan kehadirannya sebagai forum “kebangkitan para ulama.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun