Mohon tunggu...
Rafli Siru
Rafli Siru Mohon Tunggu... Lainnya - suka minum kopi, makang pisang goreng, suka bajalang deng suka pa ngana.

ig: raflisiru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandangan Terbelah Mengenai "Cinta"

13 Juli 2020   18:50 Diperbarui: 13 Juli 2020   18:52 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Cinta" Didefinisikan Kembali
Bagi penulis, definisi terapik mengenai cinta diungkap oleh Kahlil Gibran, ia mengatakan bahwa "cinta adalah sesuatu yang menggetarkan". Begitupun, cara termudah menemukan cinta adalah lewat memegang kawat tembaga dengan tangan telanjang, lalu Anda masukkan ke colokan listrik; niscaya Anda akan menemukan cinta di situ (baca: kesetrum).

Bukan, bukan itu tentunya yang dimaksudkan Gibran. Cinta sebagai sesuatu yang menggetarkan terkait erat dengan perasaan, karena memang, hanya perasaanlah yang bisa membuat getaran alami dalam tubuh---di samping kerusakan syaraf, otot, dan lain sejenisnya. 

Meskipun memang, ini masih bisa diperdebatkan, kita bisa juga tergetar akibat perasaan (emosi) marah, dendam kesumat, atau kecewa berat. Namun, kita semua tahu perbedaan antara perasaan negatif seperti marah dengan perasaan positif seperti cinta. Perasaan cinta melahirkan reaksi menggetarkan yang menyenangkan, membahagiakan, dan membuat kita melayang enteng; sekalipun itu pada pacar orang lain atau suami/istri orang lain.

Tetapi terkadang, perasaan cinta pun bisa tersamarkan dalam benci. Ada seseorang yang justru bertindak jahat pada orang yang sangat dicintainya, dan justru sama sekali tak tampak mencintai atau menyayanginya. Mungkin Anda masih ingat serial kartun di tahun 2000-an yang berjudul Hey Arnold! Di situ, Helga Pataki yang sesungguhnya mati-matian mencintai dan memuja Arnold justru sering bertindak kasar padanya, bahkan memposisikan dirinya sebagai musuh Arnold. 

Mereka yang mencintai dengan cara seperti ini (membenci), adalah orang-orang yang memiliki cinta platonis---diambil dari nama filsuf Plato, pencetus pemikiran idealisme (alam idea). Cinta platonis adalah cinta yang tak terjangkau, cinta kita pada idola; seperti cinta saya pada Alyssa Soebandono. 

Cinta platonis adalah cinta yang ada di angan-angan, dalam mimpi, dan sebagai penegasan (seperti) sebelumnya: sebagai cinta yang tak terjangkau. Sialnya, apabila seseorang terjebak pada cinta platonis, sementara orang yang dicintainya berada di dekatnya dan "terjangkau", maka ia akan cenderung berlaku jahat kepadanya. 

Mengapa? Karena ia terlanjur memposisikan orang yang dicintainya sebagai 'yang tak terjangkau', sebagai 'yang paling sempurna dan jauh'. Dengan demikian, apabila orang itu ada di sekitarnya, ia justru merasa terancam dan berupaya menciptakan jarak. Kejahatan yang dilakukannya adalah usaha sekeras-kerasnya untuk menutupi kegugupan, nervous, atau 'salah tingkah' saat berada di dekat orang yang dicintainya.

Layaknya cinta sebagai perasaan yang menghasilkan getaran serupa dengan reaksi-reaksi lainnya---amarah misalnya---atau, cinta yang terkadang tersamarkan oleh kebencian; seringkali kita dibingungkan oleh semua itu. Begitu pula, para filsuf memiliki pandangan yang terbelah mengenai cinta, yakni pandangan pesimis dan optimis. 

Mereka yang pesimis akan cinta, seperti; Thomas Hobbes, Sigmund Freud, Alfred Charles Kinsey, Jean-Paul Sartre, dan Jacques Derrida. Sementara, mereka yang optimis akan cinta, antara lain; Jean-Jacques Rousseau, Soren Aebey Kierkegaard, Karl Marx, dan Erich Fromm.

Pandangan Pesimis tentang Cinta
Pandangan matrealisme Thomas Hobbes membuatnya menempatkan tubuh manusia tak ubahnya sebagai mesin. Begitu juga, berbagai perasaan manusia dianggapnya tak lebih sebagai reaksi kimia semata. Begitu juga dengan cinta. Kita takkan menemui berbagai pemikiran idealis mengenai cinta dari Hobbes. 

Cinta sebagai kemurnian hati, cinta sebagai anugerah, cinta sebagai gejala yang agung, dan sejenisnya; semua tereduksi sebagai reaksi kimia semata bagi Hobbes. Hal ini tak ubahnya penelitian yang mengatakan bahwa reaksi perasaan manusia yang memakan coklat, sama seperti perasaan ketika jatuh cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun