Mohon tunggu...
Arief Syariffudin
Arief Syariffudin Mohon Tunggu... wiraswasta -

Just me

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setiap Pendakian Selalu Punya Cerita

8 Desember 2014   19:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:47 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini adalah kali pertama Enda mendaki gunung. Dilihatnya alang-alang yang berbaris manis disekeliling dia merebahkan lelah. Desau angin merintih pilu, menabur dingin merasuk ke dalam tulang-tulangnya. Mungkin ia sedang terlalu melankolis.  Sejenak Enda menyesal telah ikut dalam pendakian ini, ia rindu segala kenyamanan yang ditawarkan orang tuanya.

Enda adalah tipe perempuan desa, anak Ustadz yang diwaktu senggangnya pergi mengaji bersama teman-temannya di Masjid. Bagi Enda, gunung adalah sesuatu yang tak pernah terbersit dalam pikirannya untuk dikunjungi.

Seminggu sebelumnya Nesya sahabatnya memasang status di sebuah jejaring social yang mengatakan bahwa dia dan 3 orang temannya akan berangkat mendaki gunung. Sesuatu menyergap Enda untuk turut serta.
Seseorang dengan hati terluka memang rela akan melakukan apa saja untuk sedikit mengalihkan rasa sakit yang tidak kunjung pergi. Enda mengambil HP-nya, di BBM-nya Nesya :
"Ping"
"Ping"
"Berapa budget untuk ikut pendakian mu?"
Tak juga mendapat balasan, tak sabar Enda pun menelepon Nesya.
Setelah Enda menelepon dan tahu bahwa biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan koceknya, gadis itu akhirnya memutuskan untuk ikut.

Sore itu di sebuah minimarket, berkumpullah mereka, Enda dan Nesya yang pertama datang, mereka berboncengan.
Ali menyusul datang, Ian setengah jam kemudian.
"Ayo berangkat" kata Ian.
"Sebentar" jawab Nesya
"Nunggu siapa?"
"Nunggu mas Lang sebentar"
"Oke... kita tunggu 1 jam, kalau tak muncul juga, kita tinggal, biar dia nyusul, ketemu di basecame" hardik Ian.
"Sabar tow..." jawab Nesya sedikit memelas.
Elang adalah kekasih Enda, tapi hubungan mereka tidak sedang baik-baik saja.
Nesya sudah janji jika Enda ikut dalam pendakian ini, maka dia akan memperjuangkan Elang agar bisa turut juga. Dan Elang sudah janji mau ikut.
Ya... bagi Enda, pendakian tanpa Elang mungkin tak akan berarti, sebab dia berharap Elang yang akan mendampingi perjalanannya nanti, dan hubungan mereka akan membaik lagi.

Satu jam lebih mereka tunggu, Elang tak kunjung muncul. Ian bangkit dari duduknya sambil berkata
"Ayo kita berangkat ! Udah hampir Maghrib nih... perjalan ke Basecame masih jauh"
"Gak bisa start habis Maghrib" kata Nesya
"Di BBM, sms atau di Telpon, kita tunggu dia di Mushalla sembari shalat Maghrib"
Nesya mengambil HP-nya, dia coba hubungi Elang, 3x telpon gak diangkat, akhirnya diputuskan untuk sms dan BBM :
"Jika engkau masih ingin memperjuangkan, kita tunggu di Basecame s.d. jam 21.00 malam ini"
Setelah menitipkan motor rosokan Ali di tempat parkiran 24 jam, berangkatlah mereka. Ali berboncengan dengan Nesya,
Ian boncengkan Enda. Mereka mampir shalat Maghrib di Mushalla.
Setelah menempuh sekitar 2 jam perjalanan sampailah mereka di basecame pendakian Gunung Kapal, tujuan awal mereka adalah ke warung langganan Ian untuk makan malam. Diantara mereka ber-empat Ian lah yang paling senior, dia sudah puluhan kali mendaki, jadi dia yang paling tahu dimana warung paling nyaman, dimana harus menitipkan kendaraan, dan bagaimana musti memulai pendakian.
Tepat jam 21.00, Elang yang mereka tunggu-tunggu tak juga datang, Ian menatap Enda yang gelisah tak karuan, dengan pelan Ian berkata : "Percayalah, bahagia itu tak berarti harus bersama. Temuliah dirimu sendiri dalam kesendirian, maka kau akan sadar, bahwa dirimu bisa bahagia tanpa dirinya. Ada satu kesedihan yang tidak bisa dijelaskan dengan apa-apa.
Ada satu kekecewaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi bukan berarti engkau harus mengiba kan?”
Enda pun bangkit dari tempat duduknya, "Ayo kita berangkat !!!"
Semua kaget, semua terbelalak, bahkan Ali sempat memuncratkan air teh yang dia minum, Enda yang dari awal perjalanan sampai sekarang diam saja tiba-tiba bicara dengan keras.
"Hahahaha... kalian kenapa, aku tak sedang menari atau menyanyi, mengapa melihatku seperti itu?" kata Enda
Maka cairlah suasana hati mereka berempat. Nesya yang tadinya sempat berfikir jika pendakian ini hanya akan berhenti di basecame saja, berubah kembali ceria.
"Lets pack bro...!" kata Ian.

Perjalanan dimulai, Nesya yang memang sudah terbiasa naik gunung menggendong Carrier 80 Lt-nya dengan gagah, tidak tanggung-tanggung yang dia bawa, adalah air 5 Lt, Tenda Doom, SB, Jaket tebal, dan baju ganti untuk persiapan turun. Sedang Logistik, tools semua ada di carrier Ian. Sempat Ian menawarkan diri untuk tukar beban dengan Nesya karena dia tahu beban Nesya lebih berat, tapi Nesya menolak :
"Ntar aja klo udah gak kuat". Ali cuek saja dengan bebannya yang hanya tas pinggang kecil dan 1 botol air ditangannya. Bagi Ali pendakian ini hanyalah untuk menemani Ian dan Nesya sahabatnya. Enda tak terbebani apapun.

Satu yang Enda tidak tahu, mendaki gunung ternyata tidak semudah yang tampak di film-film. Ada fisik dan mental yang harus dipersiapkan, bukan hanya uang dan peralatan. Beruntung bagi Enda, Ian dengan sabar menjaganya sepanjang perjalanan.
Enda merasasedikit bersalah terus-terusan melampiaskan kekesalan pada laki-laki ganteng berbadan tegap itu. Ia kesal akan tanah basah, rumput basah, tebing, bebatuan dan segala aksesoris yang menghiasai gunung. Tak tahu harus menghardik siapa, Ian jadi sasaran empuknya. Ditambah lagi rasa sakit hatinya kepada Elang yang belum juga sembuh. Ian hanya bisa tersenyum tatkala menuntun Anya.
"Ini minumlah" kata Ian seraya menyodorkan sebotol air mineral kepada perempuan yang walaupun sudah bermandikan keringat selama hampir 2 jam terakhir, masih saja terlihat cantik dengan kerudungnya.
Ian, lelaki ganteng itu lalu duduk di batang pohon di sebelah Enda.
"Terima kasih" jawab Enda pendek saja dengan senyum yang dipaksakan.
"Masih sakit?" tanya Ian
"Apanya?" tanya Enda balik
"Hati kamu, masih sakit?" Ian bertanya lagi.
Ian sebenarnya tahu persis bagaimana kisah cinta Enda dan Elang karena Elang adalah teman futsal Ian.
"Apaan sih, Kepo" Jawab Anya sembari meneguk air mineral. Air mukanya berubah menjadi dingin.
"Cerita saja Nda... Mata kamu sudah seperti mendung gelap yang menyimpan berkantung-kantung air, menangisnya lembur berapa hari?" goda Ian.
"Malas cerita ah. lagi capek" balas Anya ketus.
"Kamu jarang olahraga sih. Coba kalau lebih banyak naik gunung seperti ini, pasti enggak gampang capek"
"Huft... Ternyata gunung itu membuat lelah. Tau gini tadi lebih baik tidur dirumah, hangat dan nyaman"
"Iya lah, klo naik gunung ya capek, klo mo enak ya ke Mall, naik turun pake Lift, nyesel ikut kesini?"
"Iya... habisnya kita jalan dari tadi gak sampe-sampe, nanjak terus... sesekali turun kek, sakit nih kakiku. Emang untuk apa sih semua ini?"
"Salah satunya untuk itu" Ian menunjuk ke arah langit.
Enda menengadah ke jutaan bintang yang terhampar di angkasa. Ia tersenyum kecil : "Aku baru kali ini lho melihat bintang sebanyak itu" ucapnya tak sekeras tadi.
"Itulah yang gak bisa kamu lihat di kota"
Namun Enda masih tak menikmati suasana. Pikirannya mengulang kenangan. Wajah Elang kembali datang. Tebing ini belum mengobati lukanya sama sekali, pula gemintang yang bertaburan di langit hitam.
"Ayo jalan lagi kawan!" ajak Ian sembari mengulurkan tangan kepada Enda untuk menariknya berdiri. Dilihatnya Ali dan Nesya dikejauhan, mereka sepertinya tengah bertengkar, tak tahu apa permasalahannya. "Ada apa mereka..." tanya Ian dalam hati.

Dicuekinya Ali dan Nesya, Ian menggandeng Enda untuk kembali berjalan. Ian bisa melihat mata kosong sang gadis yang tak benar-benar berada di sini. Ia masih tak mengerti mengapa untuk sebagian orang, putus cinta seakan akhir dunia. Ian hanyalah Ian. Baginya mencintai manusia sama saja dengan mencintai alam. Kita memberi tanpa mengharap balasan. Alam selalu mempunyai cara untuk membalas kebaikan. Bukankah manusia juga begitu? Hanya saja caranya terkadang tak seperti yang kita inginkan.
Ian sejenak menengok kebelakang, masih dilihatnya Ali dan Nesya berjalan tak beriringan, mereka kelihatannya masih sama-sama kesal.
"Cha... kesini kita tukeran beban" panggil Ian sembari melepas Carriernya. Nesya perlahan datang menghampiri Ian, dilepasnya Carrier-nya yang memang sudah semakin berat.
"Makasih bro... kamu selalu tahu!" kata Nesya.
"Hahaha... tak biasanya kamu suntuk seperti ini Cha... kenapa emang. Kutu kupret bikin ulah lagi? Gak usah dipikir deh, ntar juga baik lagi. Ntar kita tepungin aja klo udah sampe puncak, oke??? " kata Ian sembari memakai carrier yang tadinya dibawa Nesya.
"Tolong tarik aku Cha... berat bener beban kamu, kamu isi batu kali juga ya...?" kata Ian.
"Tadi aku bawa semen, buat bikin WC di puncak ntar" gurau Nesya sembari menolong Ian berdiri.
Ali masih cuek saja, tak bergeming dari tempat istirahatnya.
"Ayo preeettt jalan lagi!" panggil Ian kepada Ali.

Kali ini Ian sudah tidak menggandeng Enda lagi. Enda sudah mulai nyaman jalan sendirian, bahkan dia jalan paling depan. Sesekali dia duduk istirahat, tapi begitu rombongan Ian mulai mendekat, Enda buru-buru berdiri lagi, siap untuk jalan lagi.
"Break sebentar Nda... kita istirahat di POS depan, ada pemandangan bagus disitu, nanti aku tunjukkan" panggil Ian kepada Enda.
"Itu yang ada gubuknya?" tanya Enda
"Iya... kita break sebentar"
Sampailah mereka di POS III, POS dengan pemandangan yang memang luar biasa. Hamparan lampu kota, kabut-kabut tipis, bintang-bintang dilangityang semakin banyak ditambah hembusan angin dingin yang menyeruak sesekali menusuk tulang.
Ian mendekati Enda, dia duduk disebelahnya.
"Sudah bisa menikmati pendakian ini?" Tanya Ian.
"Sedikit"
"Nanti sampai puncak kau akan tahu untuk apa aku, Ali dan Nesya selalu ingin kembali"
"Tapi pikiranku belum bisa disini"
"Sudahlah... Jika airmata tak mampu lagi menjelaskan, ada baiknya pelukan menjadi sebuah penenang atas semua kekhilafan.
Jika kepedulian tak lagi diperhitungkan, ada baiknya kita kubur dalam-dalam semua harapan, tak usah dipikir banget-banget deh..." kata Ian
"Terlalu indah Yan..., terlalu manis"
"Jika yang terlukis hanyalah kesedihan, ada baiknya kita lebih mengenal kata perpisahan.
Jika kebersamaan adalah angan, ada baiknya kita tidak lagi menantikan sebuah pertemuan. Ada orang yang hanya dikirim untuk menjadi awal dari segalanya.
Kehilangan orang tersebut bukan akhir dari segalanya, betul kan?"
"Bicara itu gampang Yan... Move On setelah jatuh dari tebing itu susah" jawab Enda
"Aku yakin, pulang dari sini kau sudah bisa melupakan semuanya, aku yakin!"
"Jiah..." kata Enda sembari berdiri. "Ayo jalan lagi, masih jauh kan?"

Ian kembali geleng-geleng kepala. Menyelami hati perempuan itu tak seperti mencium bau buah durian. Dia pun bangkit lagi dan mengikuti Enda dari belakang. 2 jam kemudian, mereka berjalan sedikit lebih cepat menembus padang alang-alang. Cahaya senter di kepala Ian menyapu kegelapan. Angin yang semakin kencang membuat Enda sedikit bergidik. Tangan Ian kembali menggenggam tangan Enda. "Kita sampai!"
Sejenak Enda terdiam, ia termangu oleh keindahan puncak malam itu, sungguh tak terbayangkan dari awal.
"Amazing..." kata Enda pelahan.
Ian dan Ali sibuk memasang tenda Doom, sedangkan Nesya masih dengan bersungut-sungut membantu dua sahabatnya itu. Enda masih menikmati puncak dengan caranya, berjalan kesana-sini, seperti anak kecil mendapat sepeda baru. Pendaki-pendaki yang lain ternyata sudah sampai duluan, sudah puluhan tenda berdiri, puncak itu tak ubahnya seperti keramaian pasar malam.
Tendapun selesai, kebiasaan Ali setiap di puncak, memasak Mie Instan dan bikin Kopi hitam. Ian masih memperhatikan Enda dari dalam tenda, sedangkan Nesya sibuk bermain dengan MP3 Player-nya, dia masih menikmati lagunya TULUS : Jangan Cintai Aku Apa Adanya.
"Masih enak didengar lagu itu?" Tiba-tiba saja Ali bicara. Sepanjang perjalanan tadi dia hanya diam membisu. Tak ada jawaban,tak ada yang bicara, hanya suara syair "tuntutlah sesuatu... biar kita jalan kedepan"
"Masih Cha...?" Tanya Ali lagi, kali ini agak kencang.
"Kamu tanya aku...?" jawab Nesya balas bertanya.
"Hm..."
"Perlu dijawab kalau aku masih mendengarkannya?"
Hening... Ian masih memperhatikan tingkah Enda dari dalam tenda. Menyadari jika suasana lebih indah jika dinikmati hanya berdua, Ian pun keluar dari tenda, dihampirinya Enda. Dipegangnya tangan Enda dan ditarik.
"Ikut aku Nda..."
"Ian!!! Kamu mau macam-macam ya?"
"Udah ikut aja..."
Mereka berdua terus menyusuri jalan setapak ditengah padang.
"Awas ya kalau macam-macam. Aku teriak nih!"
"Bawel, crewet. Diam saja dulu, sebentar lagi sampai"

Ketika mereka berdua keluar dari padang alang-alang yang masih saja bergoyang, terpaparlah pemandangan yang paling menakjubkan.
Pemandangan Lampu Kota di bawah gunung, pemandangan langit yang biru bersih dengan bias cahaya yang memantul dari lampu kota, bintang-bintang yang gemerlapnya susah dihitung banyaknya tidak mau kalah beradu cahaya, pegunungan berbaris menjaga kota bulan sabit yang melengkung mengundang kita untuk duduk disana. Amazing... Enda menghela nafas panjang.
"Mengapa Yan...?" kata Enda lirih
"Apanya...?" jawab Ian
"Mengapa tidak dari dulu kau ajak aku kesini?"
"Kau terlalu sibuk dengan duniamu, hingga lupa jika keindahan itu ada dimana-mana"
"Amazing... indah sekali"
"Nda... bukankah kamu tadi bertanya, untuk apa capek-capek mendaki saat lebih nyaman ada di rumah. Ini jawaban kamu, tak usah aku rangkai dengan kata-kata ya... cukup kau lihat, kau rasakan magis-nya"
Enda diam, tak bisa berkata-kata. Jiwanya sibuk mengagumi lukisan semesta di hadapannya.
"Nda... tahukah kamu jika gunung itu adalah guru kehidupan?" Tanya Ian
"Maksud kamu?"
"Begini" Ian mulai menjelaskan. "Puncak gunung itu seperti sebuah cita-cita, atau katakanlah tujuan hidup. Saat kita memulai perjalanan kita harus berdoa sebelum melangkah. Di perjalanan, kita terjatuh kemudian bangkit lagi, terjatuh lagi dan bangkit lagi. Kita menemukan persahabatan yang sesungguhnya dalam perjalanan menuju puncak. Saat seorang teman terjatuh atau tak kuat jalan, kita bisa saja egois dan meninggalkannya atau kita bisa merangkulnya dan memberinya semangat untuk tetap berjalan. Kita belajar banyak dari alam untuk terus berdiri dan berjuang, untuk enggak bertindak sembrono, untuk enggak membuang sampah sembarangan. Dan kamu tahu?"
"Apa?" Enda masih menyimak dengan teliti.
"Kalaupun kita gagal dan enggak bisa sampai ke puncak, bukan berarti sia-sia. Kita belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik" Kata Ian sambil menatap hamparan lampu kota dibawah sana.
"Kamu lihat kota di depan sana. Dari sini saja tampak kecil banget, apalagi kalau dilihat dari luar angkasa. Manusia itu sangat kecil Nda... jauh lebih kecil dari debu."
Enda memandang wajah Ian dengan serius, "Iya juga... aku tadi tanpamu, butiran debu" kata Enda.
"Dulu ada seorang kawan yang bertanya padaku, seperti apa rasanya berada dipuncak gunung? Kamu tahu apa jawabanku?"
"Aku tahu rasanya. Kecil. Betul kan?"
"Betul. Tapi bukan kecil dalam artian rendah diri lo ya. Mungkin lebih ke-rendah hati" Ian menggosok kedua tanggannya sambil meniup-niup.
"Dingin ya?" tanya Enda.
"Iya. Aku lupa bawa sarung tangan. Tadi aku tinggal disebelah tenda saat membuat kopi".
Enda yang memakai sarung tangan membungkus tangan Ian dengan tangannya. Ian salah tingkah. Dengan cepat dilepaskan tangannya dari tangan Enda, lalu dimasukkan ke dalam saku jaket, pandangannya kembali ke depan.

"Aku tak pernah bermimpi bisa naik pesawat bahkan terbang dengan sayap. Satu-satunya caraku berada diatas awan dan berdiri diatas kalian hanyalah dengan naik gunung, fly without wings. Terbang, berada diketinggian tapi tetap injak bumi" gumam Ian.
"Ian..." kata Enda lirih "Seberapa faham kamu akan sifat Elang? Salahkah aku kalau berharap jika dia adalah do'a ku selama ini?"
Ian kaget. Dia tak mengira kalau akan mendapatkan pertanyaan itu.
"Hanya karena seseorang baru saja melepaskan genggamannya dari tanganmu, bukan berarti kau harus terburu-buru menggenggam tangan lain.
Bisa jadi dia masih mengikuti, dan tak melepas pandangan pada bayanganmu" kata Ian.
"Apa menurutmu Elang sudah melepas tanganku?"
"Aku tidak dalam posisi untuk menilai baik buruk seseorang. Elang adalah temanku, kamu juga temanku meski kita baru sekali melakukan perjalanan bersama. Tanyakan kedalam hatimu, sampai saatnya nanti akan tiba pada masa dimana kamu harus memilih mana yang pantas untuk diperjuangkan dan mana yang memang lebih pantas untuk ditinggalkan"
"Aku tanya, apa aku salah jika berharap Elang adalah ujung dari do'a ku?" tanya Enda lagi.
"Kita terkadang terlalu asyik bermain praduga tanpa benar-benar berupaya dulu mencari kebenarannya. Kita terkadang terlalu seringmemvonis seseorang bersalah tanpa memberi kesempatan seseorang itu menjelaskan dan membela dirinya. Sabar ya Nda... nanti ketika kita turun dari gunung ini, saatnya kamu menannyakan sendiri kepada Elang, minimal satu pertanyaan : 'pantaskah dia kamu perjuangkan?'
Satu pertanyaan itu saja"
Sebenarnya Ian telah punya jawaban dari pertanyaan Enda, dia hanya tidak enak hati untuk membicarakannya dalam suasana seperti ini.
Enda seharusnya juga bisa mengerti, jika seseorang memang ingin berjuang mempertahankan, Elang pasti sudah menyusul kesini, dia tau tempatnya, dia tau caranya, di mampu memperjuangkannya. Elang tak ada disini.
"Ayo kita ke tenda, dinginnya udah keterlaluan" ajak Ian. Enda pun bangkit berdiri dan melangkah dibelakang Ian, kembali ke tenda.

Sesampainya di tenda, lamat-lamat mereka mendengar Ali dan Nesya masih bertengkar. Ian tak enak hati untuk langsung masuk ke dalam tenda. Ditahannya tangan Enda : "sebentar..." bisik Ian kepada Enda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun