Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pawalin Damtaklong

2 September 2018   13:06 Diperbarui: 2 September 2018   13:31 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Namanya Pawalin Damtaklong, biasa dipanggil Sulana. Tanggal 10 Agustus lalu, umurnya baru genab 12 tahun. Dia teman sekamar putri saya di Pondok Pesantren Darunnajah XIII Gunung Sindur Kabutapen Bogor. Seorang anak perempuan berwajah manis yang berasal dari Kota Satun. Sebuah kota kecil yang berada di bagian timur Thailand!

Thailand? Seorang anak perempuan 12 tahun asal Thailand menuntut ilmu jauh-jauh ke Indonesia? Seorang diri? Ya, demikianlah. Saya pun dibuat takjub dan kagum oleh anak ini.

Bagi yang pernah melepas anaknya mondok di pesantren, apalagi jika si anak baru saja lulus SD, pasti merasakan betapa beratnya situasi itu. Anak yang belum sempurna beranjak dari masa kanak-kanaknya, masih kita manja-manja, segala keperluan dan kebutuhannya kita urus dan penuhi sesempurna mungkin, harus kita ikhlaskan untuk tinggal terpisah dari kita. Hidup mandiri dalam "keras" dan beratnya aturan dan beban pelajaran di pondok pesantren. Jika tidak dilandasi oleh niat yang kuat karena ingin anak mendapatkan ilmu agama dan dunia yang seimbang, rasanya tak akan sanggup.

Belum lagi diperberat oleh sikap si anak, yang tentunya tidak begitu saja dengan senang hati mau mondok. Anak juga mengalami situasi yang sama, merasa sangat berat harus meninggalkan rumah, berpisah dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Meninggalkan segala kebebasan dan kenyamanannya di rumah. Tak bisa nonton TV, tak ada gadget, tak bisa jalan-jalan lagi tiap akhir pekan dengan keluarganya. Saat kita antar si anak ke pesantren dan kemudian ditinggal, hampir dipastikan si anak akan berurai air mata. Kitapun didera rasa "tak tega". Situasi yang benar-benar berat.

Saya dan istri juga mengalami kondisi itu. Padahal, jarak pesantren dari rumah kami hanya sekitar 1,5 jam berkendaraan. Kami bisa berkunjung tiap akhir pekan. Bahkan, tak harus menunggu akhir pekan. Jika dapat kabar saja bahwa anak kami sedang tidak enak badan, malam hari sekalipun, kami langsung meluncur menuju pondok. Walau begitu, itupun masih terasa berat bagi kami. Nah, bagaimana dengan Sulana dan orang tuanya? Anak sekecil itu berpisah dari keluarganya yang jauh di Thailand sana. Seorang diri di negara yang sama sekali asing bahasa dan budayanya. Tak punya sanak saudara. Dan jelas, orang tuanya tidak mungkin sering-sering mengunjunginya. Kenapa mereka bisa menjalaninya? Untuk sementara, saya hanya bisa menyimpulkan, anak ini bermental baja, dan kedua orang tua nya berhati seluas samudra!

Minggu pertama kunjungan para orang tua santri ke pondok, saya mengamati hampir seluruh santri baru menangis dihadapan orang tua mereka masing-masing, termasuk putri saya. Sebagian besar mereka shock dengan kehidupan barunya di pondok. Karena harus antri mandi, antri makan, bangun shalat malam jam 3 pagi, harus shalat berjamaah 5 waktu, harus hafal sejumlah tertentu kosa kata Bahasa Arab dan Inggris setiap hari, dan akan kena hukuman atas pelanggaran sekecil apapun yang mereka lakukan.

ntinya hidup mereka mendadak terasa berkali-kali lipat menjadi lebih berat. Kami, para orang tua, dengan sabar mendengar keluh kesah anak dalam tangisnya. Memeluk dan memberi mereka motivasi untuk tetap kuat dan bersabar. Kami sampaikan, bahwa itu hanya terasa berat di awal. Dengan berjalannya waktu, akan terbiasa dan segala sesuatunya akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Dan untuk membuat mereka lebih tenang, kami bawakan makanan dan jajanan kesukaan mereka. Meskipun, tidak serta merta mampu meredakan tangis mereka, setidaknya si anak merasa terhibur dan nyaman mendapatkan kunjungan itu. Sementara, Sulana, sama sekali tidak ada yang mengunjunginya, tidak ada yang menghiburnya. Ketika santri-santri lain sedang dihibur, dipeluk, dan diusap air matanya oleh orang tua mereka, ia cuma duduk menyendiri. Sulana juga cuma bisa melihat, ketika santri-santri lain balik ke kamar masing-masing menenteng makanan dan jajanan yang dibawakan oleh orang tua mereka. Tapi Sulana tampak tegar.

Kunjungan minggu ke dua dan ketiga, juga masih relatif sama. Anak-anak masih banyak berkeluh kesah dan masih saja ada yang menangis. Bahkan diantaranya ada yang sudah memohon kepada orang tuanya untuk berhenti. Minta pulang dan masuk sekolah umum saja. Bagaimana dengan Sulana? Masih sama, tidak ada yang mengunjunginya. Tapi sekarang dia tidak lagi hanya berdiam diri saja ketika ada kunjungan orang tua santri. Dia mendatangi teman-temanya yang kedapatan masih menangis. "Eh...no nangis ya.. no nangis ya.." ujarnya dengan wajah jenaka, berusaha ikut menghibur teman-temannya yang masih saja menangis, walaupun dengan keterbatasan kemampuannya berbahasa Indonesia. Yang sedang menangispun akhrinya tersipu-sipu dan berusaha tersenyum, mendapati Sulana berkata begitu.

Tiap kunjungan, Sulana selalu begitu. Dia selalu menjadi pengingat teman-temannya, "eh...no nangis... no nangis..". Benar-benar luar biasa anak ini, batin Saya. Putri saya juga bersaksi, di kamar mereka yang dihuni 20 orang santri itu, hampir tidak pernah ia dapati Sulana bermuram durja, apalagi menangis. Malah, dengan keriangan dan kejenakaannya, walau kadang suka sedikit usil, dia sering menjadi sumber kecerian. Membuat suasana kamar yang melow menjadi penuh gelak tawa. Sulana kami jadikan referensi buat anak-anak kami yang masih saja bersedih, "lihat Sulana tuh, orang tuanya jauh, gak bisa datang menjenguk dia kesini, tapi dia tetap tegar, gak pernah menangis, apa kalian gak malu sama Sulana?". Begitu kami memberi sugesti. 

Demikanlah Sulana, sikap mental dan perilakunya benar-benar membuat saya takjup. Minggu demi minggu berlalu. Meski Sulana terlihat selalu gembira, Saya tetap bertanya-tanya dalam hati, tidakkah dia rindu keluarganya? Tidakkah dia ingin menelpon orang tuanya? Karena, setiap kunjungan orang tua santri, dia tidak pernah meminjam HP ke kami. Padahal, santri-santri lainnya, biasanya akan saling bergantian meminjam HP orang tua santri lain yang sedang berkunjung, untuk menghubungi orang tua mereka. Tapi Sulana belum pernah melakukan itu. Hingga kejadian tadi. Tepat 2 bulan sejak masuk pondok.

Siang tadi, Putri saya dan Sulana mendatangi saya dan istri serta kedua anak laki-laki kami yang telah menunggu di tempat dimana kami biasa bertemu setiap hari kunjungan. Setelah salim dengan kami, putri saya membuka pembicaraan, "Yah, Bahasa Indonesia Sulana udah banyak perkembangan sekarang", sambil menoleh ke Sulana. Sulanapun tersenyum. "oh ya? Benar begitu sulana?" tanya saya. "Iya, Om, Alhamdulillah", jawabnya singkat. Putri saya melanjutkan, "Yah, Sulana katanya mau pinjam HP Ayah, mau video call dengan papa dan mamanya di Thailand". "Oh..silahkan", jawab saya sambil segera membuka PIN HP dan cepat-cepat menyerahkannya ke tangan Sulana. Saya merasa harus mementingkan itu. Bagaimanapun terlihat tegarnya dia, dia tetaplah hanya seorang bocah perempuan 12 tahun. Pasti dia rindu papa mamanya. Saya merasa anak itu sudah sangat butuh berkomunikasi dengan orang tuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun