Mohon tunggu...
Arfandhy Sanda
Arfandhy Sanda Mohon Tunggu... Dokter Spesialis Patologi Klinik

Semi introvert (INFJ), Semi ekstrovert (ENFJ) Dokter spesialis dengan pengalaman pengabdian selama 7 tahun, peminatan di bidang hematologi klinik, kimia klinik, mikrobiologi, imunologi klinis. Menulis adalah pekerjaan sampingan, dan sangat tertarik untuk menulis hal-hal yang berkaitan di masa saat ini dan mungkin masa akan datang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Saatnya Bertindak demi Masa Depan Kesehatan Masyarakat: Melawan Hepatitis Bersama

29 Juli 2025   14:15 Diperbarui: 29 Juli 2025   13:14 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tanggal 28 Juli, dunia memperingati Hari Hepatitis Sedunia. Sebuah momen untuk refleksi, edukasi, dan yang terpenting, aksi. Namun, di tengah hingar-bingar peringatan dan janji-janji yang belum terlaksana, ada pertanyaan mendasar yang terus menggema: apakah kita benar-benar telah bertindak? Atau, apakah kita masih terperangkap dalam lingkaran wacana dan retorika belaka, sementara ancaman hepatitis terus menghantui jutaan jiwa di seluruh dunia, termasuk di Tanah Air?

Hepatitis bukanlah sekadar penyakit. Hepatits adalah silent killer, pembunuh senyap yang seringkali tidak menunjukkan gejala hingga kerusakan hati sudah parah. Ada lima jenis virus hepatitis utama yaitu A, B, C, D, dan E, dengan virus Hepatitis B dan C menjadi biang keladi utama kasus penyakit hati kronis, sirosis, hingga kanker hati. Bayangkan, di Indonesia, jutaan orang hidup dengan hepatitis tanpa menyadarinya. Mereka adalah tetangga kita, teman kita, bahkan mungkin keluarga kita. Mereka berjalan di antara kita, membawa beban virus yang perlahan namun pasti menggerogoti kesehatan mereka, dan berpotensi menularkannya kepada orang lain jika tidak ada kesadaran dan tindakan pencegahan   yang memadai.

Kita sering mendengar slogan-slogan tentang eliminasi hepatitis pada tahun 2030, sebuah target ambisius yang dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Namun, sejauh mana kita telah bergerak menuju target tersebut? Mari kita jujur pada diri sendiri. Tantangan penanganan hepatitis di Indonesia masih sangat besar dan kompleks.

Pertama, masalah kesadaran dan stigma. Banyak masyarakat yang belum memahami betul apa itu hepatitis, bagaimana cara penularannya, dan yang terpenting, bagaimana cara mencegah dan mengobatinya. Minimnya pengetahuan ini diperparah dengan stigma yang melekat pada penderita hepatitis, terutama hepatitis B dan C yang sering dikaitkan dengan perilaku berisiko. Akibatnya, banyak orang enggan untuk melakukan skrining atau mencari pengobatan, takut akan diskriminasi atau cap negatif dari masyarakat. Ini adalah lingkaran setan yang harus kita putus: ketidaktahuan melahirkan stigma, dan stigma menghambat akses terhadap penanganan.

Kedua, akses terhadap diagnosis dan pengobatan. Meskipun fasilitas kesehatan semakin modern, jangkauan skrining hepatitis masih belum merata. Di daerah-daerah terpencil, akses terhadap tes diagnostik yang akurat dan terjangkau masih menjadi barang mewah. Belum lagi masalah ketersediaan obat antivirus yang efektif. Meskipun sudah ada kemajuan dalam penyediaan obat generik, harganya masih bisa menjadi beban berat bagi sebagian besar masyarakat. Bagaimana mungkin kita bisa mengeliminasi penyakit jika langkah pertama, yakni diagnosis, masih sulit dijangkau, dan langkah berikutnya, pengobatan, masih terkendala biaya?

Ketiga, koordinasi lintas sektor yang belum optimal. Melawan hepatitis bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan semata. Ini membutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, komunitas medis, sektor swasta, hingga institusi pendidikan. Program vaksinasi yang masif, edukasi publik yang berkelanjutan, penjaminan ketersediaan obat, hingga pengembangan penelitian, semua harus berjalan selaras dan terintegrasi. Jika setiap pihak bergerak sendiri-sendiri, upaya kita akan sia-sia. Kita memerlukan “orkestra” yang harmonis, bukan hanya alat musik yang bermain solo.

Keempat, masalah pendanaan. Penanganan hepatitis memerlukan investasi yang signifikan. Mulai dari program skrining massal, pengadaan vaksin untuk populasi rentan, hingga subsidi obat-obatan. Di tengah prioritas kesehatan lain yang tak kalah mendesak, hepatitis seringkali kurang mendapatkan alokasi dana yang memadai. Pemerintah perlu melihat hepatitis sebagai investasi jangka panjang untuk kesehatan bangsa, bukan sekadar pengeluaran sesaat.

Bermacam-macam bentuk anatomi virus Hepatitis dari A hingga E (Sumber: www.royalprogress.com)
Bermacam-macam bentuk anatomi virus Hepatitis dari A hingga E (Sumber: www.royalprogress.com)

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya sederhana: bertindak.

Sebagai individu, mari tingkatkan kesadaran kita. Edukasi diri sendiri dan keluarga tentang hepatitis. Lakukan skrining jika Anda merasa memiliki faktor risiko, atau jika ada anjuran dari dokter. Jangan takut! Jika terdiagnosis, cari pengobatan dan ikuti anjuran medis. Jangan pernah menstigma penderita hepatitis; sebaliknya, berikan dukungan dan empati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun