Di tengah era keemasan genre psychological thriller pada dekade 90-an, di mana film seperti "The Silence of the Lambs" menetapkan standar yang luar biasa tinggi, muncul sebuah karya yang tak kalah cerdas namun mungkin sedikit luput dari sorotan utama: "Copycat". Disutradarai oleh Jon Amiel, film yang dirilis pada tahun 1995 ini bukanlah sekadar film kejar-kejaran antara detektif dan pembunuh. Sebaliknya, "Copycat" adalah sebuah studi karakter yang mencekam tentang trauma, ketakutan, dan fenomena mengerikan di mana kejahatan bisa menjadi inspirasi.Â
Dengan penampilan memukau dari Sigourney Weaver sebagai Dr. Helen Hudson, seorang psikolog kriminal jenius, dan Holly Hunter sebagai Detektif M.J. Monahan yang tangguh, film ini menyajikan sebuah premis yang memaksa kita untuk melihat ke dalam jurang kerapuhan manusia, bahkan pada sosok yang paling brilian sekalipun. Dr. Hudson, yang pernah menjadi otoritas terdepan dalam studi tentang pembunuh berantai, kini justru menjadi tawanan di apartemennya sendiri, lumpuh oleh agorafobia parah setelah serangan brutal yang menimpanya.Â
Ironisnya, ketika dunia luar yang begitu ditakutinya diguncang oleh serangkaian pembunuhan baru, keahliannya menjadi satu-satunya harapan untuk menghentikan seorang pembunuh yang seolah-olah telah membaca semua "buku panduan" kejahatan.
Salah satu isu paling kuat dan relevan yang diangkat oleh "Copycat" adalah eksplorasi mendalam mengenai dampak trauma psikologis. Film ini dengan sangat efektif menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa mengerikan dapat meruntuhkan fondasi kehidupan seseorang, mengubah seorang ahli yang percaya diri menjadi pribadi yang rapuh dan terisolasi.Â
Agorafobia yang dialami Dr. Hudson bukan hanya sekadar elemen plot; ia adalah representasi visual dari penjara mental yang diciptakan oleh rasa takut. Apartemennya yang canggih berubah fungsi dari simbol kemewahan menjadi sangkar emas yang aman sekaligus menyesakkan.Â
Pelajaran yang bisa kita petik dari sini adalah pengingat bahwa luka tidak selalu terlihat. Film ini mengajak penonton untuk berempati pada perjuangan tak kasat mata yang dihadapi oleh penyintas trauma, di mana setiap langkah keluar dari zona nyaman adalah sebuah pertempuran heroik.Â
Kecerdasan dan pengetahuan, seperti yang dimiliki Dr. Hudson, ternyata tidak serta-merta menjadi perisai ampuh melawan demit ketakutan yang bersarang di dalam pikiran.
Lebih jauh lagi, "Copycat" secara cerdas melayangkan kritik tajam terhadap obsesi media dan budaya populer terhadap para penjahat keji. Konsep inti film ini---seorang pembunuh yang meniru metode para pembunuh berantai terkenal dari masa lalu, adalah sebuah komentar pedas tentang bagaimana pemberitaan yang sensasional dan glorifikasi figur-figur bengis dapat secara tidak sengaja menciptakan "bintang" dan bahkan "manual" bagi calon pelaku kejahatan.Â
Film ini seolah bertanya: di mana batas antaras menginformasikan publik dan menyediakan cetak biru untuk kekejaman berikutnya? Pada masanya, isu ini sudah sangat relevan, namun di era digital saat ini dengan menjamurnya podcast true crime dan dokumenter yang mendetail, pesan "Copycat" terasa semakin profetik.Â
Pelajaran pentingnya adalah kesadaran kolektif untuk tidak memberi panggung yang mengagungkan para pelaku, melainkan memfokuskan narasi pada para korban dan proses penegakan keadilan.Â