Pada masa kini, membeli buah impor bukanlah hal yang sulit.Ada apel, pir, anggur, jeruk, kelengkeng, leci, mangga, dan durian. Â
Bahkan di pasar tradisional sangat mudah didapat. Asal punya uang untuk membeli.
Buah-buah tersebut di atas, awalnya untuk memenuhi kebutuhan ekspatriat dan wisatawan mancanegara. Sedang yang dijual di pasar terbuka hanya buah sudah dianggap tidak layak lagi dijual di pasar modern ataupun disuguhkan di hotel.
Perkembangan zaman, atas permintaan pasar kini buah-buah impor kini bukan lagi buah mahal.
Membanjirnya buah impor, sedikit banyak menggeser buah-buah lokal tradisional yang dulu sangat lekat pada lidah masyarakat perdesaan.
Buah lokal seperti pisang, pepaya, mangga, rambutan, dan durian masih mudah didapat.
Buah lokal kuno, saya sebut demikian karena sudah jarang mengonsumsi, seperti jambu bol, jambu mete, ciplukan, sawo manila, apukat, semangka berbiji, dan juwet serta rukem.
Rukem dan juwet sempat viral lagi selama 5-6 tahun terakhir namun kini tenggelam lagi karena sedikitnya permintaan.
Di salah satu sudut Bantul, Yogyakarta yakni di Goa Selarong masih ada pedagang buah lokal yang berani menjual buah-buah lokal tersebut di atas.
Padahal, kedatangan jumlah wisatawan di Goa Selarong yang merupakan tempat persembunyian Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, juga sangat sedikit. Tak lebih dari dua puluh orang perhari.
Bagi Bu Siti, sebut saja namanya demikian, berjualan buah lokal tradisional merupakan tantangan tersendiri.
Selain mudah didapat dari warga setempat, harganya pun relatif lebih murah. Konsumennya pun kebanyakan wisatawan lokal atau masyarakat setempat juga. Sekitar Guwosari dan Bangunjiwo, Bantul. Di antaranya saya sendiri yang tinggal hanya sekitar tiga ratus meter Goa Selarong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI