Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelaminan Kosong

11 Januari 2020   22:40 Diperbarui: 11 Januari 2020   22:48 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Kartono dan Bu Ngatinah mempunyai dua putra, yang pertama sudah menikah delapan tahun lalu. Kini, putranya yang ke dua harus menikah karena Sundari pacarnya sudah punya KTP alias sudah cukup umur untuk menikah. 

Daripada runtang-runtung maka cinta harus dihalalkan dengan menikah sekalipun si pria baru berumur 18 tahun dan pekerjaannya masih buruh tani di ladang ayahnya sendiri. Tak masalah kata pak kyai, rejeki di tangan Allah Swt.

Maka sesuai kesepakatan bersama dan petunjuk sesepuh desa, pelaksanaan ijab kabul jatuh pada hari Senin Pahing, sesuai perhitungan weton kedua calon mempelai. Pestanya pun harus dilaksanakan pada hari Selasa Pon atau satu hari setelah ijab kabul.

Omong kosong sambil menikmati rampatan. Dokumen pribadi
Omong kosong sambil menikmati rampatan. Dokumen pribadi
Suguhan atau rampatan. Dokumen pribadi
Suguhan atau rampatan. Dokumen pribadi
Makan sore sebagai suguhan. Dokpri
Makan sore sebagai suguhan. Dokpri
Jangan diambil. Ini sesaji untuk leluhur. Dokpri
Jangan diambil. Ini sesaji untuk leluhur. Dokpri
Pak Kartono dan Bu Ngatinah, sebagai orangtua pengantin pria pun wajib mengadakan pesta ngundhuh mantu bukan sekedar selamatan atau kenduri yang hanya dihadiri sepedukuhan. 

Bagaimana jika tak mengadakan pesta ngundhuh mantu? Tentu saja bisa jadi bahan perbincangan masyarakat atau kerabatnya yang  menganggap sebagai orang pelit. 

Di sisi lain, mereka sering menerima undangan perkawinan dan sunatan dari tetangga, kerabat, kenalan, atau sesama petani dan pedagang yang membeli hasil kebunnya. Maka mereka layak untuk mendapat kembali sumbangan atau buwuhan yang pernah mereka berikan sebagai bantuan untuk membeayai pesta ini.

Permasalahan muncul, sesuai dengan perhitungan sesepuh yang dipercaya Pak Kartono dan Bu Ngatinah, pesta ngundhuh waktu hanya bisa dilaksanakan pada Kamis Kliwon atau tiga hari sesudah ijab kabul. Setelah hari itu tidak elok (Jawa: ora ilok) karena ada halangan hari tidak baik, misalnya hari kematian kedua orangtua masing-masing.

Sebagai orang Jawa yang terikat adat dan tatakrama tradisional, mereka tak berani membantah atau menolaknya sekali pun keluarga mempelai putri menolak karena pengantin baru tidak boleh meninggalkan rumah keluarga putri sebelum sepasar atau lima hari setelah ijab kabul.

Pak Kartono dan Bu Ngatinah sebagai pengundhuh mantu tak berhak memaksa atau menolaknya. Maka pesta ngundhuh mantu pun tetap dilaksanakan tanpa kehadiran kedua mempelai sekali pun ada pelaminan yang cukup indah menurut orang desa.

Bagi para masyarakat desa hal semacam ini bukanlah yang luar biasa. Para undangan tetap hadir walau sekedar duduk omong kosong sambil menikmati kue dan minuman hidangan sederhana yang biasa disebut rampatan kemudian menikmati makanan yang telah disiapkan.

 Selesai makan, para tamu biasanya langsung pamit sambil menyerahkan buwuhan kepada tuan rumah atau ke petugas pencatat buwuhan. Petugas ini akan langsung membuka amplop dan mencatat di buku nama pemberi dan besarannya. Tanpa malu dan ragu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun