Pertengahan hingga akhir September menurut penanggalan Ajisaka merupakan puncak musim kemarau, atau mangsa kaloro (Karo) menjelang ketiga (katelu).Â
Di mana tanah kering kerontang kurang air, langit yang biru kini mulai tertutup mendung kelabu namun hujan belum turun bahkan gerimis pun masih enggan.
Keadaan seperti ini hampir seluruh wilayah Bromo Tengger Semeru. Tanah memerah dengan sedikit hijau kobis dan cemara yang masih bertahan.
Minggu, 22 September 2019 mendung tipis juga menyelimuti langit Desa Ngadas, Poncokusumo Malang, membuat matahari enggan menunjukkan diri.Â
Walau kadang mengintip warga Ngadas yang saat itu sedang pesta Karo untuk mengenang dua punggawa Ajisaka yang bernama Setya dan Tuhu yang sama-sama tewas akibat mempertahankan pendapatnya sebagai utusan Ajisaka.Â
Setya yang dititipi pusaka oleh Ajisaka tak mau menyerahkan kepada Tuhu yang mendapat mandat dari Ajisaka untuk mengambil pusakanya. Akibatnya keduanya berkelahi dan sama-sama tersungkur atas kesetiaannya.
Serta sebagai ungkapan menjaga rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang utuh seluruh masyarakat Suku Tengger Desa Ngadas dan sekitarnya seperti Jarak Ijo, Gubuk Klakah, Tosari wilayah Malang, Ranu Pani --Lumajang, Â Ngadiwono - Pasuruan, dan Ngadisari -- Probolinggo jangan sampai berselisih dan bertengkar seperti Setya dan Tuhu.
Untuk itu, lima belas hari menjelang upacara Karo sanak keluarga yang telah berpulang dipanggil lagi untuk tinggal bersama keluarga. Satu minggu kemudian, para leluhur diajak berpesta bersama dengan kembul bujana dan kembul donga (doa dan makan bersama) di masing-masing keluarga yang dipimpin oleh Mbah Dukun selaku kepala adat.
Dalam satu desa hanya ada satu Mbah Dukun, bisa dibayangkan betapa amat  melelahkan jika dalam satu desa ada 300 kepala kelurga. Maka dari itu biasanya meminta bantuan Mbah Dukun dari tetangga desa. Selanjutnya pada puncak Karo, para leluhur kembali ke alam baka dengan diantar seluruh anggota keluarga dan petinggi desa dengan berkumpul di pemakaman umum desa.
Dengan mengenakan pakaian serba baru, perhiasan emas, serta makanan serba enak mereka berkumpul dalam suasana guyub rukun. Inilah puncak Hari Raya Karo Suku Tengger di mana pun.
Untunglah mendung membantu kami menutupi mentari yang rela tak menunjukkan diri agar kami tak meradang kepanasan sekalipun harus bersila di tengah kuburan lebih dari tiga jam yang menyebabkan kantuk apalagi debu-debu kemarau tak malu menggoda kami.Â
Beberapa ibu, bapak, kakek, dan nenek pun harus tetap tersenyum menghibur anak dan cucu yang mulai bosan dan kegerahan. Namun semua terbayar lunas saat makan bersama di pemakaman dalam suasana keceriaan.
Sebuah gambaran kebahagiaan keluarga kecil dari keluarga petani yang hidup dan mencari nafkah di lereng-lereng  perbukitan Gunung Bromo dan Semeru yang gemah Ripah loh jinawi sekali pun di musim kemarau yang kering.Â
Bahagia bukan hanya karena panen yang bagus dan melimpah tetapi juga bahagia karena kerukunan dalam keluarga sebagai inti dalam kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera. Seperti kala awal Ajisaka memasuki tanah Jawa untuk membangun Nusantara.
Hong mandara ulun basuki langgeng.. (Semoga kita semua selalu bahagia sejahtera)
Langgeng basuki... (Bahagia selalu...)