Mohon tunggu...
Ardi Winangun
Ardi Winangun Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang wiraswasta

Kabarkan Kepada Seluruh Dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mengapa Pilkada Jakarta Awet Panasnya?

12 Juni 2017   10:59 Diperbarui: 12 Juni 2017   11:04 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketika diwawancarai oleh sebuah media, 5 Juni 2017, Presiden Joko Widodo bertanya-tanya mengapa Pilkda  Serentak, khususnya Pilkada Jakarta, sudah usai namun suhu politiknya tidak turun. Untuk itulah dirinya mengimbau para elite politik, partai politik, tim sukses, dan kandidat calon memberikan pembelajaran politik yang beradab pada masyarakat.

Sebagai Presiden, tentu Joko Widodo mengharap selepas Pilkada agar semua kembali ke kesibukan masing-masing dan seperti jargon yang selama ini dikatakan, “kerja, kerja, kerja.” 

Sebagai hajatan demokrasi, Pilkada tentu membutuhkan energi yang sangat besar, apalagi di beberapa daerah yang mengharuskan Pilkada dilakukan dua kali putaran. Hal demikian tentu akan membuat energi yang sudah habis, mau tidak mau, harus digenjot lagi baik dari segi pendanaan, strategi, dan ketahanan fisik tim sukses.

Dari beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada, mayoritas semuanya sudah selesai dan tidak menimbulkan masalah termasuk Pilkada Provinsi Banten. Sebuah provinsi yang berhimpit langsung dengan Jakarta dan banyak warganya yang setiap hari ke Jakarta untuk bekerja.

Satu dari puluhan Pilkada Serentak Tahun 2017 yang sampai sekarang suhunya masih dirasa panas adalah Pilkada Jakarta. Sampai saat ini di media sosial maupun di lapangan, masih ada saja orang yang membincangkan masalah itu. Bahkan di media sosial perdebatan yang terjadi sudah pada tahap tidak sehat, sampai mem-bully hingga menimbulkan persekusi. Entah sampai kapan hal ini tak terjadi lagi.

Mengapa Pilkada Jakarta hingga sampai saat ini suhu dan suasananya masih dirasa tidak membuat nyaman, panas, bagi banyak orang? Ada beberapa sebab yang bisa jadi menyebabkan Pilkada Jakarta masih menyimpan bara. Pertama, sebagai daerah ibu kota, harus diakui bahwa pemberitaan Pilkada Jakarta bisa dianggap terlalu berlebihan bahkan over dosis. Setiap hari media massa seperti televisi, seolah-olah tak lelah-lelahnya memberitakan Pilkada Jakarta. Setiap jam, masyarakat dijejali dengan berita Pilkada. Tak menjadi masalah bila media yang ada, berada di tengah dalam pemberitaan. Masalahnya, media massa  sudah menjadi tim sukses.

Akibat yang demikian membuat pemberitaan yang tidak imbang. Ketidakimbangan inilah memunculkan respon dari pihak lain. Pihak lain itu mengimbangi berita dari media massa dengan membuat opini yang berlainan di media sosial. Dari sinilah membuat dua berita yang berlawanan, dengan sumber yang berbeda, bertarung selama Pilkada Jakarta. Pertarungan yang terjadi bukan adu gagasan namun lebih banyak saling menjelekan, black campaign. Akibatnya pasti menimbulkan kegaduhan dan menimbulkan percik-percik konflik.

Kedua, arus media nasional yang terpusat di Jakarta yang siarannya bisa dinikmati dari Sabang sampai Merauake, dari Timor hingga Talaud, bahkan sampai luar negeri itu rupanya memancing orang-orang luar Jakarta untuk ikut-ikut dalam keriuhan Pilkada Jakarta. Selama ini kita lihat, banyak orang-orang daerah (luar Jakarta) yang ikut berkomentar soal Pilkada Jakarta. Bahkan mereka sampai-sampai ikut datang ke Jakarta hanya untuk mendukung calonnya untuk ikut kampanye. Lebih aneh lagi, orang-orang Indonesia yang di luar negeri, tak malu-malu memberi dukungan dengan melakukan atraksi di tempat-tempat publik di kota-kota besar di Eropa, Australia, dan belahan dunia lainnya.

Keterlibatan orang-orang luar Jakarta dalam kemeriahan Jakarta sah-sah saja namun keterlibatan itu sama seperti pada point di atas, ada yang mem-bully dan melecehkan. Dalam aturan, pastinya Pilkada Jakarta tentu hanya boleh diikuti oleh orang-orang yang secara sah memiliki identitas Jakarta, seperti KTP. Sehingga keterlibatan orang-orang di luar Jakarta yang jumlahnya tidak sedikit itu, ya sia-sia saja, sebab meski mereka melakukan berbagai cara, seperti menulis di media sosial dan membuat atraksi di depan umum sebagai bentuk dukungan namun apa gunanya kalau tidak memiliki KTP. Meski mereka menggunakan segala daya kalau tak punya hak pilih, ya aktivitasnya tak bisa memenangkan calon yang didukung karena tak memiliki hak suara atau hak pilih untuk nyoblos.

Jadi faktor ikut-ikutannya orang-orang luar Jakarta inilah yang membuat kegaduhan tersendiri. Kehadiran mereka lebih banyak membawa kerugian daripada kemanfaatan. Di daerah lain, Pilkada tak gaduh sebab tak ada campur tangannya orang luar secara massif. 

Ketiga, harus diakui kegaduhan Pilkada Jakarta juga karena ada ‘bumbu’ suku, agama, dan ras. Sebagai faktor yang sangat sensitif, ada kelompok-kelompok yang mendaur faktor ini untuk kepentingan dukungan. Masing-masing pihak saling mengklaim paling benar dan menuduh pihak yang lain sebagai kelompok yang salah. Tak heran ketika masalah ini tak terkendali maka membuat masyarakat seolah menjadi terbelah menjadi dua, antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun