Meski Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) baru digelar pada September 2025 namun elit partai politik yang berdiri di awal Orde Baru itu sudah gaduh. Mereka gaduh karena terbelah pada pilihan sosok siapa yang pas dan tepat untuk menjadi ketua umum. Ada kubu yang ingin ketua umumnya orang luar partai (eksternal), ada juga yang ingin dan bersikeras bahwa partai ini harus dipimpin oleh orang dalam (internal) sesuai dengan AD/ART PPP.
Adu kuat dan saling lobby akan terus berjalan hingga nanti saat muktamar. Dan bila nanti di muktamar terpilih satu di antara beberapa kandidat ketua umum, sosok yang terpilih harus diterima semua pihak, terlepas suka tidak suka, sesuai tidak sesuai aspirasi anggota. Lalu apakah masalah dan tantangan PPP selesai setelah memiliki ketua umum baru?
Bila diselusuri sebenarnya tidak lolosnya partai ini ke DPR pada Pemilu 2024 bukan pada siapa ketua umumnya, sehingga mereka akan mencari sosok yang popular, sebab semua ketua umum PPP pastinya orang-orang terpilih. Banyak faktor yang menyebabkan dalam pemilu tahun lalu gagal melampaui ambang batas parliamentary threshold (PT).
Kebebasan mendirikan partai di awal era reformasi, membuat partai-partai yang dulunya berfusi ke dalam PPP, memilih berfisi (membelah) menjadi partai-partai sendiri. Hadirnya banyak partai yang berhaluan Islam di awal reformasi hingga saat ini, membuat aspirasi umat Islam tidak hanya disalurkan kepada PPP lagi ini namun bisa ke PKB, Partai Keadilan (PKS), PBB, dan juga PAN. Tidak mengalirnya aspirasi umat Islam pada satu partai, PPP, seperti pada masa Orde Baru, hal demikian tentu akan mengurangi jumlah suara dan kursi PPP di DPR. Meski ada pengurangan jumlah suara dan kursi di DPR namun partai ini masih tetap eksis.
Dalam perjalanan waktu, rupanya partai-partai besar Islam lainnya seperti PKB dan PKS semakin membesar dan semakin mendapat dukungan umat Islam di berbagai daerah. Kaum Nahdliyin yang sebelumnya banyak menjadikan PPP semakin pilihannya, secara perlahan-lahan mulai memilih PKB. Kelompok umat Islam perkotaan pun juga secara diam-diam bermigrasi ke partai yang lebih sesuai dengan aspirasi dan gaya hidupnya, seperti PKS.
Di tengah semakin banyaknya umat Islam yang pindah pilihan, PPP tidak menyadari hal ini namun malah lebih asyik sendiri berkonflik dengan sesama elit pengurus. Konflik yang terjadi berkepanjangan sehingga mempengaruhi kinerja keumatan. Masalahnya menjadi fatal ketika di antara pihak yang berkonflik itu mencari patron pada kekuasaan.
Entah by design atau alamiah, mencari patron pada kekuasaan ini membikin arah dan kebijakan partai tidak lagi independent. Pastinya kekuasaan yang ada tidak mau menjadi tempat gantungan secara gratis dari salah satu pihak yang berkonflik.
Ketika salah satu pihak dari elit PPP mendapat legitimasi dari kekuasaan, di situlah marwah partai tergadaikan sehingga program kerja dan kebijakan yang diambil harus sesuai selera penguasa. Di satu sisi di saat yang sama kelompok umat Islam terutama di Jakarta sangat kritis pada kekuasaan. Nah di sinlah PPP menghadapi buah simalakama, menuruti kemauan kekuasaan atau mendengar aspirasi umat.
Rupanya elit PPP lebih memilih mengikuti kemauan penguasa sehingga meninggalkan aspirasi umat. Banyak aspirasi umat Islam selama ini tak tertampung bahkan diabaikan oleh partai ini. Misalnya saat Pilkada Jakarta 2017, partai ini tidak mengiyakan aspirasi anggotanya untuk mendukung Anies Baswedan namun malah mendukung Ahok. Mendukung Ahok sebuah kesalahan fatal, selain tidak aspiratif dari kemauan umat juga menyimpang dari visi dan misi partai yang berbasis Islam dalam memilih pemimpin.
Pun demlikian ketika ada permasalahan-permasalahan lain dari umat Islam, seperti penistaan agama, Palestina, dan yang lainnya, PPP sepertinya lebih memilih diam. Diamnya partai ini tentu mengecewakan umat Islam. Ketika partai ini lebih banyak diam, isu-isu keumatan yang ada malah digarap oleh PKS dan partai lainnya sehingga terjadi 'bedol desa' umat Islam ke partai lain. Dulu Tanah Abang yang merupakan basis PPP sekarang menjadi basis partai yang aspiratif terhadap umat Islam.
Ketika PPP meninggalkan umat, maka di sinilah partai ini menggali lubang kuburnya sendiri sehingga puncaknya tidak lolos PT dalam Pemilu 2024. Di tengah semakin mapannya partai-partai berbasis Islam, PKS, PKB, termasuk PAN, juga semakin akomodatifnya partai-partai tengah yang merangkul umat Islam seperti Golkar, Demokrat, dan Nasdem, tentu hal ini akan semakin sulit bagi PPP untuk bangkit kembali seperti pada masa Orde Baru.